Kamis, 21 Oktober 2010

Pemerintah Belum Siap Bahas RUU BPJS

Jakarta - Pemerintah dinilai belum siap membahas Rancangan Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS). Ketidaksiapan pemerintah ini dapat dilihat dari kosongnya Daftar Invetaris Masalah (DIM) RUU BPJS versi pemerintah yang dikirimkan kepada DPR.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) BPJS Zuber Safawi kepada wartawan, di Gedung DPR,Jakarta, Rabu (20/10). Melihat hal tu, Zuber mengaku kecewa kepada pemerintah. Dikatakan dia, tidak seharusnya pemerintah mengirimkan DIM yang kosong kepada DPR, karena hal itu merupakan bentuk pelecehan terhadap DPR.
"Kami kecewa dengan ketidaksiapan pemerintah uatuk duduk bersama membahas RUU BPJS. Kami hanya dikirimi DIM kosong. Seharusnya tidak seperti ini, ini kan samasaja dengan melecehkan DPR," ungkap politisi PKS ini.

Pemerintah, ucap dia, tidak memberikan tanggapan terhadap naskah RUU BPJS usulan DPR. Pembahasan yang diusulkan pemerintah berhenti pada DIM nomor 11 yang berisi bentuk BPJS, apakah multi atau tunggal. Sedangkan usulan pasal-pasal lainnya tak mendapat tanggapan dengan alasan menunggu hasil pembahasan DIM nomor ll.

Harian Pelita, Kamis 21 Oktober 2010

Selengkapnya...

Pansus BPJS Merasa Dilecehkan

Jakarta - Wakil Ketua Pansus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Zuber Safawi mengaku kecewa dengan sikap pemerintah yang mengirimkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) kosong dalam pembahasan Rancangan Undang-undang BPJS. Sikap yang ditunjukkan pemerintah, kata dia, sama saja melecehkan DPR.

Jakarta - Wakil Ketua Pansus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Zuber Safawi mengaku kecewa dengan sikap pemerintah yang mengirimkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) kosong dalam pembahasan Rancangan Undang-undang BPJS. Sikap yang ditunjukkan pemerintah, kata dia, sama saja melecehkan DPR.

Jika pemerintah berbeda pendapat atau tidak setuju dengan usulan DPR, kan bisa mengajukan usulan DIM versi pemerintah, biar kita bahas bersama, tidak seperti ini, ini kan sama saja melecehkan DPR," kata Zuber di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/10).

Dengan sikap seperti itu pula, kata Zuber pemerintah juga tidak siap membahas RUU BPJS. Seharusnya kata dia, perbedaan pendapat terkait dengan DIM nomor 11 yang berisi masalah bentuk BPJS multi atau tunggal seharusnya ditanggapi dan dijelaskan Pemerintah sehingga pembahasan RUU BPJS tidak mengganjal. Tidak harus menunggu DIM 11 karena masih banyak pasal-pasal lain yang perlu dibahas. "Kami hanya dikirimi DIM kosong," tukasnya.

Ketidakseriusan Pemerintah membahas RUU BPJS, lanjut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu bisa dipastikan akan molor dan tidak akan bisa diselesaikan tahun ini. (jppn)

Selengkapnya...

Pansus BPJS Kecewa Dikirimi DIM Kosong

Jakarta - Wakil Ketua Pansus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Zuber Safawi mengaku kecewa dengan sikap pemerintah yang mengirimkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) kosong dalam pembahasan Rancangan Undang-undang BPJS. Sikap yang ditunjukkan pemerintah, kata dia, sama saja melecehkan DPR.

Jakarta - Wakil Ketua Pansus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Zuber Safawi mengaku kecewa dengan sikap pemerintah yang mengirimkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) kosong dalam pembahasan Rancangan Undang-undang BPJS. Sikap yang ditunjukkan pemerintah, kata dia, sama saja melecehkan DPR.

Jika pemerintah berbeda pendapat atau tidak setuju dengan usulan DPR, kan bisa mengajukan usulan DIM versi pemerintah, biar kita bahas bersama, tidak seperti ini, ini kan sama saja melecehkan DPR," kata Zuber di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/10).

Dengan sikap seperti itu pula, kata Zuber pemerintah juga tidak siap membahas RUU BPJS. Seharusnya kata dia, perbedaan pendapat terkait dengan DIM nomor 11 yang berisi masalah bentuk BPJS multi atau tunggal seharusnya ditanggapi dan dijelaskan Pemerintah sehingga pembahasan RUU BPJS tidak mengganjal. Tidak harus menunggu DIM 11 karena masih banyak pasal-pasal lain yang perlu dibahas. "Kami hanya dikirimi DIM kosong," tukasnya.

Ketidakseriusan Pemerintah membahas RUU BPJS, lanjut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu bisa dipastikan akan molor dan tidak akan bisa diselesaikan tahun ini. (jppn)

Okezone.com, Rabu 20 Oktober 2010
Selengkapnya...

Rabu, 29 September 2010

Zuber Safawi, Sisi Lain Anggota DPR …

Dibalik derasnya kritikan terhadap anggota DPR dan institusinya, Gedung DPR ternyata menyisakan ragam cerita unik tentang sosok anggota dewan yang patut diapresiasi publik. Zuber Safawi, salah satunya. Anggota DPR asal Semarang, Jateng ini dikenal memiliki kinerja bagus di kalangan anggota Dewan sejak kali pertama berkprah di Senayan sejak 2004 lalu. Sebelum dipindah ke komisi IV Agustus lalu, Zuber lama malang melintang di komisi IX yang mengurusi masalah tenaga kerja, kesehatan, BNP2TKI, dan BKKBN. Beragam opininya sering dijadikan rujukan kalangan media terutama terkait masalah TKI, jaminan sosial, asuransi kesehatan dan sebagainya. Sebelumnya dia pernah diamanahkan menjadi ketua Komisi X DPR yang mengurusi masalah pendidikan.



Dibalik derasnya kritikan terhadap anggota DPR dan institusinya, Gedung DPR ternyata menyisakan ragam cerita unik tentang sosok anggota dewan yang patut diapresiasi publik. Zuber Safawi, salah satunya. Anggota DPR asal Semarang, Jateng ini dikenal memiliki kinerja bagus di kalangan anggota Dewan sejak kali pertama berkprah di Senayan sejak 2004 lalu. Sebelum dipindah ke komisi IV Agustus lalu, Zuber lama malang melintang di komisi IX yang mengurusi masalah tenaga kerja, kesehatan, BNP2TKI, dan BKKBN. Beragam opininya sering dijadikan rujukan kalangan media terutama terkait masalah TKI, jaminan sosial, asuransi kesehatan dan sebagainya. Sebelumnya dia pernah diamanahkan menjadi ketua Komisi X DPR yang mengurusi masalah pendidikan.

Zuber memang cukup akrab dengan kalangan media. Ia berusaha dekat dan bermitra dengan media, suatu hal yang selalu ia jaga sejak menjadi anggota DPRD Jateng pada 1999-2004. Hubungan dengan media juga diperlihatkan dengan ragam tulisannya yang tersebar di beragam media nasional dan daerah baik cetak maupun online seperti Republika, Suara Karya, Harian Pelita, Harian Terbit, Suara Merdeka, Wawasan, Detik.com, Inilah.com, dan lain-lain. Tak heran bila ia telah menerbitkan dua buah buku hasil tulisannya selama menjadi anggota DPR Pusat. Kedua buku itu berjudul : Ijinkan Kami Bersikap (2008) dan Menata Jalan, Menunaikan Amanah (2009)

Dibalik kekritisannya menyoroti beragam kebijakan pemerintah yang dinilainya tidak aspiratif, Zuber memiliki karakter unik diluar tugasnya sebagai wakil rakyat. Meski sudah menjadi anggota DPR sejak 2004, kesederhanaan tetap menjadi identitasnya. Jangan bayangkan sosok Zuber datang ke kantor DPR dengan mobil Mercy, Camry, Fortuner atau sekelasnya karena selain tidak memiliki mobil, Zuber juga amat menikmati moda Taksi untuk mengantarnya, baik ketika datang ke DPR maupun pulang ke kontrakannya di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan. Mengontrak ? Ya. Karena rumah jabatannya kini dalam masa renovasi.

Zuber juga amat “pelit” dengan penampilannya. Dia lebih suka pakai batik atau kemeja biasa ketika mengikuti sidang-sidang Komisi ataupun paripurna. Ketika hadir dalam reuni alumni aktivis dakwah Semarang di Jakarta awal Agustus 2010 lalu, ia masih memakai baju yang sama persis dengan saat ia hadir dalam reuni tersebut satu tahun lalu. Kesederhanaan itulah yang menjadi daya pikatnya sebagai wakil rakyat. “Saya hanya berusaha mengamalkan arti kesederhanaan, kepedulian dan juga keikhlasan sebagai anggota Dewan. Kerja di DPR adalah amanah bukan untuk bermewah-mewah”, ujarnya menjelaskan.

Zuber juga amat dikenal dekat dengan para staf dan karyawan di lingkaran fraksinya termasuk office boy. Beliau sering dijadikan tempat ‘curhat’ para staf dan koleganya terlebih saat dia diamanahkan sebagai pimpinan fraksi. Zuber juga tidak riskan ketika sering melakukan Adzan Zuhur atau Ashar untuk mengingatkan staf dan karyawan saat di mushola Fraksi PKS lantai 4 gedung Nusantara I. Terkadang, para staf ahli anggota merasa malu ketika Zuber melantunkan Adzan, karena ditengah kesibukannya sebagai anggota Dewan, dia masih sempat menjadi muadzin mengingatkan staf-staf untuk sholat tepat waktu.

Pembelaannya dan kepeduliannya terhadap nasib rakyat seperti guru, perawat, TKI dan buruh tak pernah berhenti. Kini meski dirinya tak lagi di komisi IX, dirinya dipercaya fraksinya menjadi anggota pansus RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Itu karena konsistensinya dalam membela nasib rakyat kecil. Tak ayal, koleganya Mahfudz Siddiq (Ketua Komisi I DPR) mengatakan jika kita ingin belajar bagaimana cara berpolitik yang peduli dan konsisten, belajarlah dari Zuber Safawi.

Begitulah karakter kebersahajaan seorang wakil rakyat. Kita harus yakin masih banyak Zuber-Zuber lain yang mungkin selama ini tertutup dengan ragam kontroversi yang menyelimuti DPR, entah itu proyek gedung baru, absensi Dewan, dana aspirasi, kunker ke luar negeri dan lain sebagainya.

Dan tugas kitalah, rakyat dan konstituen dari wakil rakyat untuk senantiasa mengawal perilaku mereka agar lebih peduli, bersahaja dan berkinerja positif untuk rakyat, bukan menjadi wakil rakyat yang hanya sekedar kerja sambilan dan ambisi pribadi. Mungkin kita dapat belajar dari kesederhanaan seorang Zuber … (Dharma Wijaya)

29 September 2010, Kompasiana.com
Selengkapnya...

Rabu, 22 September 2010

Kemerdekaan Jaminan Sosial

HUT Proklamasi RI ke-65 baru saja kita rayakan dalam suasana keprihatinan publik. Saat ini kenaikan harga-harga sebagai konsekuensi logis dari naiknya tarif dasar listrik (TDL) kian menambah beban bagi sebagian besar masyarakat kita di tengah terbatasnya pendapatan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak sedikit. Padahal, selama ini masih banyak warga negara kita yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.



HUT Proklamasi RI ke-65 baru saja kita rayakan dalam suasana keprihatinan publik. Saat ini kenaikan harga-harga sebagai konsekuensi logis dari naiknya tarif dasar listrik (TDL) kian menambah beban bagi sebagian besar masyarakat kita di tengah terbatasnya pendapatan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak sedikit. Padahal, selama ini masih banyak warga negara kita yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

Tingginya biaya kesehatan dan pendidikan disebut-sebut menjadi faktor rendahnya derajat kesehatan dan tingkat pendidikan negeri ini. Sebagai bukti Indeks Pembangunan Indonesia (IPM) Indonesia yang merupakan gabungan dari indeks daya beli, kesehatan, dan pendidikan masih jauh dari menggembirakan. Laporan UNDP tahun 2009 menempatkan IPM Indonesia pada peringkat 111 dari 182 negara. Lebih rendah dibanding negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 66), Singapura (23), Thailand (87), Filipina (105), dan bahkan Srilanka (102). Padahal pada tahun 2007 IPM Indonesia menempati peringkat 107.

Secara konstitusional penyelenggara negara sebenarnya tidak boleh membiarkan hal semacam ini terjadi. Oleh karenanya secara tegas UUD NKRI 1945 menyebutkan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (pasal 34, ayat 2). Di ayat berikutnya kembali ditegaskan bahwa "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang baik".

Jadi, jika saat ini pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak menyediakan jaminan sosial dan berbagai fasilitas penunjangnya agar masyarakat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka sesungguhnya pemerintah telah lalai untuk memenuhi hak warga negaranya. Dengan kata lain, pemerintah telah gagal menjalankan konstitusi.

Perlu ditegaskan lagi, sebagai warga negara Indonesia, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan", (pasal 28 poin H, ayat 1). Di ayat yang lain (pasal 28 poin H, ayat 3) disebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat".

Dengan demikian, sah kiranya sebagai warga negeri ini turut menuntut pemerintah untuk lebih serius mewujudkan jaminan sosial bagi warganya. Apalagi sudah ada UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam Undang-undang itu disebutkan bahwa "Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak" (pasal 1).

Akselarasi Pembangunan
Di bidang kesehatan misalnya pemerintah harus segera melakukan akselarasi pembangunan di bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Antara lain dengan meningkatkan jumlah fasilitas layanan kesehatan, tenaga kesehatan, dan obat serta pemerataan distribusinya. Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Roadmap Reformasi Kesehatan Masyarakat 2010), hingga tahun 2007 jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih tergolong rendah untuk wilayah ASEAN.

Rasio dokter yang ada di Indonesia baru mencapai 19 per 100 ribu penduduk. Bandingkan dengan Filipina yang rasionya sudah mencapai 58 per 100 ribu penduduk atau Malaysia 70 per 100 ribu penduduk. Tanpa ada percepatan dan upaya yang sungguh-sungguh, upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan takkan mencapai hasil seperti yang diinginkan.

Buktinya dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 disebutkan bahwa capaian peningkatan jumlah tenaga kesehatan hingga tahun 2008 masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Rasio dokter spesialis baru mencapai 7,73 per 100 ribu penduduk (target 9 per 100 ribu penduduk), dokter umum 26,3 per 100 ribu penduduk (target 30 per 100 ribu penduduk). Rasio dokter gigi 7,7 per 100 ribu penduduk (target 11 per 100 ribu penduduk), perawat sebesar 157,75 per 100 ribu penduduk (target 158 per 100 ribu penduduk), dan bidan sebesar 43,75 per 100 ribu penduduk (target 75 per 100 ribu penduduk).

Belum lagi distribusinya yang jauh dari merata. Hingga saat ini sebaran tenaga kesehatan masih di sekitar kota-kota besar saja. Daerah pedesaan khususnya di wilayah perbatasan, terpencil, dan pelosok masih banyak belum memiliki tenaga kesehatan. Sudah bukan rahasia lagi jika di daerah pedesaan tak sedikit puskesmas atau fasilitas layanan kesehatan yang tak memiliki dokter atau tenaga medis lainnya.

Alhasil masyarakat di daerah tersebut memiliki akses yang sangat kecil terhadap layanan kesehatan. Tak heran jika status kesehatan masyarakat di daerah seperti itu masih mengkhawatirkan. Demikian pula dengan ketersedian obat bagi masyarakat.

Pembiayaan pemerintah pusat dan daerah untuk belanja obat pelayanan kesehatan dasar baru mencapai Rp13.000 per kapita per tahun. Padahal, WHO merekomendasikan minimal 2 dolar AS per kapita per tahun (sekitar Rp 18.000 - 20.000).

Jika kondisi ini belum banyak berubah ketika sistem jaminan sosial diterapkan maka efektivitas program tersebut tentunya akan dipertanyakan. Masyarakat akan tetap kesulitan mendapatkan akses layanan kesehatan karena sarana dan prasarananya tidak memadai. Kondisi ini juga bisa memicu rasa diperlakukan tidak adil. Terutama untuk masyarakat di pedesaan dan daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang layak. Masyarakat kota termasuk yang diuntungkan dengan sistem ini karena di kota tersedia fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai.

Sementara di daerah pedesaan daerah pelosok dan terpencil tetap saja sulit mengakses fasilitas kesehatan. Padahal, warga di daerah ini juga membayar iuran yang sama seperti warga kota meski untuk beberapa kondisi (tidak mampu) iurannya dibayarkan oleh negara. Efeknya tentu akan memunculkan disparitas status kesehatan yang makin tinggi antara satu daerah dengan daerah lain. Padahal sudah jelas bahwa "Sistem jaminan sosial diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" (pasal 2 UU No 40/2004).

Dampak Positif
Secara umum sistem jaminan sosial yang coba dikembangkan di negeri ini akan membawa dampak positif. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya lambat laun akan berdampak pada peningkatan taraf kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat.

Selain itu dana sosial yang dihimpun melalui program asuransi jaminan sosial tidak hanya bisa menjadi dana cadangan negara. Namun, bisa dialokasikan untuk pengembangan ekonomi masyarakat dan ekspansi bisnis. Sebagai gambaran dana yang berhasil dikumpulkan jaminan sosial untuk para pekerja di Malaysia mencapai nilai lebih dari 1.000 triliun rupiah. Hampir sama dengan total APBN Indonesia. Dengan dana sebesar itu tentu banyak hal yang bisa dilakukan khususnya untuk meningkatkan kemakmuran bangsa.

Dari beberapa catatan saat ini masyarakat Indonesia yang terlindungi jaminan sosial melalui asuransi jumlahnya masih minim. Hanya sekitar 16 juta pekerja dari 101 juta pekerja yang dilindungi program jaminan yang disediakan Taspen, Asabri, dan Jamsostek. Asuransi kesehatan lewat skema publik yang disediakan Askes diperkirakan hanya mencakup 13,8 juta (plus 1,4 juta anggota skema asuransi komersial), dan lewat program asuransi kesehatan Jamsostek 2,7 orang (1,5 di antaranya adalah pekerja).

Dengan demikian hanya sekitar 18 juta rakyat Indonesia yang dilindungi oleh skema formal asuransi kesehatan. Ditambah dengan mereka yang dilindungi oleh asuransi swasta atau yang dibiayai pemsahaan maka diperkirakan hanya 30 juta dari 230 juta lebih penduduk Indonesia yang dijamin oleh satu atau lebih program jaminan sosial.

Sebagai hak dasar warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah sudah sewajarnya berupaya dengan segenap kemampuan yang ada untuk mewujudkannya. Bukan hanya sekadar catatan di atas kertas. Seperti terlambatnya pelaksanaan jaminan sosial akibat RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai panduan bagi pengelola jaminan sosial yang tak kunjung diajukan ke DPR untuk dibahas.

Kini setelah DPR mengambil inisiatif untuk membentuk pansus RUU ini maka sekali lagi dituntut keseriusan pemerintah untuk bekerja sama menuntaskan penyusunannya. Seiring dengan itu pemerintah khususnya sektor terkait harus berupaya keras mempersiapakan sarana dan prasarana pendukung. Agar ketika pembahasannya selesai jaminan sosial bisa segera dilaksanakan. Inilah kemerdekaan jaminan sosial yang didambakan rakyat Indonesia saat ini.

Kamis 2 September 2010, Opini Detik.com

Selengkapnya...

Kamis, 02 September 2010

DPR Sahkan RUU BPJS Jadi RUU Inisiatif

Jakarta-Harian PELITA - Draf Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) disetujui oleh seluruh fraksi di DPR menjadi RUU inisiatif DPR. RUU ini kemudian akan diserahkan kepada presiden untuk ditindaklanjuti.

"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga pernyataan dari semua fraksi yang menyatakan setuju dengan RUU BPJS," kata Pimpinan Sidang, Priyo Budi Santoso, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/7).

Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU BPJS Komisi IX DPR Zuber Safawi mengaku senang RUU BPJS akhirnya disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. Pasalnya, kata dia, RUU ini sangat dibutuhkan seluruh rakyat Indonesia, terutama terkait jaminan kesehatan.

Politisi F-PKS ini berharap, pembahasan RUU ini bisa cepat selesai, sehingga bisa disahkan tepat waktu dan bisa diimplementasikan pada 2011. "PKS berkomitmen, pembahasan RUU agar bisa cepat selesai, meski ada titik-titik krusial, namun semoga saja bisa disahkan Desember 2010, sehingga 2011 BPJS bisa berjalan," tutur dia.

Hal sama diutarakan anggota Panja RUU BPJS Komisi IX lainnya, Budi Supriyanto. Politisi F-PG ini berharap pembahasan RUU BPJS bisa diselesaikan tahun ini. Ia juga berharap BPJS akan menjadi badan yang mampu meng-cover seluruh kesehatan rakyat Indonesia tanpa memandang kaya atau miskin. "Golkar menegaskan, negara harus mampu melakukan itu," tegas dia.

Sedangkan anggota Panja RUU BPJS Komisi IX dari F-PD Nova Riyanti Yusuf mengatakan tugas DPR dan pemerintah ke depan adalah bagaimana membuat RUU BPJS menjadi lebih detail yang mengatur semua hal secara komprehensif. Ia tidak ingin dalam RUU BPJS nanti ada celah yang dimanfaatkan pihak tertentu untuk kepentingan pribadi.

Tak hanya itu, dalam implementasi dan pengawasannya pun harus dibuat jelas dan detail pula. "Bagaimana teknis detail pelaksanaannya harus tertera, pun demikian pengawasannya. Misalnya, fasilitas rumah sakit, dokter, pencatatan administrasi, investasi dan keuntungan dari nominal dana yang terkumpul di BPJS," urai dia.

Sementara itu aktivis Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) Said Iqbal mengungkapkan dengan pengesahan ini DPR sudah berusaha memenuhi target prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) di 2010. Di sisi lain, kata dia, pemerintah harus siap membahas RUU itu dengan DPR.

"Di samping itu, pemerintah harus segera menyiapkan RPP dan Perpres terkait jaminan sosial yang sesuai dengan UU SJSN dan RUU BPJS. Agar saat RUU BPJS disahkan, PP dan Perpres sudah ada, sehingga BPJS bisa dilaksanakan pada 2011," ungkap dia.

Pemerintah juga, tutur dia, mulai sekarang harus menyiapkan infrastruktur pendukung dan bagaimana melaksanakan jaminan sosial secara bertahap, misalnya menyiapkan infrastruktur dan pelaksanaan program jaminan kesehatan seumur hidup kepada seluruh rakyat Indonesia.

"Harapannya, program jaminan kesehatan menjadi rule model bagi pentahapan program jaminan sosial selanjutnya," pungkas dia.

RUU BPJS adalah badan penyelenggara sistem jaminan sosial yang dikelola negara dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Program ini merupakan pengembangan dari sistem jaminan sosial yang ada di Indonesia, seperti Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri.

Selama ini sistem jaminan sosial itu dikritik terlalu diskriminatif dan terbatas dalam penyakit tertentu saja. Dalam konsep BPJS, obyek yang ternaungi adalah seluruh rakyat Indonesia. Serta, tidak ada plafon maksimal bagi penyakit-penyakit tertentu. Pengelola BPJS pun hanya satu lembaga berbadan hukum bersifat nirlaba, yang hingga saat ini belum dibentuk. (cr-14)

Harian Pelita, Kamis 29 Juli 2010
Selengkapnya...

Selasa, 20 Juli 2010

Bentuk Ideal BPJS : Multi atau Tunggal ?

JAKARTA, Ide yang bergulir di Komisi IX DPR RI untuk membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJS) tunggal ditentang banyak pihak. Ide tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Tidak hanya itu, ide membentuk BPJS tunggal juga akan mengakibatkan terjadinya kekisruhan dalam penyelenggaraan jaminan sosial itu sendiri. Hal ini terungkap dalam seminar SJSN, di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta. (9/6) yang mengusung tema "Bentuk Ideai BPJS, Tunggal atau Multi".

"Dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia kurang tepat jika BPJS hanya 1 (satu), karena kepesertaan antara PNS/TNI-Polri dengan pekerja sektor swasta harus dibedakan. Untuk PNS/TNI-Polri dananya berasal dari APBN sedangkan iuran hanya bersifat suppiemen. Sedangkan bagi pekerja sektor swasta berasal dari iuran peserta," jelas HB Purwoko dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang menjadi salah satu nara sumber pada seminar tersebut.

Lebih tepat lanjut HB Purwoko, keempat BPJS yang ada saat ini (Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes) tetap dipertahankan, namun badan hukumnya harus dirubah. la menyarankan agar BPJS tersebut berbadan hukum wali amanat.

"Badan hukum Wali amanat defenisinya adalah intitusi mandiri yang dipercaya Undang-Undang untuk menyelenggarakan jaminan sosial dan mengelola dana amanat dengan tujuan perlindungan sosial terhadap resiko sosial ekonomi, ini sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan sosial,' tambahnya lagi.

Purwoko juga mengatakan jika ada yang mengatakan belum ada Undang-Undang yang mengatur tentang wali amanat, tinggalmencantumkan didalam ketentuan umum Undang-Undang BPJS. "Jangan kita tunggu dibuat Undang-Undangnya dulu. Badan Hukum Bank Indonesia juga hampir mirip dengan wali amanat karena mengedarkan uang juga dana amanat, tapi tetap bisa berjalan walau undang-undang wali amanat belum ada,'tegasnya lagi.

Sebelumnya anggota Komisi IX DPR RI, Zuber Safari, dari Fraksi PKS, mengatakan saat ini ada dua pilihan bentuk ideal BPJS, yaitu tunggal atau multi. keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

"Yang paling penting adalah bagaimana SJSN itu berjalan secara efektif dan efisien dengan tetap menjamin program yang sudah berjalan tetap berjalan sebagaiman mestinya, hak peserta juga tetap terpenuhi, tidak ada subsidi program dan semua karyawan keempat BPJS yang ada saat ini bisa terakomodir, maka tidak penting lagi apakah BPJS itu berbentuk tunggal atau multi," ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, Zuber juga menjelaskan alasan keterlambatan proses pembahasan RUU BPJS di DPR RI, karena anggota DPR menunggu inisiatif dari pemerintah, namun sampai sampai lewat tenggat waktu (19 Oktober 2009) namun inisiatif dari pemerintah sangat lemah, akhirnya DPR lah yang mengambil inisiatif tersebut. "BPJS ini masalah yang sangat teknis dan menyangkut BUMN dan yang paling paham masalah BUMN tentu Pemerintah. Inilah alasan mengapa kami menunggu inisiatif dari pemerintah.'kilah Zuber.

Namun menurut Hot Bonar Sinaga. Direktur Utama PT. Jamsostek, alternatif pemecahan yang paling ideal terhadap polemik badan hukum BPJS adalah tetap mempertahankan ke-empat BPJS yang ada saat ini. sekaligus tetap menempatkannya di bawah Kementerian BUMN yang bertindak sebagai pengawas akhir, dengan mengubah ketentuan yang ada seperti mengamandemen UU BUMN."BPJS bisa berbentuk Perum dengan catatan penyesuaiannya harus sejalan dengan prinsip penyelenggaraan SJSN dan tidak diwajibkan membayar dana pembangunan semesta kepada Pemerintah (perintah Undang-Undang No. 19 tahun 1961) atau deviden. Alternatif lain berupa BUMN yang mendapat penugasan khusus dengan prinsip nirlaba," kilah Hot Bonar, tanpa merinci lebih jelas apa yang dimaksud dengan 8UMN khusus.

Keteguhan Dirut PT. Jamsostek ini untuk tetap mempertahankan badan hukum NPJS tetap BUMN. berangkat dengan alasan selama ini ke-empat BPJS yang ada saat ini sudah menjalankan fungsinya dengan lancar.

Namun hal ini langsung mendapat sanggahan dari anggota Komisi IX DPR RI, Surya Chandra. "Kami sudah mengambil kesimpulan bahwa BPJS-BPSJ ini badan hukumnya akan berubah dan bukan lagi BUMN. Sangat tidak masuk akal jika BPJS yang mengelola jaminan sosial berbadan hukum BUMN, sedangkan BUMN itu sudah pasti "provit oriented " dan tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang SJSN". Sanggahnya.

Surya Chandra juga mengimbau untuk menghentikan perdebatan ataupun polemik mengenai badan hukum BPJS. Menurutnya saat ini yang paling penting adalah bagaimana caranya tahun 2011 nanti sistem jaminan sosial nasional harus sudah berjalan sesuai dengan sila ke 5 Pancasila "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Pada kesempatan yang sama. Said lqbai. Sekretaris Jenderal Komite Aksi Untuk Jaminan Sosial (KAJS). mengaku sangat miris melihat sampai saat ini amanat UUD 1945 dan UU No. 49 tahun 2004 tentang SJSN belum berjalan sampai saat ini. la berpendapat ini artinya pemerintah dengan sengaja melanggar konstitusi.

"Untuk pertama kalinya terjadi, saat pemerintah melanggar konstitusi tidak ada satu pun lembaga negara yang mengingatkan masalah ini. Untuk itu kami sebagai kekuatan sosial masyarakat akan mengambil alih tugas untuk mengingatkan pemerintah. Saya bertiarap DPR RI ada di pihak rakyat," tegasnya.

lqbal juga mengingatkan, UU BPJS ini harus mencerminkan secara utuh bahwa jaminan kesehatan itu harus berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa ada diskriminasi ataupun pembatasan. Selain itu ia meminta pekerja formal harus mendapatkan jaminan pensiun layaknya PNS/TNI-Polri dan ia yakin pekerja formal siap untuk membayar iurannya.

"Tidak adil jika selama ini pemerintah memotong setiap penghasilan rakyatnya yang masih bekerja dengan mengatas namakan pajak tanpa meminta persetujuan rakyat untuk membiayai negara. Tapi disaat rakyatnya dalam kondisi lemah, mungkin karena sakit atau di PHK negara tidak mau bertanggung jawab sama sekali,' pungkas lqbal.

Edisi Juni 2010, Jurnal Perjoeangan
Selengkapnya...

Selasa, 15 Juni 2010

Pasien Miskin dan Jaminan Sosial

Meski sudah banyak aturan dan anjuran agar fasilitas kesehatan mendahulukan pertolongan kepada pasien, namun penolakan layanan kepada pasien dengan alasan ekonomi masih kerap terjadi. Kasus penolakan terhadap Elsa Ainurohmah, bayi berusia enam bulan, putri pasangan Paidi (34) dan Septi Nuraini (30) oleh RS Sari Asih, Karawaci Tangerang, beberapa waktu lalu, misalnya, menambah panjang catatan hitam kasus serupa di Tanah Air.

Bayi mungil itu tidak mendapatkan layanan medis semestinya karena orangtuanya tak mampu menyanggupi uang muka Rp 10 juta yang diminta pihak rumah sakit. Akhirnya, orangtuanya memutuskan untuk memindahkan Elsa ke RSU Tangerang. Namun, akibat terlambat mendapatkan layanan medis, Elsa meninggal sebelum tiba di RSU Tangerang.
Tentu sangat miris rasanya jika peristiwa seperti ini terus terjadi secara berulang.

Padahal, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mewajibkan fasilitas layanan kesehatan agar mendahulukan upaya penyelamatan pasien. Pada pasal 32 ayat (1) undang-undang ini disebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Demikian pula UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam pasal 29 ayat (1) huruf f undang-undang itu secara tegas dinyatakan rumah sakit wajib melaksanakan fungsi sosial, antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi kemanusiaan.

Tapi, realitasnya berkata lain. Kasus Elsa menunjukkan hal yang sebaliknya. Rumah sakit menolak pasien yang tak bisa menyediakan uang muka sebagai jaminan pembiayaan. Masalah ketersediaan uang muka atau jaminan pembiayaan memang sering menjadi titik pangkal persoalan dalam layanan kesehatan. Ketika tidak ada jaminan pembiayaan, seperti kasus di atas, maka sulit bagi warga masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan.

Fenomena ini menunjukkan lemahnya implementasi aturan yang ada. Untuk itu, harus ada upaya keras dari pemerintah sebagai regulator untuk menindak pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Selain itu, perlu ada upaya yang komprehensif untuk merapikan sistem sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan aturan-aturan tersebut, termasuk masalah jaminan pembiayaan.

Sebagai fasilitas yang padat modal, padat karya, dan padat teknologi, fasilitas layanan kesehatan, khususnya rumah sakit, memang dihadapkan pada tuntutan akan adanya jaminan pembiayaan yang memadai. Tanpa itu, rumah sakit tak mungkin bisa menjalankan fungsinya. Apalagi, rumah sakit swasta yang dituntut menjadi revenue center (pusat penghasilan) yang harus membawa keuntungan bagi pemilik dan pengelolanya.

Inilah salah satu dilema yang dihadapi rumah sakit dalam melakukan layanan kesehatan bagi warga tidak mampu. Jika melayani warga yang tak mampu membayar, tentu rumah sakit akan kehilangan penghasilan. Dan, ini akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan operasional RS itu sendiri.

Di sisi lain, program terobosan pemerintah tampaknya belum sepenuhnya efektif. Pemberian SKTM (surat keterangan tidak mampu) dan program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan jaminan pembiayaan kesehatan bagi warga miskin belum sepenuhnya menjadi solusi. Cakupan yang terbatas, birokrasi yang lambat dan bertele-tele, dan informasi yang tidak tersebar dengan baik, menjadi titik lemah program yang menyebabkan warga tidak mampu menjadi korban.

Fakta lain, tidak sedikit warga miskin peserta Jamkesmas, yang seyogianya mendapat jaminan pembiayaan dari negara, tetap tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan. Terbatasnya fasilitas layanan untuk pasien Jamkesmas adalah alasannya. Jamkesmas memang hanya menjamin fasilitas layanan untuk kelas III rumah sakit. Sedangkan untuk mengejar keuntungan, rumah sakit lebih banyak menyediakan kelas II, I, VIP, dan bahkan VVIP ketimbang kelas III yang minim keuntungan.

Dalam UU No 44 Tahun 2009 disebutkan, rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan antidiskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial (pasal 2). Jika melihat penjelasan dari pasal tersebut, prinsip-prinsip yang tertuang dalam pasal itu mengarahkan pada pengutamaan layanan kesehatan dan penghilangan diskriminasi baik karena perbedaan, agama, ras, maupun strata ekonomi. Misalnya, nilai kemanusiaan dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyelenggaraan rumah sakit dilakukan dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras.

Adapun yang dimaksud dengan nilai keadilan adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya terjangkau oleh masyarakat dan pelayanan yang bermutu. Sedangkan fungsi sosial rumah sakit, dijelaskan sebagai bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien, khususnya yang kurang/tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.

Jadi, secara prinsip dan aturan, tak ada alasan bagi rumah sakit untuk mengabaikan pasien tidak mampu. Namun, mari kita kembali pada realitas yang ada. Penerapan aturan tersebut harus diikuti dengan solusi sistemik terkait masalah jaminan pembiayaan yang sering dikeluhkan pihak penyelenggara layanan kesehatan. UU Kesehatan dan UU Rumah Sakit memberi jaminan kepada seluruh warga, termasuk warga miskin, untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Tentu, UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) seharusnya menjadi jawabannya. Undang-undang ini mengatur tentang perlindungan sosial bagi masyarakat Indonesia agar bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Di dalamnya termasuk jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian berdasarkan prinsip asuransi. Khusus untuk masyarakat miskin, preminya dibayar oleh pemerintah.

Apabila UU ini berhasil dijalankan sepenuhnya, maka pembiayaan kesehatan-seperti yang sekarang ini sering dikeluhkan-bukan lagi masalah. Sebab, setiap warga negara Indonesia memiliki jaminan pembiayaan kesehatan. Hanya saja, aturan-aturan turunan dari Undang-Undang SJSN belum sepenuhnya terselesaikan. Salah satu yang krusial adalah aturan tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).

Opini Suara Karya, Senin 7 Juni 2010
Selengkapnya...

Senin, 14 Juni 2010

Mencari Bentuk Ideal BPJS, Tunggal atau Multi?

Badan Penyelenggara JaminanSosial (BPJS) merupakan lembaga publik yang dibentuk dengan UUSistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyelenggarakan sistemproteksi dasar bagi seluruh rakyat Indonesia yang sesuai dengan UU,termasuk pelayanan umum oleh instansi pemerintah.

Hal itu dikemukakan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)Bambang Purwaka dalam seminar Menentukan Bentuk BPJS Tunggal atauMulti di Jakarta, Rabu (9/6). Menurutnya, alasan perlunya perubahan bentuk badan hukum privat(BUMN Persero) menjadi badan hukum publik yang semi otonom adalahatas dasar pertimbangan kewenangan penyelenggaraan SJSN sebagaiprogram negara.

Semi otonom artinya institusi yang independen dan mempunyai hakdan kewajiban konstitusional untuk menyelenggarakan program negaraseperti jaminan sosial dan bantuan sosial, katanya. Selain itu, katanya, perubahan bentuk badan hukum dari BUMNPersero ke badan hukum publik semi otonom hanya terkait denganperubahan orientasi dari laba ke nirlaba.Dalam perubahan tersebut, katanya, nantinya dinyatakan bahwaseluruh karyawan aset BUMN Persero dengan sendirinya merupakan karyawan BPJS.

BPJS diberikan kewenangan khusus untuk mengatur sendiri mengenaiperekrutan karyawan, jenjang karir dan pola penggajian, sepertihalnya Bank Indonesia, kata Bambang.
Sebelumnya di tempat sama, anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi mengatakan, arah pengaturan RUBPJS di antaranya adalah membentuk struktur organisasi BPJS yang efisien dan kaya fungsi yang sesuai dengan prinsip nirlaba, kehati-hatian, good governance, akuntabeldan independen.

Selain itu RUU BPJS juga harus mengarah pada pengaturanmekanisme penyelenggaraan jaminan sosial dan tata kerja BPJS yangdapat memberikan peluang bagi ke empat persero, yakni Askes,Taspen, Jamsostek dan Asabri untuk mengintegrasikan diri,katanya.

Menurut Zuber, dalam RUU BPJS harus ditetapkan mekanismepengawasan pelaksanaan program jaminan sosial, kedudukan DJSN danpengawasan internal BPJS, serta mengatur manajemen sistem informasi BPJS, organisasi dan juga manajemen sumberdaya manusianya.Ia menjelaskan bahwa saat ini untuk menentukan bentuk BPJS masih sulit karena adanya dua wacana bentuk BPJS, yakni BPJS Tunggal atau Multi.

Kelebihan BPJS Tunggal, dalam pengelolaan organisasi BPJS danpenyelenggara jaminan sosial, maka proses, prosedur dan mekanisme pelayanan kepada setiap peserta dipastikan sama, katanya. Selain itu, akses kepesertaan hanya dari satu penyelenggara, dan peserta hanya membayar premi asuransi sosial untuk mendapatkan kelima manfaat program, serta satu peserta hanya memiliki satu nomor identitas, dan data kepesertaannya hanya dikeluarkan olehsatu badan.

Kemudian, kata dia, antara satu program dengan yang lainnyaberada dalam satu koordinasi, sehingga mudah memperbaiki jikaterjadi kesalahan, penanganan keluhan juga menjadi lebih cepatserta biaya operasional menjadi lebih efisien.
Namun ada kekurangan BPJS Tunggal, di antaranya dalam menyatukanpenyelenggaranya menjadi satu dibutuhkan komitmen politik yanglebih kuat, hal lain yang harus juga diperhatikan yakni dalampengelolaan dana yang harus lebih diawasi, katanya.

Meski demikian, jika BPJS berbentuk multi, peserta harusmembayar lima premi asuransi untuk lima manfaat secara sukarela,kemudian prosedur, proses dan mekanisme klaim berbeda antarpenyelenggara, serta tidak adanya koordinasi dan keadilanantar-program, katanya. (T.Jul/ysoel)

Hukumonline.com, Rabu 9 Juni 2010
Selengkapnya...

BPJS Tunggal Sulit Satukan Penyelenggara

Pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) dengan sistem tunggal masih kesulitan menyatukan penyelenggaraan menjadi satu, sehingga dibutuhkan komitmen politik yang lebih kuat.

Bahkan, dalam penyelenggaraan BPJS sistem tunggal membuat terlalu besar wewenang direksi, sehingga pengelolaan dana harus lebih diawasi.Namun, menurut Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Zuber Safawi, bentuk BPJS dengan sistem tunggal memiliki kelebihan dalam hal pengelolaan organisasi dan penyelenggaraan jaminan sosial.

Selain itu, lanjutnya, kelebihan lainnya adalah efektivitas mekanisme koordinasi dan juga pendanaan yang terkumpul relatif banyak, sedangkan biaya operasionalnya menjadi lebih efisien dan mudah memperbaiki jika terjadi kesalahan.

"Yang menjadi permasalahan disini bukan masalah bentuk BPJS multi atau tunggal melainkan inisiatif pemerintah lemah atau lamban dan sebagian program semisal jaminan sosial yang sudah berjalan," tuturnya dalam seminar mencari Bentuk Ideal BPJS di DPR, hari ini.

Zuber menambahkan masalah yang lebih rumit lagi adalah lembaga yang ada belum sesuai dengan UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Sementara itu, Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial Said Iqbal menuturkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertanggung jawab terhadap belum dilaksanakannya UU SJSN hingga saat ini.

"Sebenarnya, tidak hanya presiden sebagai kepala negara yang bersalah karena tidak menjalankan jaminan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia, juga ketua DPR, wakil presiden, Menkokesra, Menko Perekonomian, Menkeu, Menkum dan HAM, Menkes, Mensos, Menakertrans dan Menteri Pertahanan," jelasnya.

Said dalam kesempatan yang sama menilai dengan tidak menjalankan UU SJSN, akibatnya sama dengan sekitar 240 juta jiwa warga negara Indonesia kehilangan haknya atas pemenuhan jaminan sosial tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.(yn)

Bisnis Indonesia.Com, Rabu 9 Juni 2010
Selengkapnya...

BPJS Lembaga Publik Yang Proteksi Rakyat Sesuai UU

Badan Penyelenggara JaminanSosial (BPJS) merupakan lembaga publik yang dibentuk dengan UUSistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyelenggarakan sistemproteksi dasar bagi seluruh rakyat Indonesia yang sesuai dengan UU,termasuk pelayanan umum oleh instansi pemerintah.

Hal itu dikemukakan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)Bambang Purwaka dalam seminar Menentukan Bentuk BPJS Tunggal atauMulti di Jakarta, Rabu (9/6). Menurutnya, alasan perlunya perubahan bentuk badan hukum privat(BUMN Persero) menjadi badan hukum publik yang semi otonom adalah atas dasar pertimbangan kewenangan penyelenggaraan SJSN sebagai program negara.

Semi otonom artinya institusi yang independen dan mempunyai hakdan kewajiban konstitusional untuk menyelenggarakan program negaraseperti jaminan sosial dan bantuan sosial, katanya. Selain itu, katanya, perubahan bentuk badan hukum dari BUMNPersero ke badan hukum publik semi otonom hanya terkait denganperubahan orientasi dari laba ke nirlaba.

Dalam perubahan tersebut, katanya, nantinya dinyatakan bahwaseluruh karyawan aset BUMN Persero dengan sendirinya merupakan karyawan BPJS. BPJS diberikan kewenangan khusus untuk mengatur sendiri mengenai perekrutan karyawan, jenjang karir dan pola penggajian, sepertihalnya Bank Indonesia, kata Bambang.

Sebelumnya di tempat sama, anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawimengatakan, arah pengaturan RUBPJS di antaranya adalah membentuk struktur organisasi BPJS yang efisien dan kaya fungsi yang sesuai dengan prinsip nirlaba, kehati-hatian, good governance, akuntabel dan independen.Selain itu RUU BPJS juga harus mengarah pada pengaturanmekanisme penyelenggaraan jaminan sosial dan tata kerja BPJS yangdapat memberikan peluang bagi ke empat persero, yakni Askes,Taspen, Jamsostek dan Asabri untuk mengintegrasikan diri,katanya.

Menurut Zuber, dalam RUU BPJS harus ditetapkan mekanismepengawasan pelaksanaan program jaminan sosial, kedudukan DJSN danpengawasan internal BPJS, serta mengatur manajemen sistem informasi BPJS, organisasi dan juga manajemen sumberdaya manusianya.Ia menjelaskan bahwa saat ini untuk menentukan bentuk BPJS masihsulit karena adanya dua wacana bentuk BPJS, yakni BPJS Tunggal atau Multi.

Kelebihan BPJS Tunggal, dalam pengelolaan organisasi BPJS danpenyelenggara jaminan sosial, maka proses, prosedur dan mekanismepelayanan kepada setiap peserta dipastikan sama, katanya.

Selain itu, akses kepesertaan hanya dari satu penyelenggara, dan peserta hanya membayar premi asuransi sosial untuk mendapatkankelima manfaat program, serta satu peserta hanya memiliki satunomor identitas, dan data kepesertaannya hanya dikeluarkan olehsatu badan.

Kemudian, kata dia, antara satu program dengan yang lainnya berada dalam satu koordinasi, sehingga mudah memperbaiki jikaterjadi kesalahan, penanganan keluhan juga menjadi lebih cepatserta biaya operasional menjadi lebih efisien.
Namun ada kekurangan BPJS Tunggal, di antaranya dalam menyatukanpenyelenggaranya menjadi satu dibutuhkan komitmen politik yanglebih kuat, hal lain yang harus juga diperhatikan yakni dalampengelolaan dana yang harus lebih diawasi, katanya.

Meski demikian, jika BPJS berbentuk multi, peserta harusmembayar lima premi asuransi untuk lima manfaat secara sukarela,kemudian prosedur, proses dan mekanisme klaim berbeda antarpenyelenggara, serta tidak adanya koordinasi dan keadilanantar-program, katanya.

Kominfo Newsroom, Rabu 9 Juni 2010
Selengkapnya...

Selasa, 01 Juni 2010

DPR Prioritaskan RUU BPJS

JAKARTA(SI) – Komisi IX DPR menargetkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) selesai pada pertengahan Juni 2010.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz menuturkan, saat ini pembahasan RUU BPJS memasuki proses penyaringan tanggapan dan aspirasi masyarakat. Komisi IX terus berkeliling ke daerah untuk meminta masukan dan aspirasi, yakni ke Makassar, Balikpapan, dan Surabaya. Irgan menegaskan, RUU ini penting dibahas karena memberikan jaminan kepada masyarakat dalam hal kesehatan, kecelakaan kerja, pensiun, hari tua, dan jaminan kematian.

“Jaminan kesehatan merupakan RUU yang diprioritaskan untuk dibahas,” tandasnya di Jakarta kemarin. Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengungkapkan, jika RUU ini sudah disahkan, maka seluruh penduduk Indonesia akan mendapatkan jaminan.

Selain masyarakat, badan hukum publik dan wali amanah juga bisa mendapatkan jaminan sosial tersebut. Nantinya,BPJS tidak akan mencari keuntungan (nirlaba) dan tetap berkeadilan serta independen. Dia memaparkan, struktur organisasi badan hukum penyelenggara program jaminan sosial ini nantinya tetap terpusat dan berskala nasional. Sementara perusahaan asuransi yang masih ada saat ini seperti PT Askes, Taspen, Jamsostek, dan PT Asari, akan menjadi perusahaan pendukung BPJS.

“Mereka akan menjadi supporting system BPJS,”urainya. RUU BPJS ini merupakan salah satu RUU hasil inisiatif DPR.RUU ini diajukan untuk memenuhi amanat Undang-Undang (UU) No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Wakil Ketua Komisi IX DPR Sumarjati Arjoso mengungkapkan, kemungkinan besar pembahasan RUU BPJS sudah mencapai keputusannya pada Senin (31/5) ini. Hasil keputusan tersebut akan dikirimkan ke Badan Legislasi (Baleg) pada 1 Juni 2010 untuk harmonisasi. Proses yang akan berlangsung di Baleg diperkirakan memakan waktu hingga sepuluh hari.“Kami harap, keputusan akhir dapat diumumkan pada sidang paripurna 15 Juni 2010,”paparnya.

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi mendesak pemerintah melakukan akselerasi pembangunan di bidang kesehatan sebagai persiapan pelaksanaan SJSN.Akselerasi itu mencakup pembangunan fasilitas kesehatan, distribusi tenaga kesehatan,dan perbaikan manajemen pengelolaan fasilitas kesehatan. Fakta yang ada saat ini menggambarkan bahwa tidak sedikit pos pelayanan kesehatan di pedesaan yang memberikan pelayanan minimal karena kurangnya tenaga kesehatan dan fasilitas pendukung.

“Belum lagi manajemen pengelolaannya yang masih bermasalah dan kedisiplinan petugas yang rendah sehingga menyebabkan antrean pasien yang panjang,”tegasnya.Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini menuturkan, jika tidak didukung dengan akselerasi tersebut, maka jaminan sosial yang sudah dirancang dengan baik itu hanya akan dinikmati masyarakat perkotaan.

Sementara masyarakat di pedesaan tetap kesulitan mengakses jaminan tersebut. Zuber juga mengungkapkan, sebenarnya hakikat dasar program SJSN adalah untuk mempermudah masyarakat dalam memperoleh akses layanan kesehatan dan bukan untuk memunculkan perlakuan tidak adil di masyarakat.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih berharap agar DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU BPJS. Meski belum selesai dibahas, Menkes menyatakan, pemerintah tetap akan menjalankan pelayanan yang men-cover seluruh penduduk.

Harian Seputar Indonesia, Senin 31 Mei 2010 Selengkapnya...

Pemerintah Diminta Lakukan Akselerasi Kesehatan

Jogjakarta(KR) - Anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi mendesak pemerintah untuk melakukan akselerasi pembangunan di bidang kesehatan, sebagai persiapan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pemerintah juga diingatkan agar segera membangun fasilitas kesehatan di daerah pedesaan.

Zuber Syafawi mengatakan hal ini kepada KR di Semarang Sabtu (29/5), terkait dengan kebijakan pemerintah yang akan menggunakan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk menjamin kesehatan masyarakat yang kurang mampu. Zuber Syafawi berharap pemerintah melakukan percepatan pemerataan distribusi tenaga kesehatan dan perbaikan manajeman pengelolaan fasilitas kesehatan, sehingga program SJSN bisa dilaksanakan secara adil.

Menurut Zuber, akselerasi bidang kesehatan mutlak dibutuhkan, karena jika tidak dilakukan akselerasi dikhawatirkan yang menikmati program SJSN hanya sebagian masyarakat saja, utamanya masyarakat di kota yang sudah memiliki fasilitas kesehatan. Sedangkan masyarakat yang berada di pedesaan akan sulit menikmati jaminan yang diselenggarakan pemerintah, karena kesulitan untuk bisa mengakses fasilitas kesehatan yang ada.

“Masih jarangnya pos pelayanan kesehatan ditambah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata, akan membuat warga di pedesaan merasa dianaktirikan. Banyak pos pelayanan kesehatan di pedesaan tak bisa memberikan pelayanan secara optimal karena kurangnya tenaga kesehatan dan fasilitas pendukung,” tutur Zuber.

Kendala tersebut menurut Zuber dari FPKS DPR RI ini, masih ditambah lemahnya manajemen pengelolaan, dan tingkat kedisiplinan petugas kesehatan di pedesaan yang masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari seringnya dijumpai tenaga kesehatan yang datang terlambat sehingga menyebabkan antrean pasien yang panjang.

“Saat ini komisi IX DPR RI dan Pemerintah sedang membahas pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai tindaklanjut dari amanat UU Nomor 40/2004 tentang SJSN. Diharapkan saat UU BPJS terbentuk, pemerintah sudah siap dengan fasilitas pelayanan dan SDM kesehatan yang merata," tegas Zuber Syafawi.

Kedaulatan Rakyat Minggu 30 Mei 2010 Selengkapnya...

Pemerintah Harus Lakukan Akselerasi Pembangunan Kesehatan

Anggota Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi mendesak pemerintah untuk melakukan akselerasi pembangunan di bidang kesehatan sebagai persiapan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

"Selain pembangunan fasilitas kesehatan di daerah pedesaan, pemerintah harus mempercepat pemerataan distribusi tenaga kesehatan dan perbaikan manajeman pengelolaan fasilitas kesehatan. Hal ini untuk menjamin agar SJSN terselenggara secara adil," ungkap Zuber dalam siaran persnya yang dikirim ke redaksi Suara Merdeka CyberNews.

Jika tidak, tambah Zuber, maka yang menikmati jaminan kesehatan, sebagai bagian dari SJSN, hanya sebagian masyarakat saja, utamanya masyarakat di kota yang sudah memiliki fasilitas kesehatan. "Masyarakat yang berada di pedesaan akan sulit menikmati jaminan yang diselenggarakan pemerintah, bukan karena tidak mau, tapi sulit mendapat akses fasilitas kesehatan," lanjut sekretaris Fraksi PKS ini.

Masih jarangnya pos pelayanan kesehatan ditambah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata hanya akan membuat warga di daerah pedesaan merasa dianaktirikan. Hingga saat ini tak sedikit pos pelayanan kesehatan yang ada di daerah pedesaan tak bisa memberikan pelayanan secara optimal karena kurangnya tenaga kesehatan dan fasilitas pendukung.

"Belum lagi manajemen pengelolaannya yang masih bermasalah, kedisiplinan petugas perlu ditingkatkan karena masih sering dijumpai tenaga kesehatan yang datang terlambat sehingga menyebabkan antrian pasien yang sangat panjang," tambahnya.

"Saat ini, komisi IX DPR dan Pemerintah sedang membahas pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai tindak lanjut dari amanat UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sehingga diharapkan saat UU BPJS terbentuk, pemerintah juga sudah siap dengan fasilitas pelayanan dan SDM kesehatan yang merata," ungkapnya.

"Hakikat SJSN seharusnya mempermudah masyarakat dalam memperoleh akses layanan kesehatan, bukan untuk memunculkan rasa diperlakukan tidak adil di kalangan masyarakat," tandas Zuber.

Berdasarkan UU SJSN, pemerintah akan memberikan jaminan sosial kepada masyarakat Indonesia berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Saat ini program tersebut masih menunggu disahkannya UU BPJS.

Kamis 27 Mei 2010, Suara Merdeka Selengkapnya...

Rabu, 26 Mei 2010

Pemerintah Tidak Serius Lindungi TKI

JAKARTA – Pemerintah dinilai tidak serius dalam memberikan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terutama di Malaysia.

Ketidakseriusan itu terlihat dari isi Nota Kesepahaman tentang TKI yang ditandatangani Indonesia-Malaysia yang lebih mirip dengan surat perjanjian bisnis.

Pernyataan tersebut disampaikan anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka di Jakarta, Rabu (19/5).

Politisi dari Fraksi PDIP ini menilai Nota Kesepakatan tentang perlindungan dan penempatan TKI yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Malaysia kemarin lebih mirip dengan bentuk perjanjian bisnis.

Seperti diberitakan sebelumnya, Nota kesepahaman tentang Tenaga Kerja Indonesia antara Indonesia dan Malaysia akhirnya ditandatangani, Selasa (18/5) di di Kantor Perdana Menteri (PM) Malaysia dia kawasan Putrajaya Malaysia.

Memorandum of Understanding tersebut ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dan Menteri Tenaga Kerja Malaysia Dato Seri Hishammudin Tun Hussein, Selasa (18/5).

Ditandatangani untuk mengakhiri moratorium penempatan TKI informal PRT ke Malaysia sejak 25 Juni 2009.

Tidak Ada

Menurut Rieke, hal itu tecermin dari tidak adanya desakan dari Pemerintah Indonesia kepada Malaysia untuk membuat undang-undang (UU) perlindungan TKI dan pembantu rumah tangga di sana.

Padahal, UU-lah yang dapat menjamin adanya perlindungan tersebut.

Karena itu, ia pesimistis surat perjanjian tersebut akan dapat melindungi TKI sebagaimana yang diharapkan banyak pihak.

“Tapi ya begitu, jangankan di negara penempatan, kita sendiri belum ada UU PRT yang diresmikan,” terang Rieke.

Pendapat senada juga disampaikan anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi.

Menurutnya, perjanjian yang ditandatangani Selasa lalu itu belum menjamin perlindungan bagi para TKI, terutama PRT.

Pasalnya, perjanjian itu hanya melingkupi persoalan yang ada di Malaysia seperti persoalan gaji, libur satu hari, dan paspor yang dapat dipegang oleh TKI.

Lebih lanjut lagi, Zuber mengatakan, pemerintah seharusnya menegaskan mengenai pengawasan atau law enforcement di Malaysia, yaitu jika ada penganiayaan terhadap TKI bagaimana mekanisme hukuman bagi majikan.

“Jika kesemuanya belum diatasi maka MoU itu akan menjadi kehilangan maknanya,” pungkasnya.
cit/N-1

Kamis 20 Mei 2010, Koran JAKARTA Selengkapnya...

Perlindungan bagi TKI Disepakati

JAKARTA – Nota kesepahaman (MoU) tenaga kerja Indonesia (TKI) antara pemerintah Indonesia dan Malaysia ditandatangani, Selasa (18/5).

Nota kesepahaman tersebut ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia Muhaimin Iskandar dan Menteri Tenaga Kerja Malaysia Dato Seri Hishammudin Tun Hussein di Kantor Perdana Menteri (PM) Malaysia Putrajaya, Malaysia.

Penandatanganan yang disaksikan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu diharapkan dapat menjadi lang kah awal Indonesia meningkatkan perlindu ngan terhadap TKI.

“Khu susnya untuk perlindungan pekerja di sektor domestik,” kata Muhaimin dalam siaran pers.

Berdasarkan perjanjian itu, ada empat poin penting yang dijadikan dasar pemberian jaminan dan hak-hak para TKI.

Empat poin itu adalah libur satu hari dalam sepekan untuk pekerja yang bekerja di rumah tangga, gaji yang akan diterima TKI, paspor penata laksana rumah tangga (PLRT) dipegang yang bersangkutan, dan biaya penempatan PLRT disepakati kedua negara.

Tetap Diawasi

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi menyambut baik ke sepakatan itu.Namun, dia mengingatkan pemerintah untuk tetap menertibkan seluruh proses penempatan dan perlindungan TKI.

“Karena kesepakatan hanya terbatas pada TKI yang legal dan memenuhi syarat, sedangkan yang ilegal karena pemalsuan umur dan tes kesehatan yang palsu, tetap berangkat karena pengawasan lemah,” tutur anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

Senada dengan Zuber, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah berpendapat pemerintah harus meminta Malaysia mengevaluasi total situasi dan penempatan PRT ilegal ke Malaysia pada masa moratorium diberlakukan sejak 26 Juni 2009.

“Angka kematian TKI di Malaysia pada 2009 yang mencapai 687 orang harus dijelaskan oleh pemerintah Malaysia,” katanya.
cit/S-2

Koran JAKARTA, Rabu 19 Mei 2010 Selengkapnya...

Rabu, 19 Mei 2010

Perlindungan TKI Diperbaiki

KUALA LUMPUR (SI) – Indonesia dan Malaysia kemarin menandatangani letter of intent(LoI) sebagai langkah awal memperbaharui nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) tentang perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI).

Penandatanganan LoI dilakukan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Malaysia Datuk Seri Hishammuddin Tun Hussein. LoI untuk penyempurnaan MoU perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) pada 2006 itu merupakan hasil kesepakatan pembicaraan bilateral antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Mohd Najib Tun Abdul Razak di Kantor PM Malaysia, Putrajaya, kemarin. Kesepakatan tentang tenaga kerja merupakan salah satu agenda penting yang dibawa Presiden dalam pertemuan konsultasi tahunan Indonesia-Malaysia.

Pertemuan yang merupakan forum bilateral tertinggi antara dua negara akan membahas segala tantangan dan peluang bagi pengembangan dan peningkatan hubungan bilateral yang saling menguntungkan dengan semangat penuh keterbukaan dan persahabatan. Sejak diselenggarakan pada 2006, forum rutin tersebut digelar setahun sekali antara Indonesia dan Malaysia guna membahas segala persoalan dalam hubungan bilateral kedua negara tetangga. Selain membahas tenaga kerja, kedua kepala negara ini juga membahas hubungan ekonomi, investasi, perdagangan,serta pariwisata.

Selama di negeri serumpun itu Presiden SBY juga dijadwalkan menerima kunjungan kehormatan Ketua World Islamic Forum (WIEF) yang juga mantan PM Malaysia, Tun Musa Hitam.Di Malaysia pada Rabu 19 Mei 2010 Presiden diagendakan menyampaikan pidato pada WIEF VI bertema ‘’Gearing for Economic Resurgence’’. WIEF VI diselenggarakan di Kuala Lumpur Convention Center akan dihadiri delapan kepala negara/pemerintahan di antaranya Presiden Senegal, Presiden Maladewa,Presiden Kosovo, Perdana Menteri Bangladesh, serta Wakil PM Kazakhstan. Presiden Yudhoyono juga dijadwalkan bertemu kalangan pebisnis Malaysia pada Selasa,18 Mei 2010 di hotel tempat rombongan Presiden menginap, JW Marriott.

Kunjungan ke Malaysia ini merupakan rangkaian lawatan ke negara tetangga setelah sebelumnya (17/05) mengunjungi Singapura. Menakertrans Muhaimin Iskandar mengungkapkan, LoI memuat tiga persoalan yang tidak diatur dalam MoU sebelumnya yaitu paspor harus dibawa bekerja oleh TKI, satu hari libur dalam sepekan, serta pembicaraan lebih detil mengenai struktur proses pemberangkatan karena masingmasing embarkasi masih memberlakukan pengaturan berbeda. Dengan LoI ini, masing-masing negara berkewajiban mengawasi upah minimum para TKI melalui kontrak kerja yang dibuat oleh penyedia jasa TKI. Jika ada TKI tidak diberi upah minimal sesuai kesepakatan atau tidak mendapatkan hari libur sesuai aturan, Pemerintah Malaysia akan menindak majikan TKI.

Menurutnya, untuk pengawasan implementasi LoI di lapangan, Indonesia dan Malaysia akan mengefektifkan gugus tugas yang telah dibentuk demi perlindungan para TKI di Malaysia. Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini memaparkan, LoI yang baru ditandatangani itu akan disempurnakan menjadi MoU baru setelah Indonesia dan Malaysia masing-masing membawa hasil kesepakatan tersebut ke dalam sidang kabinet paripurna. Ia berharap MoU itu dalam dua bulan ke depan sudah bisa disiapkan. Namun,menurut mantan Wakil Ketua DPR ini, kesepakatan tertuang dalam LoI sebenarnya sudah bisa berlaku apabila Indonesia sudah siap dengan sistem yang akan diterapkan sesuai aturan yang telah disepakati.

Indonesia masih membutuhkan waktu sekitar dua bulan guna menyempurnakan sistem sehingga bisa membuka kembali pengiriman TKI ke Malaysia yang sudah dibekukan sejak Juli 2009. Untuk itu, pemerintah perlu mengadakan sosialisasi kepada PJTKI dan juga dinas-dinas tenaga kerja di daerah agar semua pihak memahami LoI yang baru saja ditandatangani dengan Malaysia. “Kita bikin edaran, panggil dinasdinas, kita bikin iklan, sosialisasikan ke masyarakat bahwa siapa pun orang yang tidak siap kerja ke luar negeri dilarang keras kecuali tahu hak dan kewajibannya. Kita terus sosialisasi, panggil mereka, kasih tahu mekanismenya,’’ ucap Muhaimin.

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi menyambut baik kesepakatan tersebut. Namun, dia mengingatkan, pada saat yang sama pemerintah harus menertibkan seluruh proses penempatan dan perlindungan TKI. “Karena kesepakatan itu terbatas pada TKI yang legal dan memenuhi syarat,sedangkan yang ilegal karena pemalsuan umur dan tes kesehatan yang aspal tetap berangkat karena pengawasan yang lemah,” ungkap politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menandaskan, selain LoI TKI, pemerintah termasuk Presiden pun harus meminta kepada Pemerintah Malaysia untuk mengevaluasi secara total mengenai situasi dan penempatan domestic workers secara ilegal ke Malaysia pada masa moratorium diberlakukan sejak 26 Juni 2009. “Angka kematian TKI di Malaysia pada 2009 yang mencapai 687 orang harus dijelaskan oleh Pemerintah Malaysia,”tandasnya. Alumnus Universitas Jember ini menambahkan, Pemerintah Malaysia juga harus memberikan penjelasan terutama untuk kasuskasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) migran Indonesia di Malaysia yang cenderung memakan waktu cukup panjang dan berlarut-larut seperti kasus Siti Hajar, Munti Bt Bani, Ceriyati, Kunarsih, Parsiti, dan Darnis.

Berdasarkan data, TKI merupakan pekerja terbesar di Malaysia, dengan jumlah mencapai 90% dari total tenaga kerja atau sekitar 250.000 orang.Sisanya dari Kamboja, Thailand, Bangladesh, dan Filipina. (neneng zubaidah/ant)

Harian Seputar Indonesia, Rabu 19 Mei 2010 Selengkapnya...

Senin, 10 Mei 2010

Negara dan Jaminan Sosial

MESKI sudah banyak aturan dan anjuran agar fasilitas kesehatan mendahulukan pertolongan kepada pasien, namun penolakan layanan kepada pasien dengan alasan ekonomi masih kerap terjadi. Kasus penolakan terhadap Elsa Ainurohmah, bayi berusia enam bulan, putri pasangan Paidi (34) dan Septi Nuraini (30) oleh RS Sari Asih, Karawaci, Tangerang beberapa waktu lalu misalnya menambah panjang catatan hitam kasus serupa di tanah air.

Bayi mungil itu tak mendapatkan layanan medis semestinya karena orang tuanya tak mampu menyanggupi uang muka sebesar 10 juta rupiah yang diminta pihak rumah sakit. Akhirnya, orang tuanya memutuskan untuk memindahkan Elsa ke RSU Tangerang. Namun, akibat terlambat mendapatkan layanan medis, Elsa meninggal sebelum tiba di RSU Tangerang.

Tentu sangat miris rasanya, jika peristiwa seperti ini terus terjadi secara berulang. Padahal UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan telah mewajibkan fasilitas layanan kesehatan agar mendahulukan upaya penyelamatan pasiennya. Pada pasal 32 ayat (1) Undang-Undang ini disebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Fungsi Sosial

Demikian pula UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Dalam pasal 29 ayat (1) huruf f, secara tegas undang-undang ini mewajibkan rumah sakit untuk melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi kemanusiaan.

Tapi, realitasnya berkata lain. Kasus Elsa menunjukkan hal yang sebaliknya, rumah sakit menolaknya karena tak bisa menyediakan uang muka sebagai jaminan pembiayaan. Masalah ketersediaan uang muka atau jaminan pembiayaan memang sering menjadi titik pangkal persoalan dalam layanan kesehatan. Ketika tidak ada jaminan pembiayaan, seperti kasus di atas, maka sulit bagi warga masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan.

Fenomena ini menunjukkan lemahnya implementasi dari aturan yang ada. Untuk itu harus ada upaya keras dari pemerintah sebagai regulator untuk menindak pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Selain itu, perlu ada upaya yang komprehensif untuk merapikan sistem sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan aturan-aturan tersebut, salah satunya adalah masalah jaminan pembiayaan..

Sebagai fasilitas yang padat modal, padat karya dan padat teknologi, fasilitas layanan kesehatan, khususnya rumah sakit memang dihadapkan pada tuntutan akan adanya jaminan pembiayaan yang memadai. Tanpa itu, rumah sakit tak mungkin bisa menjalankan fungsinya. Apalagi rumah sakit swasta yang dituntut menjadi revenue center (pusat penghasilan) yang harus membawa keuntungan bagi pemilik dan pengelolanya. Inilah salah satu dilema yang dihadapi rumah sakit dalam melakukan layanan kesehatan bagi warga tidak mampu. Jika melayani warga yang tak mampu membayar, tentu rumah sakit akan kehilangan penghasilannya. Ini akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan operasional RS itu sendiri.

Di sisi lain, program terobosan pemerintah nampaknya belum sepenuhnya efektif. Pemberian SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan jaminan pembiayaan kesehatan bagi warga miskin belum sepenuhnya menjadi solusi. Coverage yang terbatas, birokrasi yang lambat dan bertele-tele, dan informasi yang tidak tersebar dengan baik menjadi titik lemah program yang menyebabkan warga yang tidak mampu menjadi korbannya.

Kasus yang menimpa Istiqomah, warga Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, pada awal Februari lalu menjadi salah satu contohnya. Ia terpaksa harus merelakan anaknya, Nur Jamilah (2 tahun) menghadap Yang Maha Kuasa, setelah ditolak oleh RSU Persahabatan, Rawamangun dengan alasan ketidaklengkapan dokumen. Pihak rumah sakit tidak bisa merawat Nur Jamilah, karena surat keterangan tidak mampu dari RW yang dilampirkan tidak berstempel.

Persyaratan untuk mendapatkan layanan kesehatan bagi warga miskin seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Keterangan Tidak Mampu dari RT/RW dan lurah setempat, serta surat rujukan dari Puskesmas seringkali menjadi sandungan warga untuk mendapatkan layanan, bahkan dalam keadaaan darurat sekalipun.

Fakta lain, tak sedikit warga miskin peserta Jamkesmas, yang seyogyanya mendapat jaminan pembiayaan dari negara tetap tak bisa mendapatkan layanan kesehatan. Terbatasnya fasilitas layanan untuk pasien Jamkesmas adalah alasannya. Jamkesmas memang hanya menjamin fasilitas layanan untuk di kelas III rumah sakit. Sedangkan, untuk mengejar keuntungan, rumah sakit lebih banyak menyediakan kelas II, I, VIP dan bahkan VVIP, ketimbang kelas III yang minim keuntungan.

Ambil saja contoh kasus yang menimpa keluarga Nasarudin. Warga Desa Sukamulya, Cikupa, Tangerang ini kehilangan satu dari tiga bayi kembarnya karena kurangnya perawatan medis. (Penulis adalah anggota Komisi IX DPR RI)

Harian TERBIT, Kamis 6 Mei 2010 Selengkapnya...

Rabu, 21 April 2010

House to Give Priority on Medication Bill For 2011

A legislator from Commission IX overseeing health, labor and welfare at the House of Representatives says that the country needs a bill on medication to be included in the National Legislative Program for 2011.

As this bill is not included in the 2010 National Legislative Program, we want to urge fellow legislators at Commission IX to push this bill for inclusion in the 2011 program,” Zuber Safawi from the Prosperous Justice Party (PKS) said as quoted by the House’s official website during a hearing with the Food and Drug Monitoring Agency (BPOM) in Jakarta on Thursday.

Zuber made the remarks in response to a statement from BPOM chairman Kustantinah, who said that the agency needed a stronger legal basis to fully conduct its function.

“We need your full support as legislators for the endorsement of passing the medication bill into law,” Kustantinah said.

The Jakarta Post, Kamis 28 Januari 2010 Selengkapnya...

Rabu, 14 April 2010

Pemerintah Didesak Terapkan SJSN

Pemerintah dan legislatif didesak membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak berorientasi laba dan merevisi UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Pemerintah juga diminta segera memberlakukan UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sekaligus menggantikan keberadaan UU tentang Jamsostek.

"BPJS harus menganut prinsip-prinsip nirlaba, gotong royong, akuntabilitas, keterbukaan, dan lain-lain," tegas Said Iqbal, Sekretaris Jenderal Komite Aksi Jaminan Sosial untuk Rakyat dan Pekerja/Buruh.

Dia mengungkapkan tuntutan itu saat aksi sekitar 3.000 pekerja dari 46 serikat pekerja/ serikat buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial untuk Rakyat dan Pekerja/Buruh di depan gedung DPR/MPR kemarin.

Komite aksi yang diklaim mewakili 3,4 juta orang dari 11.786 unit kerja tingkat perusahaan dari 30 provinsi itu menuntut BPJS bukan perusahaan berorientasi laba dan dibebaskan dari kewajiban menyetor dividen dan pajak kepada pemerintah, serta berstatus hukum wali amanat.Menurut Iqbal yang juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), perbaikan sistem jaminan sosial sudah mendesak.

Salah satu bagian komite itu, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pekerja (Aspek) Indonesia Muhamad Rusdi menyatakan selama ini pemerintah tidak serius menyejahterakan warga negaranya dengan memberikan jaminan sosial yang memadai. Pasalnya, negara wajib memberikan jaminan sosial yang tidak diskriminatif dan limitatif, sehingga dibutuhkan perbaikan dari perundangan yang sudah ada mengenai jaminan sosial dan lembaga penyelenggaranya.

"Bagi masyarakat golongan bawah dan pekerja yang mempunyai penghasilan standar upah minimum tidak mampu mencukupi biaya hidup, apalagi memiliki jaminan sosial, bahkan pemerintah lamban mengurus masalah ini," katanya. Dia menjelaskan pekerja/buruh menuntut hak konstitusi sebagai warga negara untuk meminta kesejahteraan kepada pemerintah dan perangkat negara lainnya dengan memberlakukan SJSN secara komprehensif, tidak diskriminatif dan limitatif.

Saat ini, Rusdi menilai jaminan kesehatan yang menjadi bagian dari jaminan sosial nasional hanya melayani pekerja pada saat mereka bekerja, sehingga ketika pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau memasuki usia pensiun tidak memperoleh jaminan kesehatan lagi.

"Program pensiun yang berlaku saat ini juga sangat diskriminatif, karena hanya diperuntukkan untuk PNS [pegawai negeri sipil]
saja, sedangkan para pekerja swasta atau formal tidak mendapatkannya," ungkapnya.

Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga menilai saat ini SJSN dapat diimplementasikan jika ada kemauan politik dari pemerintah. "Dalam hal ini, implementasi SJSN sesuai dengan peta jalan yang disiapkan Dewan SJSN, sehingga tujuan membangun negara berkesejahteraan bisa dilakukan secara bertahap, tapi pasti," ungkapnya, baru-baru ini.

Menurut Hotbonar, penyelenggaraan jaminan sosial merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang sejahtera, apalagi sudah mempunyai payung hukum berupa UU SJSN, ditambah empat badan penyelenggara, yakni PT Jamsostek (Persero), PT Askes, PT Taspen dan PT Asabri.

Mengenai amendemen UU Jamsostek, Said Iqbal menegaskan harus secepatnya dilakukan pemerintah. Sistem jaminan sosial tenaga kerja belum memberikan manfaat optimal bagi pesertanya. "Alasan ekonomi itu keliru. Justru di kala ekonomi negara mulai merangkak, akumulasi premi atau iuran jaminan sosial dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan ekonomi pembangunan," tutur Iqbal.

Jika tuntutan pekerja itu diabaikan, mereka mengancam akan terus bergerak di berbagai daerah di Indonesia dengan puncaknya pada May Day 1 Mei 2010 di DPR, Istana, dan DPRD.

Zuber Safawi, anggota Komisi IX DPR RI, mengatakan sedang menggodok draf rancangan pemerintah pengganti UU tentang BPJS. Jika sesuai dengan rencana, lanjutnya, pengesahan peraturan pemerintah pengganti UU tentang BPJS dapat berlangsung pada masa persidangan II/2011. "Sekarang masih dalam tahap inisiasi, kami berharap pada akhir masa persidangan III Juli (2010) nanti, draf ini sudah menjadi RUU inisiatif DPR," ujarnya.

Draf itu memuat beberapa isu penting terkait penyelenggaraan jaminan sosial yang akan menjadi sorotan, antara lain bentuk BPJS. (02)

Harian Bisnis Indonesia, Selasa 6 April 2010 Selengkapnya...

Selasa, 30 Maret 2010

Pembahasan RUU PRT Belum Jadi Prioritas DPR

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepertinya masih menunggu waktu untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang Pembantu Rumah Tangga (RUU PRT) yang telah masuk program legislasi nasional (pro-legnas)2010.

Anggota Komisi LX DPR Zuber Syafawi mengatakan, pihaknya masih memprioritaskan pembahasan perundanngan yang mendesak. Di antaranya RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan revisi UU Jamsostek. Namun, DPR tetap berkomitmen untuk segera membahasnya. "Memang tidak dalam waktu dekat. Tetapi, kita tetap berkomitmen untuk segera membahasnya, terutama penyusunan naskah akademiknya terlebih dahulu," katanya ketika dihubungi harian Seputar Indonesia (SI) kemarin.

Menurut Zuber, sebelum penyusunan naskah akademik, anggota Dewan juga perlu melakukan sosialisasi sejauh mana perlindungan terhadap hak-hak PRT menjadi demikian mendesaknya. "Perlu juga dukungan publik soal permasalahan ini," tandasnya.
Dia berharap jika UU PRT nanti benar-benar disahkan, perlindungan PRT di Indonesia akan semakin baik, terutama hak-hak yang harus diberikan seperti gaji, waktu cuti.

"Perlindungan PRT nantinya akan semakin tinggi.Kita setuju soal itu," terangnya.
Sebelumnya, Jaringan Nasional Advokasi untuk Perlindungan PRT (Jala PRT) mendesak Komisi IX DPR untuk segera melakukan pembahasan RUU PRT. Koordinator Jala PRT Lita Anggraini mengatakan, PRT rentan berbagai kekerasan dari fisik, psikis, ekonomi hingga sosial. PRT juga ber ada dalam situasi hidup dan kerja yang tidak layak, situasi perbudakan. Bahkan, PRT mengalami pelanggaran hak-haknya, misalnya upah yang sangat rendah ataupun tidak dibayar."Tidak ada batasan beban kerja yang j elas dan layak sehingga semua beban kerja domestik bisa ditimpakan kepada PRT. Tidak mengherankan, jam kerja PRT rata-rata panjang," katanya.

Lita mengatakan, PRT tidak diakui sebagai'pekerja karena pekerjaan rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan yang sesungguhnya dan mengalami diskriminasi terhadap mereka sebagai perempuan, migran, pekerja rumah tangga dan anak-anak. "Dikotomi antara PRT baik domestik maupun migran dengan buruh domestik dan migran pada sektor yang lain sering mengakibatkan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif bagi PRT domestik dan migran," terangnya.

Sementara di sisi lain, lanjut dia, perlindungan hukum baik di level lokal, nasional maupun internasional tidak melindungi PRT. Kondisi ini yang semakin memberi ruang sistematis bagi pelanggaran hak-hak PRT. "Berangkat dari situasi tidak layak seperti perbudakan dan peristiwa penganiayaan inilah kami mengajukan kepada DPR untuk segera mewujudkan UU PRT pada tahun 2010," tutur Lita.

SelainDPR,kataLita,pihaknya juga mendesak Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menaker-trans) Muhaimin Iskandar dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Patrialis Akbar untuk berkoordinasi dalam pembahasan UU PRT.

Berita Seputar Indonesia, Sabtu 20 Februari 2010 Selengkapnya...

Kader PKS Gelar Solidaritas Palestina

Ribuan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menggelar aksi solidaritas terhadap muslim Palestina di Jl Menteri Supeno Semarang, minggu (21/3).

Aksi yang diikuti kader dari Kota Semarang dan wilayah sekitarnya seperti Kota Kendal, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Kota Demak tersebut digelar untuk memberikan dukungan terhadap rakyat Palestina yang terus menerus mendapat serangan pasukan Israel.

Tak hanya para kader PKS, para simpatisan yang terdiri atas para pria, ibu rumah tangga, dan sebagian anak-anak juga turut bergabung dalam aksi tersebut.

Dalam aksinya, mereka long march dari Jalan Menteri Supeno menuju Jalan Pahlawan, Simpanglima, Jalan Pandanaran, dan berakhir di kawasan Tugu Muda Semarang.

Sejumlah kader membawa atribut bernadakan kecaman terhadap Israel, di antaranya ”Israel The Real Terorist”, ”Duka Palestina Duka Indonesia”, ”Rindu Palestina Merdeka” dan ”Israel Bukan Manusia”, .

Mereka juga membawa sejumlah atribut lain, seperti bendera Palestina dan PKS. Di atas mobil bak terbuka mereka menggelar orasi secara bergantian.
Arogansi Israel Fris Dwi Yulianto, koordinator aksi solidaritas di Semarang mengatakan, demo tersebut digelar untuk memberi dukungan dan solidaritas terhadap bangsa Palestina atas arogansi bangsa Israel.

”Dengan aksi ini, kami berharap dunia tahu, jika rakyat Palestina memiliki saudara di Indonesia yang peduli dan perhatian terhadap mereka. Dengan begitu diharapkan ini akan menjadikan dorongan agar serangan Israel harus segera dihentikan, karena telah menyebabkan jatuhnya banyak korban,” jelasnya.

Menurut dia, dengan larangan pasukan Israel terhadap pria Palestina yang berusia dibawah 50 tahun untuk beribadah di Kota Al Quds dan berencana mengubah kota tersebut menjadi pangkalan militer, itu merupakan tindakan yang harus dihentikan.

Dalam aksi tersebut, turut hadir salah seorang anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Zuber Safawi. Ia aksi tersebut merupakan wujud pernyataan sikap partainya yang mengecam keras serangan pasukan Israel terhadap Palestina.
Meski memadati jalan, aksi solidaritas ribuan kader PKS berjalan tertib. Aksi tersebut mendapat pengawalan dari pihak kepolisian.

Berita Suara Karya, Senin 22 Maret 2010 Selengkapnya...

Kader PKS Semarang Gelar Aksi Peduli Palestina

Ribuan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Minggu (21/3), menggelar aksi solidaritas untuk memberikan dukungan kepada rakyat Palestina yang terus mendapat serangan pasukan Israel.

Aksi itu tidak hanya diikuti oleh kader PKS Kota Semarang melainkan juga datang dari wilayah di sekitarnya seperti Kota Kendal, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Kota Demak yang terdiri atas para pria, ibu rumah tangga, dan sebagian anak-anak.

Mereka berjalan kaki melewati Jalan Menteri Supeno, Jalan Pahlawan, kawasan Simpang Lima, Jalan Pandanaran, dan berakhir di kawasan Tugu Muda Semarang.

Selain berorasi secara bergantian di atas mobil bak terbuka yang dilengkapi pengeras suara, peserta aksi juga membawa bendera Palestina dan PKS, spanduk dan poster yang antara lain bertuliskan Israel Bukan Manusia, Duka Palestina Duka Indonesia, Rindu Palestina Merdeka, dan

Israel The Real Terorist.

Koordinator aksi, Fris Dwi Yulianto, mengatakan, aksi mereka untuk memberikan dukungan kepada Palestina dan wujud solidaritas atas arogansi Israel terhadap Palestina. "Kami hanya ingin dunia tahu kalau rakyat Palestina memiliki saudara di Indonesia yang peduli dan perhatian terhadap mereka," katanya.

Ia mengatakan, serangan Israel telah mengakibatkan banyak korban yakni rakyat Palestina yang jatuh sehingga harus segera dihentikan. "Pada Jumat (19/3) pasukan Israel melarang pria Palestina yang berusia di bawah 50 tahun untuk beribadah di Kota Al Quds dan berencana mengubah kota tersebut menjadi pangkalan militer," katanya.

Salah seorang anggota DPR berasal dari Fraksi PKS yang juga ikut aksi tersebut, Zuber Safawi, mengatakan, partainya mengecam keras serangan pasukan Israel yang menimbulkan banyak korban jiwa.

"Aksi ini sebagai salah satu bentuk solidaritas Bangsa Indonesia khususnya para kader PKS terhadap penderitaan yang dihadapi rakyat Palestina," katanya.

Aksi mereka mendapat pengawalan cukup ketat oleh pihak kepolisian. Aksi itu juga sempat memacetkan arus lalu lintas di sepanjang jalan protokol di kota itu.

Berita Media Indonesia, Minggu 21 Maret 2010 Selengkapnya...

Dua Coret Ayat Dua

BUKTI itu berupa tulisan tangan. Bunyinya, "Pasal 113 (2) hapus". Dua garis coret melandasi tulisan "(2) hapus". Tulisan itu berlanjut "ayat (3) jadi ayat (2)". Di bawahnya ada paraf Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Kesehatan Ribka Tjiptaning, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kini Ribka Ketua Komisi Sembilan DPR yang membidangi tenaga kerja, transmigrasi, kependudukan, dan kesehatan.

Teken itu berdampingan dengan tanda tangan anggota Komisi Kesehatan Dewan periode 2004-2009, Asiah Salekan dan Maryani Baramuli. Mereka politikus Partai Golkar yang pada periode sekarang tidak lagi menjadi anggota Dewan. Bukti itu dibawa Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok ke Markas Besar Kepolisian RI di Jalan Trunojoyo, Jakarta, Kamis pekan lalu.

Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok adalah gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada pengendalian tembakau. Di antaranya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak. "Ini menguatkan dugaan upaya sistematis menghilangkan ayat tembakau," kata Kartono Mohamad, anggota Koalisi.

Laporan ini babak lanjut hilangnya ayat 2 pasal 113 Undang-Undang Kesehatan hasil rapat paripurna Dewan pada 14 September lalu. Ayat itu berbunyi, "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya."

Dua hari setelah rapat paripurna ketika draf diserahkan ke Sekretariat Negara untuk diperiksa sebelum ditandatangani Presiden, ayat itu lenyap. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat protes. Sekretariat Negara memasukkan kembali ayat itu dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkannya.

Sebelumnya, Koalisi melaporkan ini ke Badan Kehormatan Dewan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Anggota Panitia Khusus Undang-Undang Kesehatan dari Partai Demokrat, Hakim Sorimuda Pohan, juga lapor ke Ketua Dewan, dan tembusannya ke Badan Kehormatan. Hakim bukan lagi anggota Dewan. Ia kini aktif dalam Koalisi. Laporan Koalisi ke Markas Besar Kepolisian juga atas nama Hakim. "Menghilangkan ayat undang-undang adalah tindak pidana luar biasa," kata dia.

Badan sudah memanggil semua yang terlibat. Tempo mendapatkan kesimpulan pemeriksaan Badan. Dua lembar executive summary itu menyatakan hilangnya ayat tadi terjadi setelah Inspektur Jenderal Departemen Kesehatan Faiq Bahfen dan Kepala Biro Hukum Budi Sampoerna masuk ke ruang pimpinan Komisi Kesehatan. Setelah bertemu setengah jam, dua orang tadi keluar dan minta staf sekretariat Dewan mengetik naskah yang berubah. Faiq minta tolong Budi Sampoerna untuk "membantu teman-teman sekretariat".
Novianti dari bagian sekretariat Dewan mempertanyakan pencoretan itu. Budi menjawab, "Ini urusan pimpinan." Novianti minta pencoretan itu mendapat persetujuan pimpinan. Budi masuk lagi ke ruang pimpinan. Tak berselang lama, Budi keluar dengan membawa paraf Ribka Tjiptaning, Asiah Salekan, dan Maryani Baramuli. Adrian, karyawan sekretariat komisi, mengetik draf undang-undang yang telah mendapat persetujuan perubahan tadi. Badan Kehormatan juga menyimpan tulisan tangan berisi perintah perubahan itu.

Ribka menyatakan tak sengaja menghilangkan ayat. Ia membuat catatan dan paraf itu karena aspirasi petani tembakau yang mengancam demonstrasi. "Kami partai wong cilik mendengar suara petani dan buruh," kata Ribka. Umar Wahid, Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang, juga menyatakan itu hanya persoalan teknis.
Hingga rapat paripurna, kata Umar, jumlah ayat masih lengkap, tidak ada yang hilang. Hanya, kata dia, salinan lunak yang dikirim ke Sekretariat Negara adalah hasil ketikan sekretariat yang menghilangkan ayat dua tersebut. "Padahal itu baru wacana perubahan, belum sebuah keputusan," kata Umar.

Ringkasan kerja Badan Kehormatan juga merekomendasikan adanya pengusutan hukum. Badan khawatir manipulasi keputusan Dewan berulang. Jika dibiarkan, pihak-pihak di luar Dewan pun akan terbiasa melakukan intervensi. Hingga kini, Badan belum melakukan aksi hukum. Tudingan pun mengarah ke Badan, yang dianggap sengaja melindungi Ribka dkk.

Ketua Badan Kehormatan Gayus Lumbuun menampik. Meski sesama dari PDI Perjuangan, Gayus menyatakan tetap independen. Menurut dia, memang ada upaya dari Departemen Kesehatan untuk melobi Panitia Khusus. Tapi penghilangan itu tidak pernah menjadi keputusan. Gayus menyayangkan laporan ke polisi atas Ribka, Asiah, dan Maryani. Sebab, kata dia, yang punya inisiatif Faiq Bahfen. "Logikanya jangan dibalik," kata Gayus. Namun, baik Budi Sampoerna maupun Faiq Bahfen menyatakan tidak mengetahui hilangnya ayat itu.

Ayat tembakau memang telah kembali. Tapi battle ground tembakau, kata Kartono Mohamad, kini bergeser ke Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Rancangan peraturan itu masuk tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Kesejahteraan Rakyat.

Peraturan ini amanat Undang-Undang Kesehatan. Isi peraturan ini lebih keras dibanding Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003-Peraturan tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Aturan ini masih membolehkan iklan rokok. Dalam aturan baru sama sekali haram.

Sejumlah politikus Dewan bersuara keras menolak ini. Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Kadir Karding menyatakan telah memerintahkan anggota Dewan dari partainya menolak aturan itu. "Ini menyangkut hidup petani, buruh pabrik rokok, dan konstituen kami," kata dia. Karding adalah anggota Dewan dari daerah pemilihan penghasil tembakau: Temanggung, Magelang, dan Wonosobo.

Ribka Tjiptaning menyampaikan hal senada. Ia khawatir aturan itu menciptakan pengangguran baru. Ia memperkirakan 15 juta tenaga kerja terkait dengan tembakau, mulai petani, buruh, hingga pekerja sektor informal yang mendukung. Ribka juga berdiskusi dengan anggota Komisi yang ia pimpin dari provinsi penghasil tembakau, Jawa Tengah dan Jawa Timur. "Ada yang bilang kalau setuju rancangan peraturan pemerintah itu bisa-bisa leher dia digorok pemilihnya," kata Ribka.

Sikap Golkar atas pengendalian tembakau sama gamblangnya. Saat sidang paripurna pengesahan Undang-Undang Kesehatan, juru bicara Nusron Wahid menolak dicantumkannya ayat tembakau dengan alasan tak berpihak pada petani. Nusron berasal dari daerah pemilihan penghasil rokok: Kudus, Jepara, dan Demak.

Kartono mengatakan, inilah bedanya perjuangan pengendalian tembakau di Indonesia dan negara lain, misalnya Amerika Serikat, India, Turki, bahkan Cina. Di sana, yang pro-tembakau hanya industri rokok. Sedangkan pemerintah, DPR, dan masyarakat berada dalam satu barisan agar tembakau dikendalikan. Di Indonesia, masyarakat bertempur sendirian melawan industri rokok, pemerintah, dan anggota Dewan. "Skornya satu lawan tiga. Kami kalah," kata Kartono.

Memang, ada sejumlah anggota Komisi Kesehatan yang setuju pelarangan tembakau. Anggota Komisi Kesehatan dari Partai Keadilan Sejahtera Zuber Syafawi seorang di antaranya. "Sepanjang untuk kemaslahatan umat, PKS mendukung," kata Zuber. Surya Chandra, anggota Komisi Kesehatan dari PDI Perjuangan, juga setuju. "Saya ahli kesehatan masyarakat, secara pribadi saya setuju tembakau dilarang," kata Surya. Tapi mereka cuma minoritas.

Berita Majalah TEMPO, Senin 22 Maret 2010 Selengkapnya...

RS Dilarang Tolak Pasien

Anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi menyesalkan rumah sakit yang menolak pasien hanya karena tak sanggup membayar uang muka. Dan, esuai dengan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit mendahulukan pelayanan darurat tanpa uang muka.?

Zuber mencontohkan kasus di rumah sakit (RS) Sari Asih, Tangerang? yang menolak Balita Elsa Ainurrahmah, karena orang tuanya tidak mampu memberi uang muka. Akibatnya, balita tak berdosa ini meninggal dunia dan menambah panjang catatan buruknya pelayanan rumah sakit di tana air.

Zuber menegaskan hal ini menjadi perbuatan melanggar undang-undang dan Menkes bisa memberi sanksi tegas kepada rumah sakit itu sehingga tidak dituru oleh yang lain. Selain itu, menjadi pelanggaran yang tidak bisa ditorerir.

Karena itu, Zuber mendesak pemerintah membuat peraturan turunan dari Undang-undang di bidang kesehatan yang telah disahkan tahun lalu. Misalnya, membentuk Peraturan Pemerintah (PP), maupun Peraturan Menteri (Permen) sehingga bisa dilaksanakan secara sempurna. (Bdi)

Berita Kedaulatan Rakyat, Jumat 19 Maret 2010 Selengkapnya...

Kemenkes Harus Beri Sanksi RS Sari Asih

ANGGOTA Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi, menyesalkan terjadinya penolakan pasien oleh Rumah Sakit Sari Asih, Karawaci beberapa hari lalu. "Kami sangat menyesalkan terjadinya hal seperti ini. Padahal sudah jelas dalam Undang-Undang no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, berkewajiban mendahulukan pelayanan darurat tanpa uang muka," kata Zuber Safawi di Jakarta, Rabu (17/3)

Akibat penolakan tersebut, Elsa Ainurrohmah (6 bulan), putri dari pasangan Paidi dan Septi akhirnya meninggal dalam perjalanan menuju RSU Tangerang. Sebelumnya, Elsa dibawa ke RS Sari Asih karena kejang-kejang dan kesulitan bernafas setelah meminum obat flu yang diberikan orang tuanya. Namun, karena orang tuanya tak mampu menyanggupi untuk membayar uang muka sebesar Rp 10 juta, Elsa tak mendapatkan perawatan medis.

Menurut Zuber, penolakan karena ketidakmampuan keluarga pasien untuk menyediakan uang muka perawatan adalah bentuk pelanggaran terhadap Undang-undang. "Oleh karenanya, kami mendesak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, untuk bertindak tegas, memberikan teguran dan sanksi kepada rumah sakit yang melakukan pelanggaran, temasuk yang menolak pasien tidak mampu. Jika perlu izinnya bisa dicabut," tegas politisi PKS asal Semarang ini.

Penolakan pasien tidak mampu oleh rumah sakit, tutur mantan Ketua Pelajar Islam Indonesia (Pil) Jateng ini, adalah hal yang tidak bisa ditorerir. Untuk itu pemerintah harus menggunakan segala peraturan dan kekuatan yang ada agar tidak ada lagi kasus seperti ini. Zuber juga mendesak Kementerian Kesehatan agar segera melakukan sosialisasi Undang-undang di bidang kesehatan, terma-suk Undang-Undang tentang Rumah Sakit.

"Jika sudah disosialisasikan, maka baik masyarakat, maupun pihak penyelenggara layanan kesehatan akan tahu hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga hal seperti ini bisa diminimalkan," tegas Zuber

Selain itu, Zuber juga meminta pemerintah segera membuat peraturan turunan dari Undang-undang di bidang kesehatan yang telah disahkan tahun lalu. Peraturan turunan, tambah Zuber, baik berupa Peraturan Pemerintah (PP), maupun Peraturan Menteri (Permen) sangat dibutuhkan agar Undang-undang di bidang kesehatan yang sudah disahkan bisa dilaksanakan secara sempurna.

"Ketika peraturan turunan tidak kunjung jadi dan tidak ada sosialisasi, maka kasus penolakan pasien miskin, seperti yang terjadi di Karawaci, dan bentuk-bentuk pelanggaran lain bisa jadi terjadi lagi dengan alasan tidak tahu." tegasnya.

Berita Harian M2 Media, Kamis 18 Maret 2010 Selengkapnya...

Kamis, 25 Februari 2010

Reformasi DPR Perlu Dilembagakan

Langkah Ketua DPR Marzuki Alie yang akan melakukan transparansi anggaran anggota Dewan disambut positif. Hanya, langkah tersebut harus dibarengi dengan penyiapan secara kelembagaan.

Peneliti bidang politik dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmi Badoh menilai, reformasi DPR itu perlu diterapkan dalam aturan-aturan yang jelas sehinggalebihprogresif.Aturanitu akan memaksa agenda reformasi ini dijalankan, bukan hanya didasarkan atas kesepakatan.

"Soal tidak boleh ada proyek titipan misalnya. Itu harus disebutkan jelas dalam aturan, apa sanksinya? Kalau tidak ada dalam aturan ya, publik akan menilai ini hanya slogan saja," tegasnya.

Sebelumnya, Ketua DPR Mar-zuki Alie saat melakukan diskusi dengan jajaran redaksi harian Seputar Indonesia menyampaikan berbagai rencana perbaikan lembaga parlemen. Langkah tersebut untuk meningkatkan kembali citra DPR di mata konstituennya. Salah satunya menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).Menurut Fahmi, kerja sama dengan BPKB itu bisa dirilis ke publik terkait laporan akuntabilitas kinerja DPR dengan anggaran yang diserapnya.

"Publik bisa tahu, adakah korelasi antara anggaran dan kerja DPR? Kalau itu bisa dilakukan, publik tidak akan mudah melontarkan penghakiman kepada DPR," katanya.
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Tjahjo Kumolo mengatakan, dalam hal peningkatan transparansi pada prinsipnya mulai berjalan. Sebab, perencanaan dan pelaksanaan penggunaan anggaran DPR saat ini dikelola BURT DPR yang secara langsung dipegang Ketua DPR.

"Sehingga pelaksanaan program bisa termonitor pimpinan DPR. Soal administrasinya bisa dikelola Sekjen DPR, tetapi soal perencanaan anggaran tidak bisa oleh Sekjen DPR," kata Tjahjo kepada SI kemarin.

Diamendukungreformasi total di lingkungan Sekjen DPR. Bahkan, kata dia, seorang Sekjen DPR harusnya diangkat oleh pimpinan DPR serta diambilkan dari luar jajaran pegawai DPR. Dengan begitu, kata dia; setiap keputusan yang dikeluarkan juga bisa objektif karena bukan orang yang selama ini berada di DPR.

Sementara terkait kerja sama DPR dengan BPKP, menurut Tjahjo, harus detail poin-poin apa saja yang dikerjasamakan. Sebab, bagaimanapun BPKP adalah auditor pengawasan anggaran dan pembangunan internal pemerintah, sementara DPR bukanlah bagian dari pemerintah.

"Kerja sama itu bisa dilaksanakan sepanjang hanya sebatas tukar informasi," ujarnya.
Sekretaris Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN) Viva Yoga Mauladi mengatakan, berhasil atau tidaknya pembenahan di DPR sebenarnya tergantung kemauan politik DPR sendiri. Sebab, dengan sistem yang baru dengan Ketua DPR sekaligus menjadi Ketua BURT, tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk berkilah bahwa tidak ada koordinasi antara DPR dengan pihak Sekretariat Jenderal DPR.

"Jadi kalau ada political will sebenarnya tidak susah untuk melakukan reformasi di lembaga parlemen," ungkapnya. - Terkait keterlibatan BPKP, Viva menilai hal itu suatu kemajuan. Hanya, ke depannya mesti dipikirkan terkait pengawasan sesuai aturan yang berlaku."BPKP tidak masuk di wilayah politik sehingga tidak ada masalah kalaupun bekerja sama dengan BPKP,"ujarnya.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Agung Budi Santoso mengaku bahwa rencana reformasi DPR itu telah sampai kepada fraksinya. Rencana-rencana itu terus dibicarakan dalam fraksi. Meski masih menunggu keputusan final, Agung mengaku secara garis besar fraksinya mendukung rencana reformasiDPRitu.

"Terus kami bicarakan. Kami menilai,rencana-rencanaitu bagus dan perlu didukung. Kami merasa itu penting untuk mendukung itu karena bisa meningkatkan citra DPR dan juga kepercayaan publik kepada lembaga ini," katanya

Meski mendukung, Agung memberikan catatan atas rencana reformasi DPR itu. Menurut dia, perlu ada prioritas atau penekanan dalam agenda itu. Dalam pandangannya, transparansi anggaran harus jadi titik masuk utama.

"DPR itu kan sering disentil publik karena soal anggaran seperti kenaikan gaji, mobil mewah, rumah dinas atau yang lainnya. Ini disebabkan tidak adanya transparansi anggaran. Untuk itu, soal ini harus jadi prioritas," tutur Agung yang juga anggota BURT ini.

Persetujuan anggaran DPR yangharusmelaluiBURT,menurut Agung yang juga anggota KomisiV DPR, merupakan langkah yang strategis. Dengan model ini, anggota DPR ikut menentukan mana anggaran yang diperlukan oleh DPR mana yang tidak?
"Sebelumnya kan kita sering menjadi korban meski sebenarnya fasilitas itu kita perlukan. Ini karena anggaran sepenuhnya di Sekjen. Kita tidak tahu apa-apa. Jadi, kita pusing juga ketika dihantam soal anggaran ini. Dengan model ini, kita semua tahu," ujarnya.

Sekretaris Fraksi PKS Zuber Syaf awi mengusulkan langkah perbaikan lembaga parlemen perlu -dilakukan secara simultan. "Saya kira bisa simultan karena yang satu kan terkait dengan yang lain," katanya.

Selain itu, pimpinan DPR perlu menetapkan parameter-parameter yang jelas terkait reformasi lembaga parlemen. Dengan demikian, sejauh mana agenda ini dilaksanakan bisa diukur dan dievaluasi.

"Siapkan parameter. Kalau transparansi anggaran apa, kalau peningkatan kinerja apa? Ini biar DPR bisa dinilai publik secara objektif, tidak hanya didasarkan pada persepsi dan asumsi," katanya.

Berita SINDO, Jumat 19 Februari 2010 Selengkapnya...

Selasa, 23 Februari 2010

2011, RUU Obat Digodok Dewan

Jakarta, RM. Komisi IX DPR mengusulkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Obat dimasukan dalam Program Legislasi Nasional (Pro-legnas) 2011. Pasalnya, Indonesia belum memiliki payung hukum di bidang obat dan kinerja Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) dikhawatirkan akan mengalami banyak kendala, karena tidak dilindungi undang-undang.

Anggota Komisi IX DPR dan Fraksi PKS, Zuber Safawi mengusulkan agar komisi kesehatan memasukan RUU tentang Obat dalam prolegnas 2011. Soalnya, RUU tersebut belum termasuk dalam RUU prioritas Tahun 2010.

"Kami ingin mendorong teman-teman di Komisi IX uruk RUU Obat ini masuk pembahasan 2011. Undang-undang ini sangat penting untuk melindungi kinerja Badan POM dalam melakukan pengawasan," kata Zuber dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IX dengan Kepala Badan POM Kustantinah di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Hal senada disampaikan anggota Komisi IX dari Fraksi PAN, Sunartoyo. Mcnurut dia, kinerja Badan POM perlu dilindungi undang-undang, karena lembaga tersebut berfungsi untuk melakukan pengawasan.

"Tidak cukup dengan dengan Keputusan Presiden (Kepres). Badan POM harus memiliki undang-undang sendiri dan terlepas dari Departemen Kesehatan (Depkes)." kata Sunartoyo di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Badan POM, lanjut dia, harus berkoordinasi dengan Kementrian Kesehatan untuk mewujudkan payung hukum tersebut. Koordinasi itu, untuk melakukan peninjauan dan sinkronisasi terhadap peraturan yang ada, termasuk peraturan standarisasi dan administrasi.

"Masa lembaga yang bertugas melakukan pengawasan tidak dilundungi undang-undang. Bagaimana mereka bisa mengawasi, kalau kinerja mereka tidak dilindungi," ujar anggota Badan Anggaran DPR ini.Sementara, Kepala Badan POM Kustantinah mengakui, payung hukum keberadaan Badan POM masih lemah.Karena itu, pihaknya meminta Komisi IX DPR agar undang-undang tersebut segera diwujudkan.

"Di prolegnas sudah ada RUU tentang Obat. Karena itu, kami mohon dukungan Komisi IX DPR agar pembahasannya dipercepat. Dengan adanya undang-undang tersebut, kami me-miliki payaung hukum dalam melaksanakan pengawasan," kata Kustantinah.

Berita Rakyat Merdeka, Jumat 29 Januari 2010 Selengkapnya...

Arsip Blog

PENGUNJUNG

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda