Senin, 31 Maret 2008

Depkes Segera Angkat 3.000 Pegawai Tidak Tetap

DEPARTEMEN Kesehatan (Depkes) menyatakan akan mengangkat sekitar 3.000 tenaga kesehatan sebagai pegawai tidak tetap (PTT) pada 2008. Rencananya mereka akan ditempatkan pada sejumlah daerah di kawasan Nusantara. " Pengangkatan tenaga PTT ini dilakukan secara periodik," kata Kepala Biro Kepegawaian Depkes Mustikowati di Jakarta kemarin.

Menurut dia, selain mengangkat tenaga PTT, Depkes juga telah mempersiapkan pengangkatan sejumlah bidan desa. Hal itu untuk menunjang program Desa Siaga yang telah menjadi program nasional. Rencananya para bidan ini akan ditempatkan di daerah terpencil.

Berdasarkan data Depkes, hingga Desember 2007, Depkes sudah mengangkat sekitar 82.000 bidan dan 41.000 bidan yang masih aktif di lapangan.

Menanggapi rencana itu, DPR mengusulkan agar pengangkatan PT lebih difokuskan pada tenaga bidan desa. Sebab, berdasarkan hasil kunjungan kerja dewan sejumlah daerah, terutama kawasan timur Indonesia, masih sangat minim." Kami minta fokus penempatan bidan desa," kata anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi.(susi)

Sumber: Koran Seputar Indonesia - 12 Maret 2008
Selengkapnya...

Rabu, 26 Maret 2008

UTANG ASKESKIN HARUS SEGERA DIBAYAR; Tunggakan RS Mencapai Rp 1,173 Miliar

Anggota Panitia Kerja (Panja) asuransi kesehatan untuk rakyat miskin (Askeskin) Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi mendesak pemerintah segera mencarikan jalan keluar untuk pelunasan utang Askeskin kepada beberapa rumah sakit (RS) yang belum mendapat pembayaran klaimnya. Zuber Syafawi mengatakan hal ini kepada KR di Semarang, Rabu (20/2).

Sebelumnya Komisi IX DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan PT Askes membahas soal pengelolaan Askeskin, Kamis (14/2). Zuber mengatakan saat ini utang pemerintah terkait program Askeskin 2007 kepada beberapa Rumah Sakit mencapai Rp 1.173.6 M.

"Akibat belum dilunasinya utang ini pelayanan Askeskin di beberapa rumah sakit tersebut terancam berhenti. Bahkan beberapa RS sudah ada yang menolak melayani pasien Askeskin. Hal ini sangat meresahkan rakyat kecil yang tidak mampu berobat," tutur Zuber.

Menurut anggota DPR RI asal Kota Semarang ini, semakin diundur pembayaran utang kepada RS akan menyebabkan pelayanan kesehatan terhadap seluruh pasien baik Askeskin maupun komersil tidak berjalan optimal, karena rumah sakit tidak memiliki kecukupan dana.

Pemerintah harus bisa mengalokasikan sejumlah dana dari beberapa pos anggaran guna melunasi utang tersebut. Jika tidak segera dibayar, dikhawatirkan akan semakin banyak nyawa masyarakat miskin tidak terselamatkan akibat kelambanan pemerintah.

"Pemerintah harus bisa menjamin keberlangsungan Program Askeskin demi melindungi hak-hak masyarakat miskin. Selain pengadaan dana untuk pelunasan utang, pemerintah perlu membuat payung hukum mengenai pola pembayaran utang tersebut agar APBN 2008 dapat mengakomodir skema pelunasan utang Askeskin 2007," tegas Zuber Syafawi.

Anggota FPKS DPR RI ini juga menyesalkan sikap Menteri Kesehatan yang tidak menggubris masukan dari beberapa kalangan baik DPR maupun pakar tentang pengelolaan Askeskin. Padahal, menurut Zuber, jika Menkes mau mendengar masukan dari luar, Askeskin pasti bisa berjalan lancar.
Menurut Zuber, sebenarnya DPR menghendaki agar Menkes mengembalikan pengelolaan Askeskin kepada PT Askes, seperti yang telah berjalan pada tahun 2006. Pada 2006 pengelolaan Askeskin baik di Puskesmas maupun Rumah Sakit berada di tangan PT Askes, tapi pada tahun 2007 dana Askeskin untuk Puskesmas langsung dipegang Depkes, sementara Dana Askeskin untuk Rumah Sakit dikelola PT Askes.

"Dari data yang masuk di komisi IX SPR RI, terbukti bahwa unit cost untuk rawat jalan tingkat lanjutan 2006 bisa ditekan pada angka Rp 102.649. Sedangkan 2007 naik menjadi Rp 113.884. Sebenarnya tidak ada alasan bagi Depkes untuk mengubah pola tahun 2006 yang sebenarnya sudah berjalan baik," kata Zuber.

Melihat realitas tersebut, Zuber menganggap perlu adanya beberapa perbaikan teknis, bukan mengubah secara total pengelolaan dana Askeskin.

Beberapa hal yang perlu dilakukan perbaikan adalah soal pendataan kepesertaan masyarakat miskin yang hingga kini tidak kunjung selesai dan perencanaan anggaran Askeskin yang matang, sehingga banyaknya klaim rumah sakit yang belum dibayar tidak akan terulang lagi.(Bdi)-c
Sumber: Kedaulatan Rakyat ( 21/02/2008 09)
Selengkapnya...

Rabu, 19 Maret 2008

PEMERINTAH DIMINTA PERHATIKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

Pemerintah diminta untuk lebih memperhatikan kesehatan ibu dan anak, karena anggaran kesehatan selama ini dinilai belum menyentuh masyarakat bawah. Itu terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu saat melahirkan.

"Pemerintah harus lebih peka terhadap kesehatan ibu-ibu," kata Liong Nababan, Ketua Umum Persaudaraan Korban Sistem Kesehatan di Jakarta, Jumat kemarin.

Berdasarkan data terakhir BPS (Badan Pusat Statistik), angka kematian ibu 262 per 100 ribu kelahiran pada 2005. Namun dari berbagai survei disebutkan, angka kematian ibu ini lebih tinggi, yakni 300-400 kematian per-100 ribu.

Liong menyatakan, angka kematian ibu di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Di Malaysia angka kematian hanya 41 per-100 ribu, Thailand 44 per-100 ribu dan Filipina 170 per-100 ribu.

Liong yakin hal itu sebenarnya bisa diatasi jika anggaran kesehatan dimanfaatkan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada lagi terjadi peristiwa busung lapar, kurang gizi, cacat. "Itulah harapan kami," katanya.

Anggota Komisi Kesehatan DPR Zuber Safawi, mengakui anggaran bagi kesehatan ibu dan anak selama ini masih minim. "Memang masih kurang tapi bisa dihindari dengan manajemen yang baik," kata anggoa Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini.

Menurut Zuber, salah satu bentuk manajemen yang baik adalah dengan memaksimalkan Puskesmas di desa-desa. Selama ini berbagai daerah selalu mengeluh kekurangan tenaga medis, tidak ada bidan yang mau ditempatkan di desa.

"Seharusnya pemerintah bisa mengatasi hal ini dengan memberikan insentif kepada bidan yang bersedia ditempatkan di daerah," katanya.

Soal angka kematian ibu melahirkan di Indonesia yang termasuk tinggi di Asia, Zuber tidak menyangkalnya. Menurut Zuber, dibandingkan dengan di Malaysia atau Singapura, angka kematian di Indonesia memang masih yang tertinggi.

"Tetapi penyebab masih tingginya angka kematian ini bukan semata-mata minimnya anggaran," ujar Zuber.

Zuber menyebut kematian ibu melahirkan paling banyak terjadi di pedesaan. Di kawasan itu petugas medis minim sehingga ibu-ibu tak mendapat pelayanan maksimal.(emon).

SUmber: Situs BKKBN, Kamis, 03 Januari 2008
Selengkapnya...

Laporan Gizi Buruk Rawan Manipulasi

Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Ribka Tjiptaning menyatakan laporan penanganan gizi buruk dari tiap daerah ke Departemen Kesehatan rawan dimanipulasi karena tak mau dianggap gagal menangani kasus tersebut.

Ia mencontohkan, saat berkunjung ke daerah, dia menemukan sejumlah kasus gizi buruk yang lambat ditangani. "Jadi angka gizi buruk yang ditangani pemerintah tidak menunjukkan keadaan sebenarnya," kata politikus PDI Perjuangan itu saat dihubungi Tempo kemarin.

Ribka mengungkapkan hal itu menanggapi laporan Direktur Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Ina Hernawati, yang menyatakan jumlah kasus gizi buruk pada 2006 mencapai 19.567 kasus, sementara pada 2005 sebanyak 76.178.

Zuber Safawi, anggota Komisi Kesehatan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, sependapat dengan Ribka. Hanya, dia masih optimistis pemerintah bakal mampu mengurangi angka gizi buruk hingga 20 persen sampai 2009. Untuk itu, pemerintah tidak boleh gegabah dan berbangga hati karena masih banyak indikator lain untuk mengukur kesejahteraan ibu dan balita. "Percuma saja kalau angka gizi buruk berkurang tapi kematian bayi meningkat," katanya.

Namun, pemerintah harus memperhitungkan indikator lain, seperti angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan. Indikator-indikator tersebut menentukan berhasil-tidaknya pemerintah memperbaiki kualitas kesehatan ibu, bayi, dan balita. PRAMONO | Ninin Damayant

Sumber: TEMPO Interaktif, Kamis, 04 Januari 2007
Selengkapnya...

Laporan Gizi Buruk Rawan Manipulasi

Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Ribka Tjiptaning menyatakan laporan penanganan gizi buruk dari tiap daerah ke Departemen Kesehatan rawan dimanipulasi karena tak mau dianggap gagal menangani kasus tersebut.

Ia mencontohkan, saat berkunjung ke daerah, dia menemukan sejumlah kasus gizi buruk yang lambat ditangani. "Jadi angka gizi buruk yang ditangani pemerintah tidak menunjukkan keadaan sebenarnya," kata politikus PDI Perjuangan itu saat dihubungi Tempo kemarin.

Ribka mengungkapkan hal itu menanggapi laporan Direktur Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Ina Hernawati, yang menyatakan jumlah kasus gizi buruk pada 2006 mencapai 19.567 kasus, sementara pada 2005 sebanyak 76.178.

Zuber Safawi, anggota Komisi Kesehatan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, sependapat dengan Ribka. Hanya, dia masih optimistis pemerintah bakal mampu mengurangi angka gizi buruk hingga 20 persen sampai 2009. Untuk itu, pemerintah tidak boleh gegabah dan berbangga hati karena masih banyak indikator lain untuk mengukur kesejahteraan ibu dan balita. "Percuma saja kalau angka gizi buruk berkurang tapi kematian bayi meningkat," katanya.

Namun, pemerintah harus memperhitungkan indikator lain, seperti angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan. Indikator-indikator tersebut menentukan berhasil-tidaknya pemerintah memperbaiki kualitas kesehatan ibu, bayi, dan balita. PRAMONO | Ninin Damayant

Sumber: TEMPO Interaktif, Kamis, 04 Januari 2007 Selengkapnya...

Pengamat: Sidang-sidang di DPR Seharusnya Terbuka Bagi Publik

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra mengusulkan agar semua sidang di DPR terbuka untuk publik. "Sidang-sidang sifatnya harus terbuka, kecuali yang ditentukan tertutup," katanya dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Susunan dan kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD serta DPRD di Gedung DPR, Rabu (06/02).

Selama ini, ia menambahkan, sidang-sidang anggota dewan lebih banyak yang tertutup. Hal ini membuat publik sulit mengakses informasi. Ketertutupan sidang dan rapat anggota dewan juga membuat publik sulit mengikuti perkembangan pembahasan undang-undang. "Ini terkait dengan partisipasi publik," katanya.

Hal senada diungkapkan pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana. Transparansi lembaga legislatif, kata dia, bisa dimulai dengan melakukan sidang-sidang yang sifatnya terbuka untuk publik. Sidang yang berlangsung tertutup, lanjutnya, akan mengundang kecurigaan publik. "Korupsi terjadi kalau banyak sidang yang tertutup," katanya.

Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-undang susunan kedudukan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Zuber Syafawi menyambut baik usulan tersebut. Ia bahkan menambahkan, sidang-sidang yang membahas anggaran juga harus bersifat terbuka. "Prinsipnya terbuka semua," katanya.

Selain itu, Saldi Isra juga mengusulkan agar ada penyederhanaan fraksi di DPR. Selama ini, kata dia, fraksi bisa dibentuk oleh partai yang memiliki 25 anggota di DPR. Ia mempertanyakan syarat 25 anggota dalam pembentukkan fraksi tersebut. "Kenapa tidak 20 atau 30?" katanya.

Pembentukkan fraksi, lanjutnya, seharusnya didasarkan pada kebutuhan di komisi. Ia mengusulkan, pembentukan fraksi baru bisa dilakukan partai politik yang memiliki anggota 4 kali lipat dari jumlah komisi yang ada. "Dengan 4 orang dimasing-masing komisi, partai memiliki bargaining politik yang kuat di masing-masing komisi," katanya.

Selain itu, kata dia, syarat pembentukkan fraksi tersebut dinilai dapat menyederhanakan jumlah fraksi. Partai-partai politik yang anggotanya kurang dari 4 kali jumlah komisi di DPR, kata dia, akan melakukan merger untuk membentuk fraksi. "Tujuannya untuk mengurangi jumlah fraksi," katanya.

Ia juga mengusulkan agar kuota 30 perempuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang partai politik dan undang-undang pemilu juga diterapkan di DPR. "Kuota ini harusnya juga berimplikasi di lembaga perwakilan rakyat," katanya. Dwi Riyanto Agustiar

Sumber: TEMPO Interaktif, Rabu, 06 Pebruari 2008
Selengkapnya...

Selasa, 11 Maret 2008

Penderita Gizi Buruk di Indonesia Capai 8%


DEPARTEMEN Kesehatan (Depkes) memprediksi penderita gizi buruk di lndonesia mencapai angka 8 % dari jumlah bayi yang ada. Angka ini lebih baik dari standar yang ditetapkan World HealthQrganization (WHO) sebesar 10% dari jumlah bayi di setiap negara.

"Penderita gizi buruk di Indonesia masih di bawah standar yang ditetapkan WHO. Tentu saja kita terus lakukan perbaikan, " kata menteri Kesehatan (Menkes) Siti fadilah Supari di Jakarta kemarin.
Menkes menjelaskan , 8% penderita gizi buruk itu termasuk dalam jumlah penderita gizi kurang yang angkanya mencapai 4,1 juta bayi. "Kalau gizi kurang angkanya sekitar 20%, gizi buruknya termasuk didalam itu," tandasnya.

Dihubungi terpisah, anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi menuturkan, salah satu kendala yang dihadapi pemerintah dalam merealisasikan program penanganan penderita gizi buruk adalah pelaksanaan otonomi daerah yang belum sehat. Akibatnya tingkat kemandirian tiap daerah belum berjalan sempurna. "Ditambah lagi koordinasi pusat dan daerah belum sepenuhnya berjalan baik." ujar Zuber kepada SINDO tadi malam. Politikus PKS itu mengatakan, untuk menyelesaikan persoalan gizi buruk tersebut, pemerintah harus lebih fokus pada tataran perencanaan dan kontrol terhadap rencana yang sudah dibuat. (rd kandi)

Sumber: Seputar Indonesia SENIN 10 MARET 2008
Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda