Jumat, 19 September 2008

Menanti Janji Program Puskesmas Gratis

Ada hal menarik dalam Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 15 Agustus lalu. Pertama, dalam pidatonya di hadapan Sidang Paripurna DPR/MPR tersebut, presiden memenuhi tuntutan anggaran 20 persen untuk pendidikan. Ini sebuah kemajuan, meski harus melalui “ancaman” dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelumnya (13/8) MK memutuskan bahwa UU No.16/2008 (UU APBN 2008) bertentangan dengan UUD 1945. Dalam UU tersebut, anggaran pendidikan baru mencapai sekitar 15,6 persen dari APBN. Padahal dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945, pemerintah harus menganggarkan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan. Oleh karena itu MK meminta pemerintah untuk memenuhinya, meski tak harus dilakukan seketika.

Kedua, SBY juga mengungkapkan rencana untuk menggratiskan layanan dasar di Puskesmas. Layanan kesehatan gratis ini juga berlaku di kelas III rumah sakit, tapi hanya untuk warga tidak mampu. Sungguh ini sebuah program populis yang telah lama ditunggu warga.

Tapi mengapa baru sekarang? Apakah ada kaitannya dengan kampanye politik? Tentu banyak orang berpikir demikian, maklum masa kampanye untuk Pemilu 2009 telah dimulai sejak awal Juli lalu. Dan tidak salah pula jika muncul pertanyaan seperti itu, karena sudah jadi rahasia umum jika menjelang berakhirnya masa jabatan atau mendekati periode pemilihan berikutnya, para pejabat sering jor-joran mengumbar program-program yang sifatnya populis.

Namun, terlepas dari politis atau bukan, kampanye atau tidak, sesungguhnya apa yang dicanangkan Presiden SBY adalah sebuah langkah maju di bidang kesehatan. Tentu saja jika hal tersebut diimbangi dengan implementasi yang serius. Bukan sebatas basa-basi politis untuk mendongkrak popularitas saja.

Nah, untuk mengurai agar program tersebut tak hanya sebatas wacana, ada beberapa hal yang nampaknya layak untuk dilihat kembali. Berdasarkan pengalaman, penggratisan layanan di puskesmas akan mengakibatkan melonjaknya jumlah pasien di puskesmas. Sebagai perbandingan, mari kita lihat data pemanfaatan layanan kesehatan yang dihimpun oleh PT Askes. Ada lonjakan jumlah pasien ketika layanan kesehatan untuk masyarakat kurang mampu digratiskan lewat Program Asuransi Kesehatan untuk Warga Miskin (Askeskin).

Tahun 2005, jumlah pasien rawat jalan berjumlah 1,45 juta orang, meningkat menjadi 3,85 juta orang di tahun berikutnya, dan menjadi 5,96 juta orang pada tahun 2007. Hal serupa juga terjadi pada jumlah pasien rawat inap yang memanfaatkan fasilitas askes. Tahun 2005 jumlahnya sebanyak 562 ribu orang, tahun 2006 menjadi 1,58 juta, dan tahun 2007 meningkat menjadi 1,91 juta pasien.

Tentu saja lonjakan jumlah pasien di puskesmas tidak semata-mata disebabkan penggratisan layanan, meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan juga bisa menjadi faktor pemicunya. Namun tak dapat disangkal, layanan gratis ini akan menarik warga untuk datang.

Jika lonjakan jumlah pasien ini tidak diikuti dengan peningkatan kualitas layanan, tambahan fasilitas pendukung, penambahan tenaga pengelola puskesmas dan peningkatan keterampilan, maka program ini akan menjadi blunder besar. Puskesmas akan overload, sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya secara optimal. Ujung-ujungnya layanan kesehatan di puskesmas jadi amburadul.

Dalam kondisi ini, ada kecenderungan pihak puskesmas langsung merujuk pasiennya ke rumah sakit. Apalagi sistem kapitasi yang selama ini diterapkan memberikan remunerasi bukan atas dasar volume kerja yang dilakukan. Banyak sedikitnya volume pekerjaan tak mempengaruhi nominal remunerasi yang didapatkan pengelola puskesmas. Jadi wajar jika pengelola puskesmas lebih suka merujuk ke rumah sakit dibanding melayani pasien.

Hal tersebut tentu saja akan mengubah wajah rumah sakit menjadi “puskesmas besar”. Rumah sakit akan kebanjiran pasien yang membutuhkan layanan kesehatan dasar yang sebenarnya bisa dilakukan di tingkat puskesmas. Jika kondisi ini berlanjut, maka pembagian peran antara rumah sakit dan unit-unit layanan kesehatan di bawahnya tak akan berjalan. Penumpukan pasien akan terjadi di rumah sakit, sehingga layanan kesehatan tak bisa dilakukan semestinya. Sekarang saja, masih sering terjadi pasien yang tidak terlayani karena terbatasnya fasilitas dan SDM yang ada.

Selain itu, rujukan ke rumah sakit bisa memunculkan mispersepsi ketika warga yang tak termasuk golongan tidak mampu dikenakan ongkos atas layanan kesehatan yang diterimanya. Pasalnya, layanan kesehatan gratis di rumah sakit hanya berlaku untuk masyarakat kurang mampu, itu pun hanya untuk kelas III.

Di beberapa daerah yang telah berhasil menggratiskan layanan kesehatan di tingkat puskesmas, permasalahan seperti ini sering terjadi. Standar pelayanan kesehatan yang tadinya sudah berjalan cukup baik, lambat laun semakin turun, dan menjauhi standar yang seharusnya.

Di sisi lain, efektivitas kebijakan seperti ini ternyata dirasakan sangat kurang. Sebenarnya sebagian besar masyarakat terhitung mampu untuk membayar ongkos layanan dasar di puskesmas yang memang tidak seberapa mahal. Hanya orang-orang yang benar-benar miskinlah yang tak mampu menjangkaunya. Yang dirasakan berat oleh masyarakat adalah biaya layanan kesehatan lanjutan yang biasanya dilakukan rumah sakit.

Dari sisi anggaran, kebijakan menggratiskan layanan kesehatan bagi seluruh warga di puskesmas ini harus sejalan dengan upaya antisipasi melonjaknya jumlah pasien. Jangan sampai estimasi pembiayaannya tak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Jika ini terjadi, yang dirugikan adalah pasien yang tak mendapat layanan dengan alasan anggarannya tak mencukupi. Sebagai contoh, bisa kita lihat pengalaman Program Askeskin. Program ini mandeg karena ketidaksesuaian antara anggaran dan realisasi di lapangan, juga terjadinya keterlambatan dropping dana kepada pihak provider (rumah sakit).

Hilangnya pemasukan puskesmas dari pengguna layanan kesehatan (pasien yang tidak miskin) juga berpengaruh terhadap operasional lembaga kesehatan ini. Biasanya dana tersebut dijadikan sebagai tambahan biaya operasional puskesmas.

Namun, jika pemerintah benar-benar ingin menyaksikan program ini tak hanya manis ketika didengar, rapi di konsep, tapi berantakan di lapangan, ada baiknya melihat kembali langkah-langkah persiapannya. Ada langkah-langkah strategis yang harus ditempuh. Pertama, kesiapan SDM harus benar-benar dipastikan mamadai, baik dari segi jumlah, maupun kualifikasinya. Lonjakan jumlah pasien harus diimbangi dengan penambahan tenaga pengelola kesehatan di puskesmas berikut peningkatan keterampilannya. Sehingga layanan kesehatan tetap bisa dilakukan sesuai standar yang telah ditetapkan.

Kedua, perlu dihitung ulang kebutuhan riil puskesmas untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien. Kebutuhan riil ini tidak hanya terkait dengan kebutuhan anggaran untuk melakukan layanan kesehatan. Tapi menyangkut pula jumlah sarana dan fasilitas penunjang yang ada. Apakah jumlah puskesmas yang ada sudah mencukupi, sebandingkah dengan kepadatan penduduk di daerah tersebut, bagaimana dengan luas area jangkauannya? Itulah sebagian pertanyaan yang harus dipastikan jawabannya, YA! Artinya sudah tak ada masalah.

Ketiga, harus ada regulasi yang jelas dan detail tentang rujukan pasien. Dalam kondisi seperti apa saja pasien bisa dirujuk ke rumah sakit dan mana yang harus dilayani di puskesmas. Hal ini untuk meminimalisir praktik asal rujuk. Jika hal ini berlaku, rumah sakit tak akan berubah menjadi “puskesmas besar” dan pembagian porsi layanan kesehatan tetap berjalan secara wajar.

Keempat, perlu ada informasi yang transparan kepada masyarakat mengenai jenis layanan kesehatan apa saja yang bisa dilakukan puskesmas. Jangan sampai muncul persepsi bahwa seluruh penyakit bisa ditangani puskesmas. Sehingga ketika dirujuk ke rumah sakit dan harus membayar layanan kesehatan di sana (karena bukan masyarakat miskin), ia tidak merasa tertipu. Ia sudah memahaminya sejak awal.

Kelima dan yang terpenting, pengawasan dan evaluasi. Ini yang biasanya lemah. Sehingga sudah jadi rahasia umum, jika sebagian program yang ada hanya bagus dikonsep, tapi lemah implementasinya karena pengawasan dan evaluasinya tidak jalan.

Mudah-mudahan jika langkah-langkah persiapan dan disertai ketulusan niat untuk mengabdi, program puskesmas gratis dan layanan kesehatan gratis untuk warga miskin di rumah sakit bukan sekadar basa-basi politik menjelang pemilu. Tapi sebuah upaya terpuji pemerintah untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelayan bagi rakyatnya.

Sumber : Harian Republika, kamis, 18 September 2008
Selengkapnya...

Reformasi Pelayanan Rumah Sakit

Alam kemerdekaan Indonesia yang sudah berusia 63 tahun tidak selalu dinikmati oleh anak bangsa khusus para pasien miskin di tanah air. Beragam kasus penolakan pasien miskin oleh Rumah Sakit (RS) masih sering terjadi. Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan telantarnya puluhan pasien program Jamkesmas di RSCM Jakarta. Ini tentu memprihatinkan kita semua karena hal itu menggores rasa kemanusiaan kita sebagai anak bangsa. Betapa tidak, karena alasan ketidakmampuan ekonomi, pasien miskin yang pada saat itu sangat membutuhkan layanan kesehatan harus rela menerima penolakan dari pihak RS dengan beragam alasan.

Kejadian seperti ini, apalagi sudah berulang kali terjadi, menjadi gambaran bagaimana pengelola rumah sakit memandang calon pasiennya. Sisi kemanusiaan, yang ditandai dengan keinginan menolong orang lain lepas dari penderitaan, dikalahkan keinginan memperoleh penghasilan (bayaran). Sederhananya, rumah sakit memandang pasiennya dalam hubungan eksploitatif. Hubungan yang didasarkan pada pertimbangan untung rugi. Pasien dipandang sebagai pihak yang harus mendatangkan keuntungan bagi RS. Jika tidak, maka lebih baik pasien itu ditolak.

Sejatinya pasien juga manusia, yang secara fitrah sama dengan dokter, perawat, paramedis dan pengelola RS lainnya. Sudah selayaknya hubungan yang terjadi adalah hubungan manusiawi. Para pengelola rumah sakit (dokter, perawat dan paramedis) harus mendahulukan upaya pelayanan kesehatan bagi pasiennya. Sehingga selain kesembuhan pasien, kepuasan atas layanan rumah sakit menjadi hasil nyata yang bisa diperoleh.

Pola hubungan seperti ini juga menuntut pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tidak diskriminatif. Adanya pembagian kelas di RS bukan untuk membedakan kualitas layanan. Pasien kelas III (yang mayoritas masyarakat miskin) harus mendapat layanan kesehatan dengan standar sama dengan kelas-kelas di atasnya (VVIP, VIP, kelas I dan kelas II). Yang membedakannya cukup fasilitas tambahan dalam ruang perawatannya, seperti AC, televisi, lemari pendingin, meja dan kursi tamu. Sehingga layanan kesehatan yang layak bisa dirasakan pula oleh orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung. Namun tentu saja keberadaan dan pengelolaan RS butuh biaya yang tidak sedikit. Karena pada dasarnya rumah sakit adalah industri kesehatan yang padat modal, padat teknologi dan padat karya. Apalagi sebagian besar RS di Indonesia dikelola pihak swasta yang tidak mendapatkan alokasi pendanaan dari pemerintah. Sehingga aspek bisnis menjadi hal yang tak bisa dipisahkan dari pengelolaan rumah sakit.

Data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menunjukkan bahwa rumah sakit yang dikelola pihak swasta pada tahun 2005 berjumlah 626 unit atau 49,4 persen dari keseluruhan rumah sakit yang ada di Indonesia. Sementara rumah sakit yang dikelola pemerintah (Depkes dan Pemda) jumlahnya hanya 452 unit. RS yang dikelola TNI dan Polri lebih sedikit lagi, hanya 112 unit, dan RS yang dikelola BUMN dan departemen lain berjumlah 78 unit. Kenyataannya memang pengelolaan RS lebih cenderung menganut mekanisme pasar. Buktinya jumlah rumah sakit di kota-kota besar yang notabene penghasilan penduduknya tinggi lebih banyak dibanding daerah-daerah yang penduduknya berpenghasilan rendah.

Dualisme Kepentingan
Sayangnya mekanisme pasar tersebut tidak disertai aturan dan pengawasan yang memadai. Enam rumah sakit yang terbukti menolak pasien miskin pada tahun 2005 hanya dikenai teguran dan peringatan. Sanksi ini tidak menunjukkan ketegasan pemerintah menjamin warga negara untuk memperoleh haknya. Bukankah kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia dan pemerintah –sesuai amanat UUD 1945—harus menjamin setiap warga negara mendapatkan layanan kesehatan yang layak.

Ketika ada warga negara yang tak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak maka secara langsung pemerintah telah melanggar konstitusi. Sehingga pemerintah harus memfasilitasi agar semua warga bisa mendapatkan layanan kesehatan yang layak, tanpa harus melihat status sosialnya terlebih dahulu. Oleh karena itu harus ada aturan yang jelas disertai sanksi yang tegas agar kejadian warga miskin yang ditolak rumah sakit tak terjadi lagi.

Faktanya, rumah sakit memang dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda. Di satu sisi, sebagai sebuah badan usaha rumah sakit dituntut untuk memperoleh keuntungan dari segala aktivitas yang dilaksanakannya. Dokter, perawat, para medis dan pengelola rumah sakit lainnya harus mampu berperan sebagai revenue center (pusat penghasilan) untuk menjaga keberlangsungan hidup rumah sakit. Inilah yang sering mendorong pola hubungan eksploitatif dikembangkan rumah sakit terhadap pasien.

Di sisi lain, tuntutan etis untuk tidak menjadikan kesehatan sebagai komoditas ekonomi juga begitu kuat. Kesehatan sebagai hak dasar manusia terlalu sakral untuk diperdagangkan. Sehingga dalam perspektif ini pelayanan kesehatan harus diselenggarakan berdasarkan prinsip sosial kemanusiaan. Layanan kesehatan ada untuk menolong manusia lain, bukan untuk mencari bayaran, apalagi keuntungan.

Tentu saja tanpa aturan yang jelas, tarik menarik kepentingan tersebut akan berakibat fatal. Akan ada yang menjadi korban. Jika sepenuhnya mengacu pada mekanisme pasar, maka akan semakin banyak warga yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan. Namun bila seluruhnya didasarkan pada prinsip sosial, tanpa sumber pendanaan yang jelas, akan berefek pada ketahanan rumah sakit dalam memberikan layanan kesehatan. Bisa jadi tak ada orang atau pihak yang mau menyelenggarakan layanan kesehatan. Dua-duanya mengakibatkan rakyat sulit mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Bila hal ini tidak teratasi, pemerintah sebagai penyelenggara pengelolaan negara dianggap gagal menjalankan amanat UUD 45 terutama pasal 34 ayat 3, yakni “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Untuk menjamin kepastian keberlangsungan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang berkualitas di RS maka pemerintah perlu memikirkan kemungkinan pemberian subsidi atau paket-paket kebijakan yang meringankan pembiayaan dalam pengelolaan RS apapun bentuknya terutama bagi kelompok RS swasta serta memberikan pembiayaan yang cukup dalam APBN maupun APBD bagi RS Pemerintah dan RS Daerah. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan RS bisa survive dalam memberikan pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas.

Reformasi Rumah Sakit
Meski dinilai terlambat oleh banyak pihak, saat ini DPR dan pemerintah sedang menggodok RUU RS. Maklum pengelolaan RS selama ini yang didasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 59b/Menkes/PER/II/1988 belum mampu mengakomodir beragam kepentingan yang ada dan memberi arahan yang jelas seperti apa RS di Indonesia harus beroperasi.Bahkan sejak diberlakukannyaUU No. 10/2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, praktis RS tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Karena berdasarkan UU tersebut, peraturan menteri tidak lagi masuk ke dalam hirarki perundangan yang ada di Indonesia. Cukup ironis memang, RS yang jumlahnya 1.268 unit dan melayani juataan warga tak dilengkapi dasar pijakan hukum yang kuat. Padahal BUMN yang jumlahnya hanya 260-an saja sudah diatur dengan Undang-undang. Sehingga dipndang perlu adanya upaya reformasi pelayanan RS ini melalui regulasi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Selain itu, beragamnya bentuk tata kelola rumah sakit selama ini, membuat orientasi pelayanan kesehatan pun memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Misalnya rumah sakit yang berstatus milik pemerintah lebih mengacu pada PP No. 23/2005 tentang Badan Layanan Umum. Sementara rumah sakit yang berstatus badan hukum komersial mengacu pada UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, sedangkan yang berstatus yayasan jelas berpedoman kepada UU No. 28/2004 tentang Yayasan. Perbedaan tersebut menyebabkan sulitnya pengaturan pengelolaan rumah sakit yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan. Jika ditilik lebih jauh, tidak rasional kiranya jika untuk produk layanan yang sama, yaitu kesehatan, ada dasar aturan yang berbeda. Apalagi satu dan lainnya sama sekali bertolak belakang sehingga reformasi pengaturan peran RS ini sudah sangat mendesak.

Diharapkan lahirnya undang-undang yang mengatur pengelolaan rumah sakit akan memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan secara layak dan profesional tanpa ada pihak yang harus dikorbankan. Di sinilah pemerintah menjalankan perannya memberikan landasan yang kuat menjamin masyarakat untuk mendapatkan haknya memperoleh layanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau, dan disaat yang sama RS juga mendapat jaminan untuk menjalankan fungsi bisnisnya.

Idealnya, pembahasan RUU tentang pengelolaan rumah sakit ini bisa melibatkan seluruh lapisan masyarakat, sehingga masukan tentang bagaimana rumah sakit ini akan dikelola menjadi lebih komprehensif. Untuk itu, pembahasan RUU tersebut baik Pemerintah maupun DPR melalui sekretariatnya.masing-masing harus mensosialisasikan draf RUU tersebut ke publik. Harapannya adalah agar masyarakat tahu dan berpartisipasi dengan menyampaikan aspirasinya melalui saluran-saluran yang sudah tersedia. Sehingga aturan reformasi pelayanan RS ini dapat berjalan sesuai dengan harapan pemerinta, DPR dan masyarakat.

Memang ini bukan pekerjaan mudah, namun untuk sebuah hasil yang mulia dan bermanfaat bagi masyarakat banyak sudah selayaknya hal ini dilakukan. Sehingga dengan adanya reformasi dan regulasi yang baru, RS menjadi tempat yang nyaman dan bersahabat khususnya bagi warga miskin. Sehingga institusi RS tidak semata-mata untuk mencari keuntungan bisnis belaka tetapi memiliki misi sosial bagi kesejahteraan anak bangsa. Wallahu a’lam bishawwab (*)

Sumber : Harian terbit, kamis, 18 September 2008
Selengkapnya...

Rabu, 17 September 2008

Awasi Produk Makanan Jelang Lebaran

Jakarta - Anggota Komisi IX DPR RI (bidang kesehatan dan tenaga kerja) Zuber Safawi meminta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan instansi terkait lainnya melakukan pengawasan terpadu terhadap produk makanan, minuman dan daging pada Ramadhan dan jelang Lebaran 2008 ini.

“Jangan sampai kasus jual beli makanan kadaluarsa yang terjadi di Pasar Wates, Cirebon beberapa waktu lalu kembali terjadi. Hal ini penting untuk melindungi masyarakat dari produk-produk pangan yang sudah tidak layak komsumsi,” katanya di Gedung DPR Jakarta, Jumat (5/9).

Menurut anggota FPKS itu, BPOM harus proaktif melakukan serangkaian pengecekan, pengawasan dan sidak ke lokasi-lokasi seperti pasar, mal dan tempat pemotongan hewan untuk menjamin keamanan produk makanan dan daging sehingga masyarakat dapat aman mengkomsusinya.

Apalagi hari raya Idul Fitri kian dekat, sehingga harus dipastikan tak ada lagi produk pangan berbahaya bagi publik. Menurut Zuber, berdasarkan pengalaman tahun lalu sering kali ditemukan produk-produk makanan dan daging yang tidak layak dikomsunsi masyarakat.(*antara/rizky/www.mitrafm.com)

Sumber : mitrafm.com, sabtu, 6 September 2008
Selengkapnya...

Daging Glonggongan Marak di Pasar

INILAH.COM, Jakarta – Kasus penjualan daging glonggongan kembali marak. Harga daging yang mahal serta permintaan yang tinggi di saat puasa dan jelang Lebaran menjadi pemicunya. Namun berhati-hatilah, selain haram, 40%-nya hanya berisi air.

Sejak beberapa tahun lalu daging glonggongan sudah banyak beredar di wilayah Solo dan kota sekitarnya. Kabupaten Boyolali disinyalir sebagai pusat peredaran daging sapi jenis ini.

Akhir Agustus lalu, daging glonggongan kembali ditemukan. Ratusan kilogram daging sapi glonggongan ditemukan tim gabungan dari aparat Pemda Sukoharjo, Jawa Tengah saat melakukan inspeksi mendadak (sidak).

Di kota lain juga ditemukan hal serupa. Bahkan di Jakarta, kabarnya sudah mulai beredar, termasuk daging ayam glonggongan. Perdagangan jenis daging ini makin marak menjelang puasa dan bisa terus berlanjut hingga Lebaran mendatang jika tidak ada penanganan intensif dari pemerintah.

Ketua Harian Pusat Data dan Informasi (Pinsar) Unggas, Hartono mengungkapkan, kasus daging glonggongan sebenarnya tidak hanya terjadi saat bulan puasa, tetapi juga pada bulan-bulan lain.

"Untuk kasus ayam, biasanya air ada di bawah lapisan kulit ayam. Cara untuk memastikan apakah itu ayam glonggongan atau tidak, coba daging ayam dipencet agar air keluar," ujar dia. Untuk daging ayam glonggongan biasanya air disuntikkan ke tubuh ayam sehingga timbangannya menjadi lebih berat.

Sementara kasus daging sapi, biasanya glonggongan dilakukan dengan cara memasukkan air lewat selang melalui mulut. Tubuh sapi terpaksa meminum air berlebihan dan kemudian mati. Baru kemudian sapi disembelih dan dipotong-potong.

Pada Februari 2006, MUI Jateng telah mengeluarkan fatwa bahwa daging glonggongan dinyatakan haram. Karena daging tersebut biasanya berasal dari hewan yang telah mati sebelum disembelih.

Ciri-ciri daging glonggongan antara lain warnanya sudah pucat dan berair. Tak heran bila pedagang daging jenis ini tidak menggantung daging dagangannya di kios miliknya, tapi meletakkan di meja atau panci.

Meski dijual dengan harga lebih murah, sebenarnya harganya bisa lebih mahal dari daging segar. Karena, sekitar 30-40% dari berat daging adalah air. Jika membeli daging satu kilogram berarti berat sebenarnya adalah sekitar 6 atau 7 ons saja.

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi meminta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta instansi terkait lainnya untuk melakukan pengawasan terpadu terhadap produk makanan, minuman dan daging pada Ramadan dan menjelang Lebaran 2008 ini.

“Berdasarkan pengalaman tahun lalu sering kali ditemukan produk-produk makanan dan daging yang tidak layak dikomsumsi masyarakat,” papar anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR itu.

BPOM, lanjutnya, harus proaktif melakukan serangkaian pengecekan, pengawasan dan sidak ke lokasi-lokasi seperti pasar, mal dan tempat pemotongan hewan untuk menjamin keamanan produk makanan dan daging sehingga masyarakat dapat aman mengkomsusinya.

Penjualan daging glonggongan terus terjadi akibat jagal sapi yang tidak mengindahkan aturan berlaku, penegakan hukum lemah, dan adanya permintaan pasar. Selama ini payung hukum yang digunakan biasanya berupa peraturan daerah (perda).

Padahal pelakunya bisa juga dijerat dengan UU No 23/1992 tentang Kesehatan, UU No 7/1996 tentang Pangan, dan UU No 8/199 tentang Perlindungan Konsumen. Penanganan dari pemerintah dan penegak hukum menjadi kunci agar praktik penggelonggongan yang berjalan puluhan tahun bisa berhenti. [I4]

Sumber : inilah.com, Ahad, 7 September 2008
Selengkapnya...

Komisi IX Minta BPOM Awasi Produk Pangan

Jakarta, CyberNews. Anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR RI Zuber Safawi meminta kepada para pengusaha ritel untuk memberikan hak-hak normatif dalam beribadah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kepada para pekerja terutama pada saat bulan Ramadhan dan jelang Idul Fitri 2008 ini. Imbauan itu terutama ditujukan kepada para pengusaha pusat perdagangan (mal) dan supermarket yang selalu kebanjiran konsumen jelang hari raya umat Islam itu.

"Kita tahu pada setiap Ramadhan dan jelang Idul Fitri komsumsi masyarakat sangat tinggi dan berbondong-bondong untuk belanja di mall atau supermarket sehingga para pekerja diminta tetap melayani konsumen meski jam beribadah sudah tiba. Ini menyebabkan banyak pekerja yang tidak bisa menjalankan ibadah sholat sebagaimana mestinya,” papar Zuber dalam pernyataan pers kepada Suara Merdeka CyberNews, Rabu (10/9).

Menurut anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu, hak beribadah merupakan hak melekat pada diri pekerja dan telah diatur dalam UU N0 3/2003 tentang Ketenagakerjaan karena kebebasan menjalankan ibadah merupakan hak asasi setiap warga negara. ”Seharusnya pengusaha dan manajemen perusahaan mengatur dan memudahkan para pekerjanya untuk dapat beribadah secara leluasa. Karena ini juga merupakan penghargaan kepada pekerja yang telah memberikan kontribusinya bagi perusahaan,” tambah Zuber.

Anggota Komisi IX DPR ini melihat tingginya animo masyarakat berbelanja pada Ramadhan dan jelang Lebaran terutama pada waktu prime time pukul 16.00-20.00 WIB menyebabkan para pekerja seperti ”dipaksa” untuk mendahulukan melayani pembeli daripada menunaikan kewajiban beribadahnya. ”Kasus yang sering terjadi karyawan banyak menunda bahkan tidak menjalankan ibadah sholat karena takut ditegur atasannya atau dianggap melanggar aturan kerja sehingga khawatir kena skorsing dari perusahaan,” ungkap wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Tengah I (Kota Semarang, Salatiga, Kabupaten Semarang, dan Kendal).

Meski mengakui saat Ramadhan dan jelang Idul Fitri merupakan masa panen bagi mal dan supermarket, Zuber berharap pengusaha tetap memberikan kesempatan kepada karyawan untuk dapat beribadah dengan tenang dan khusuk. ”Rezeki kan tidak kemana, jadi pengusaha tak perlu khawatir. Yang penting ada pengaturan (shif) sehingga semua karyawan dapat menunaikan hak ibadahnya tanpa mengganggu layanan kepada para komsumen,” tandasnya.

Zuber juga meminta kepada jajaran Depnakertrans untuk mengawasi masalah ini agar hak-hak beribadah pekerja tidak diabaikan. ”Masalah kesempatan beribadah ini menjadi hal penting bagi karyawan sehingga mereka dapat menjalankan ibadah Ramadhan dengan sempurna. Selain tentunya Depnakertrans juga mengawasi tentang pembayaran hak THR yang harus diberikan pengusaha kepada pekerjanya tiap jelang Lebaran,” harap Zuber. (Imam M Djuki /CN05)

Sumber : cybernews.com, senin, 8 September 2008
Selengkapnya...

Awasi Produk Pangan Jelang Lebaran

JAKARTA, JUMAT - Anggota Komisi IX DPR RI (bidang kesehatan dan tenaga kerja) Zuber Safawi meminta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan instansi terkait lainnya melakukan pengawasan terpadu terhadap produk makanan, minuman dan daging pada Ramadhan dan jelang Lebaran 2008 ini.

"Jangan sampai kasus jual beli makanan kadaluarsa yang terjadi di Pasar Wates, Cirebon beberapa waktu lalu kembali terjadi. Hal ini penting untuk melindungi masyarakat dari produk-produk pangan yang sudah tidak layak komsumsi," katanya di Gedung DPR Jakarta, Jumat (5/9).

Menurut anggota FPKS itu, BPOM harus proaktif melakukan serangkaian pengecekan, pengawasan dan sidak ke lokasi-lokasi seperti pasar, mal dan tempat pemotongan hewan untuk menjamin keamanan produk makanan dan daging sehingga masyarakat dapat aman mengkomsusinya.

Apalagi hari raya Idul Fitri kian dekat, sehingga harus dipastikan tak ada lagi produk pangan berbahaya bagi publik. Menurut Zuber, berdasarkan pengalaman tahun lalu sering kali ditemukan produk-produk makanan dan daging yang tidak layak dikomsunsi masyarakat.

Makanan kadaluarsa sering ditemukan di mal maupun supermarket. Sementara daging banyak diindikasikan tidak layak komsumsi karena busuk dan sebagainya.

"Akan sangat berbahaya jika masyarakat masih mengkomsumsi makanan yang sudah kadaluarsa maupun daging busuk yang dijual di pasar, toko, supermarket maupun mal itu," tambah Zuber.

BPOM, menurut Zuber, dapat melakukan antisipasi pengawasan melalui pengiriman surat edaran kepada pengelola pasar, toko, supermarket maupun mal untuk melarang penjualan produk-produk makanan dan daging yang sudah tak layak komsumsi.

"Selain memberikan surat edaran, BPOM juga dapat melakukan sidak langsung ke pasar, toko, supermarket dan mal untuk memastikan secara langsung bahwa produk-produk kadaluarsa tidak dijualbelikan kepada komsumen. Jika ditemukan produk kadaluarsa, BPOM harus berani menegur dan memberikan sanksi sesuai aturan hukum yang berlaku," katanya.

Zuber juga meminta BPOM untuk memberikan edukasi secara masif tentang produk-produk yang layak komsumsi kepada masyarakat sehingga mereka dapat membeli makanan dan daging yang aman dari sisi kesehatan.

"Masyarakat juga harus hati-hati dalam memilih produk-produk makanan dan daging pada saat ini. Karena kurangnya ketelitian akan berdampak kurang baik bagi komsumen sendiri. Masyarakat harus menjadi pembeli yang teliti dan tahu tentang jenis dan kualitas produk tersebut," katanya.

Sumber : kompas.com, jumat, 5 September 2008
Selengkapnya...

Jelang Lebaran, BPOM Diminta Awasi Produk Pangan

Kapanlagi.com - Anggota Komisi IX DPR RI (bidang kesehatan dan tenaga kerja) Zuber Safawi meminta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta instansi terkait lainnya untuk melakukan pengawasan terpadu terhadap produk makanan, minuman dan daging pada Ramadhan dan jelang Lebaran 2008 ini.

"Jangan sampai kasus jual beli makanan kadaluwarsa yang terjadi di Pasar Wates, Cirebon beberapa waktu lalu kembali terjadi. Hal ini penting untuk melindungi masyarakat dari produk-produk pangan yang sudah tidak layak konsumsi," katanya di Gedung DPR Jakarta, Jumat (5/9).

Menurut anggota FPKS itu, BPOM harus proaktif melakukan serangkaian pengecekan, pengawasan dan sidak ke lokasi-lokasi seperti pasar, mal dan tempat pemotongan hewan untuk menjamin keamanan produk makanan dan daging sehingga masyarakat dapat aman mengkonsumsinya.

Apalagi hari raya Idul Fitri kian dekat, sehingga harus dipastikan tak ada lagi produk pangan berbahaya bagi publik.

Menurut Zuber, berdasarkan pengalaman tahun lalu sering kali ditemukan produk-produk makanan dan daging yang tidak layak dikonsumsi masyarakat.

Makanan kadaluwarsa sering ditemukan di mal maupun supermarket. Sementara daging banyak diindikasikan tidak layak konsumsi karena busuk dan sebagainya.

"Akan sangat berbahaya jika masyarakat masih mengkonsumsi makanan yang sudah kadaluwarsa maupun daging busuk yang dijual di pasar, toko, supermarket maupun mal itu," tambah Zuber.

BPOM, menurut Zuber, dapat melakukan antisipasi pengawasan melalui pengiriman surat edaran kepada pengelola pasar, toko, supermarket maupun mal untuk melarang penjualan produk-produk makanan dan daging yang sudah tak layak konsumsi.

"Selain memberikan surat edaran, BPOM juga dapat melakukan sidak langsung ke pasar, toko, supermarket dan mal untuk memastikan secara langsung bahwa produk-produk kadaluwarsa tidak dijualbelikan kepada konsumen. Jika ditemukan produk kadaluwarsa, BPOM harus berani menegur dan memberikan sanksi sesuai aturan hukum yang berlaku," katanya.

Zuber juga meminta BPOM untuk memberikan edukasi secara masif tentang produk-produk yang layak konsumsi kepada masyarakat sehingga mereka dapat membeli makanan dan daging yang aman dari sisi kesehatan.

"Masyarakat juga harus hati-hati dalam memilih produk-produk makanan dan daging pada saat ini. Karena kurangnya ketelitian akan berdampak kurang baik bagi konsumen sendiri. Masyarakat harus menjadi pembeli yang teliti dan tahu tentang jenis dan kualitas produk tersebut," katanya. (kpl/rif)

sumber : kapanlagi.com, jumat, 5 September 2008
Selengkapnya...

Kamis, 11 September 2008

Impian komunitas perawat Indonesia

Jika ada profesi keahlian yang hingga kini statusnya masih kontroversial dan belum mendapat penghormatan yang layak di Indonesia dalam bentuk legalitas hukum, salah satunya adalah tenaga perawat. Sungguh ironis memang, saat profesi lain seperti dokter, guru, dosen, akuntan dan lainnya telah mendapat pengakuan secara formal, profesi perawat justru belum mampu meraih itu karena belum adanya Undang-undang Praktik Keperawatan (UU PK) yang mengatur secara khusus tentang profesi keperawatan. Padahal organisasi perawat telah ada di Indonesia sejak 34 tahun lalu dan telah berjuang puluhan tahun untuk memperoleh pengakuan atas profesi itu.

Maka tak heran bertepatan dengan Hari Perawat se-Dunia 12 Mei 2008 lalu, ribuan perawat dan mahasiswa keperawatan yang tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) melakukan aksi demontrasi ke DPR menuntut pengesahan UU PK yang dinilai para perawat sudah amat mendesak. Kondisi dunia keperawatan di Indonesia dan situasi global saat ini dinilai telah cukup menjadi alasan pemberlakuan UU tersebut. Bukan hanya itu, khusus kawasan regional Asia Tenggara, Indonesia menjadi salah satu negara besar yang hingga kini belum memiliki UU PK dan tidak memiliki lembaga Konsil Keperawatan yang berfungsi mengatur, mengesahkan dan menetapkan kompetensi perawat di Indonesia.

Tuntutan dari kalangan profesi perawat itu memang realistis mengingat profesi mereka saat ini masih kurang mendapat perhatian serius dari Pemerintah. Masyarakat sendiri umumnya masih melihat profesi perawat tidak lebih sebagai pembantu atau asisten dokter di Rumah Sakit (RS) atau Puskesmas. Padahal sejatinya perawat adalah profesi mandiri, profesional dan butuh proses pendidikan yang lama untuk meraihnya. Kegiatan asuhan perawat tidak mungkin dapat dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki skill keperawatan. Ironis memang, profesi perawat sebagai sebuah keahlian hingga kini ini belum mendapat apresiasi sejajar dengan profesi lainnya. Belum lagi tingkat kesejahteraan perawat yang masih minim terutama di daerah-daerah.

PPNI sebagai perkumpulan profesi perawat telah merumuskan jatidiri profesi perawat sesuai dengan karakteristiknya yang khas. Keperawatan sebagai sebuah profesi setidaknya memiliki ciri-ciri; (1) adanya body of knowledge, yang mendasari keterampilan dalam menyelesaikan problema keperawatan; (2) memilliki pendidikan standar dan dilaksanakan di Perguruan Tinggi; (3) memiliki pengendalian terhadap standar praktik, (4) bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan (5) memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup dan (6) memperoleh pengakuan masyarakat kareana fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang berorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas).

Sudah Mendesak
Profesi perawat memang harus segera mendapat pengakuan sehingga memiliki aspek legal dan tuntunan kerja dalam aktivitas keperawatan. Masalahnya hingga kini UU PK yang menjamin tentang kemandirian dan tanggung jawab keperawatan belum juga hadir memenuhi asa para perawat di tanah air. Sedemikian urgennya UU ini, Ketua PPNI Prof. Achir Yani sempat melontarkan pertanyaan kritis jika masyarakat Indonesia ingin memiliki hak untuk menerima pelayanan keperawatan secara bermutu maka seyogyanya RUU Nursing Practice Act ini jauh-jauh hari seharusnya telah disahkan bukan diperlambat apalagi dipertanyakan. Artinya UU PK ini sangat inheren dengan peningkatan kualitas dan kenyamanan layanan keperawatan bagi masayarakat sendiri. Maka tak heran sikap teguh kaum perawat ini diwujudkan dengan mengajak masyarakat mendeklarasikan “Gerakan Nasional Sukseskan Undang-Undang Praktik Keperawatan” tahun 2008 ini.

Perjuangan untuk mewujudkan kehadiran UU PK yang telah digelorakan cukup lama oleh kaum perawat setidaknya bukan semata-mata untuk mengakomodasi hak-hak dasar profesi perawat namun lebih dari itu UU PK kelak akan memberikan kepastian kepada masyarakat tentang kualitas dan jaminan asuhan keperawatan. Masyarakat akan merasa terlindungi manakala ada lembaga semacam Konsil Keperawatan yang secara ketat memperlakukan aturan uji kompetensi, registrasi dan penetapan sanksi terhadap kesalahan praktik keperawatan.

Berkah lain yang diharapkan muncul dari kehadiran UU PK adalah adanya pengakuan internasional terhadap kualitas dan mutu perawat Indonesia yang akan berdampak terhadap upaya peningkatan jumlah devisa negara melalui tangan-tangan ahli perawat nasional yang merambah ke mancanegara. Adanya serbuan pasar global perawat asing yang akan masuk ke Indonesia juga sedikit banyak dapat diantisipasi dengan pemberlakuan UU PK ini.

Butuh Perjuangan
Namun keinginan insan perawat agar perbelakuan UU PK segera diwujudkan jelas membutuhkan perjuangan keras. Tidak hanya dukungan dari kalangan dunia keperawatan tapi juga dari butuh political will dari Pemerintah, DPR dan stakeholder kesehatan lainnya. PPNI sendiri bekerjasama Depkes dalam hal ini Direktorat Keperawatan dan Keteknisan Medik telah menyusun naskah akademik RUU PK. Secara umum rancangan akademik tersebut telah cukup mewakili aspirasi dari kalangan profesi keperawatan dan layak untuk mendapat respon untuk segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR sebagai upaya mewujudkan kualitas dan mutu keperawatan di tanah air.

Keseriusan untuk menuntaskan harapan perawat ini memang membutuhkan komitmen dan perhatian tinggi dari Pemerintah (Depkes), DPR, PPNI dan semua pihak yang peduli terhadap masa depan dunia keperawatan. Seyogyanya, PPNI juga dapat terus melakukan kampanye dengan melakukan serangkaian edukasi dan sosialisasi kepada publik tentang urgensi kehadiran UU PK ini. Masyarakat tentu akan memberikan apresiasi dan dukungsn karena UU PK ini memang berdampak positif terhadap kualitas pelayanan keperawatan kepada mereka.

Cita-cita mewujudkan profesi keperawatan yang lebih maju dan mandiri tentulah bukan keinginan sektarian atau kelompok yang hanya mengedepankan ego profesi namun sebagai upaya meneguhkan kembali komitmen akan tingginya nilai profesi keperawatan. Tentu perawat yang berkualitas akan mampu melayani masyarakat secara profesional tanpa harus terkekang dengan posisi imperioritas karena kendala legalitas profesi yang mereka alami seperti saat ini. Harapan adanya UU PK bukan hanya menjadi pekerjaan rumah bagi DPR maupun Pemerintah tapi juga menuntut partisipasi aktif masyarakat untuk terus mengawasi agar kelak jika telah ada UU PK di Indonesia, perawat-perawat bangsa mampu merealisasikan komitmen pelayanan keperawatan secara utuh dan bertanggung jawab.

Renungan Hari Perawat 2008 yang mengusung tema Primary Health Care (PHC) hendaknya menjadi pemicu semua pihak, khususnya Pemerintah dan DPR untuk lebih memperhatikan impian dari kalangan profesi perawat agar mereka mampu memainkan peran holistiknya dalam memberikan asuhan keperawatan dan melayani masyarakat secara berkualitas tanpa ada kontroversi tentang status profesinya. Tentu salah satunya dengan mempercepat kelahiran UU Praktik Keperawatan di bumi pertiwi. Semoga (*)

Sumber : Harian TERBIT, 22 Juli 2008
Selengkapnya...

Penguatan Ketahanan Keluarga

Kita baru saja memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-15 pada 29 Juni lalu di Jambi. Peringatan Harganas kali ini menjadi penting dan memunculkan pertanyaan di hati kita tentang bagaimana kondisi keluarga Indonesia kini? Kita sangat menyadari keluarga adalah pilar bangsa. Ungkapan ini mengandung makna betapa sentralnya peran keluarga dalam pembentukan karakter bangsa. Semua kepribadian dan karakter anak-anak negeri ini terbangun dari pola keluarga sebagai unit pendidikan pertama yang memberikan dasar-dasar kepribadian seperti kejujuran, solidaritas, kecerdasan, dan karakter positif lainya. Keluarga inti yang terdiri dari ayah,ibu dan anak adalah kumpulan sosial terkecil yang mampu dan menjadi faktor penting dalam memberikan warna perjalanan bangsa di masa yang akan datang.

Namun hari ini, kita melihat beragam kemuraman yang menyelimuti keluarga Indonesia. Tengoklah beragam kasus keluarga merebak luas mulai dari fenomena broken home, aksi pembunuhan antar anggota keluarga, penggunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa, kekerasan pelajar dan lainnya. Kita patut bertanya apakah masih ada peran keluarga dalam menanggulangi krisis sosial ini? Apakah keluarga tak lagi seharmonis dulu, sehingga melahirkan beragam keprihatinan ini?

Peran Pemerintah
Berkurangnya ketahanan keluarga belakangan ini tidak luput dari kurangnya perhatian pemerintah dalam mengedukasi dan mendorong optimalisasi masyarakat untuk mewujudkan keluarga sehat. Peran pemerintah, dalam hal ini Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang terlihat belum mampu mewujudkan sebuah tatanan dan model keluarga sehat dan sejahtera secara aplikatif. Sehingga target BKKBN selama ini juga amat kuantitatif dan belum menyentuh kepada akar permasalahan yakni bagaimana menciptakan ketahanan keluarga sehat dan sejahtera secara utuh.

Sebagai lembaga yang diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi penguatan ketahanan keluarga, BKKBN seharusnya mampu membuat cetak biru keluarga di Indonesia. Sehingga kita dapat melihat dan mengukur berapa banyak populasi keluarga yang telah mandiri baik secara mental maupun materi, yang tentunya tidak hanya sekedar dilihat dari jumlah anak yang dimilikinya. Ini penting mengingat masalah ketahanan keluarga tidak hanya dikarenakan jumlah anak yang dimiliki saja, tapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana orang tua berperan dalam mengasuh, membina dan mendidik anggota keluarga secara optimal.

BKKBN selama ini juga diakui telah memiliki serangkaian program ketahanan dan pemberdayaan keluarga. Namun titik tekan dari program ini hanya pada ketahanan dan pemberdayaan ekonomi, kurang menyentuh pada aspek-aspek yang memfasilitasi dalam pembentkan keluarga yang berkarakter. Bisa jadi kondisi ini dikarenakan adanya banyak institusi yang menangani keluarga namun miskin koordinasi dan berkomunikasi.

Pada saat yang sama, BKKBN mengalami beragam kendala seiring dengan perubahan sosial politik dalam negeri, diantaranya perubahan dari pola sentralisasi menjadi desentralisasi dimana Pemerintah Kabupaten dan Kota kini diberi kewenangan dalam menjalankan program Keluarga Berencana (KB). Sehingga keberhasilan program ketahanan keluarga sangat bergantung sejauh mana komitmen Kepala Daerah dan DPRD bersangkutan dalam melaksanakan program ini. Jika Bupati, Walikota dan legislatif daerah tidak menjalankan program ketahanan keluarga ini sebagai priorotas, maka tugas BKKBN boleh jadi hanya tinggal cerita.

Keluarga Sehat
Selain itu faktor yang menyebabkan memudarnya ketahanan keluarga adalah melemahnya nilai-nilai keteladanan dan moralitas.. Faktor ini menyebabkan suasana keluarga tidak memberikan harapan positif bagi perilaku anggota keluarga. Faktor keteladanan dan moralitas ini menjadi penting karena faktanya meski sebuah keluarga secara ekonomi cukup mampu namun perilaku kehidupan anggota keluarganya ada yang mengalami disharmoni sosial yang akut. Begitu pula perubahan pola hidup, serbuan globalisasi dan efek media massa telah turut andil memperlemah ketahanan keluarga saat ini.

Berbicara ketahanan keluarga tentu tak luput dari peranan keluarga yang sehat dan produktif. Sehat tentunya tak hanya dalam hal terpenuhinya kebutuhan ekonomi secara cukup namun lebih dari sekedar itu. Keluarga sehat adalah gambaran ideal dimana semua anggota unit keluarga mampu memberikan pengaruh positif baik ke dalam keluarga sendiri maupun lingkungan sekitar. Dalam ajaran agama kita mengenal slogan ”baiti jannati” sebagai refleksi betapa rumah harus dijadikan arena positif untuk menumbuhkembangkan dan penyalurkan potensi setiap anggota keluarga. Interaksi keluarga dikelola sehingga melahirkan manajemen solidaritas yang kokoh sehingga mampu mengikis benih-benih keretakan keluarga.

Tentu tidak mudah membentuk profil keluarga sehat seperti ini ditengah kondisi sosial dan tekanan ekonomi yang luar biasa. Karakter keluarga sehat setidaknya dapat diwujudkan melalui interaksi keteladanan, kepercayaaan an komunikasi yang baik didalam maupun diluar lingkungan keluarga itu. Intinya, keluarga ini mampu eksis dan memberikan pengaruh timbal balik bagi pembentukan karakter ideal anggota keluarga dan lingkungannya. Agama juga mengajarkan kita untuk menjadikan profil keluarga sebagai unit sosial yang dapat bermanfaat bagi anggota keluarga dan orang lain sehingga akan memunculkan wibawa dan peran keluarga dalam tatanan sosial masyarakat. Jika profil keluarga ideal ini diwujudkan oleh keluarga-keluarga inti maka fenomena penyakit sosial yang nampak di Indonesia sangat mungkin akan berkurang.

Solusi Penguatan Kelurga
Kesadaran akan pentingnya keluarga sehat dan produktif menuntun kita untuk melakukan langkah-langkah strategis guna mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Pertama, pemerintah harus melakukan reorientasi pembangunan keluarga dengan memperjelas cetak biru profil keluarga Indonesia sehat dan produktif, yang memperhatikan keseimbangan antara faktor religiusitas, mental ekonomi dan sosial. Sekali lagi hal ini menjadi penting karena rentannya disharmoni keluarga Indonesia tidak semata-mata disebabkan faktor ekonomi tetapi akibat dari problem-problem yang sangat kompleks.

Kedua, memperjelas pembagian tugas, wewenang dan fungsi lembaga-lembaga terkait yang muara programnya pada pembangunan keluarga. Setiap lembaga boleh saja memiliki program, anggaran dan personal, namun yang tidak kalah penting adalah koordinasi antar lembaga tersebut, karenanya diperlukan penunjukkan salah satu lembaga sebagai koordinator untuk mengkoordinasikan program ini agar tidak terjadi tumpang tindih maupun saling lepas tangan dalam pelaksanaannyat.

Ketiga, melakukan penguatan otonomi daerah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan sumber daya lainnya sehingga diharapkan pelaksanaan otonomi daerah semakin berkualitas yang dilandasi pemahaman yang lebih komprehensif dan substantif tentang makna otonomi daerah. Pada saat yang sama pemerintah Pusat dituntut untuk bisa meyakinkan pada pemerintah Daerah bahwa program ketahanan dan pemberdayaan keluarga adalah investasi jangka panjang yang strategis dan bernilai bagi kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Kita berharap solusi penguatan ketahanan keluarga ini menjadi isu nasional sehingga semua pihak mampu terlibat secara dinamis dan konstruktif sebagai upaya mewujudkan keluarga Indonesia yang lebih berkulitas dan maju. Keluarga yang penuh dengan kasih sayang, solidaritas, produktif dan religius ini diharapkan mampu menangkal problem akut institusi keluarga sehingga dapat membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Sumber : Harian Terbit, Kamis 17 Juli 2008
Selengkapnya...

Edukasi Penanggulangan Narkoba

Tanggal 26 Juni lalu, kita telah memperingati hari Anti Narkoba se-Dunia. Momentum ini menjadi sangat penting untuk kita renungkan mengingat kerusakan yang telah ditimbulkan akibat kejahatan narkoba kian dashyat bagi masa depan bangsa ini. Intensitas kasus narkoba kian marak dan menjadi “lingkaran setan” yang amat sulit diberantas oleh aparat hukum. Pelaku kejahatan dan korban narkoba pun kian luas tidak hanya pada segmen kelompok masyarakat tertentu tapi sudah merambah ke semua kalangan baik pejabat, kepolisian, jaksa, sipir penjara, artis, mahasiswa, hingga anak-anak sekolah dasar. Sungguh mengenaskan.

Dalam catatan Badan Narkotika Nasional (BNN) terungkap bahwa hingga akhir 2007 terdapat 17.757 kasus yang terdiri dari 8.888 kasus narkotika, 7.433 kasus psikotropika dan 1.436 kasus bahan adiktif lainnya. Data ini menunjukan bahwa Indonesia kini menjadi lahan surga baik bagi produsen, pengedar dan pemakai narkoba. Penelitian BNN dengan salah satu PTN ternama di Jakarta pada tahun 2004 juga memperkirakan jumlah pemakai narkoba mencapai 3,4 juta orang dengan transaksi mencapai 30 trilyun per tahun. Setiap tahunnya menurut estimasi BNN ada 15.000 pecandu yang meninggal sia-sia karena jeratan narkoba ini.

Data ini juga dikuatkan oleh Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkoba (Granat) Henry Yosodiningrat bahwa ada sekitar 4 juta orang pecandu di Indonesia, dengan transaksi mencapai Rp 292 trilyun per tahun. Angka fantastis ini didapat jika setiap pengguna narkoba seharinya membelanjakan uang sebesar 200.000 maka transaksi sehari totalnya 800 milyar dan setahunnya mencapai Rp 292 trilyun. Jumlah ini sama dengan dua kali lipat subsidi BBM pasca kenaikan harga lalu yang “hanya’ Rp 141 triliun. Besarnya uang dalam tranksaksi narkoba inilah yang menggiurkan setiap kalangan untuk tercebur ke dalam bisnis barang haram tersebut.

Bisnis besar narkoba yang terungkap oleh kepolisian, kejaksaan dan bea cukai selama ini ternyata lebih banyak didalangi oleh jaringan internasional. Data Kejaksaan Agung menyebutkan ada sekitar 58 orang terpidana mati kasus narkoba, 44 orang diantaranya adalah warga negara asing. Ini menguatkan argumen bahwa Indonesia sudah menjadi surga bagi para pelaku narkoba transnasional. Jumlah pelaku ini bisa jadi lebih besar karena jaringan narkoba sangat terorganisir dan rapi. Dibantu dengan bandar dan kurir lokal, para penjahat narkoba ini dapat leluasa untuk mengedarkan obat biusnya di Indonesia dengan beragam teknik dan kelihaiannya.

Sayang, lemahnya institusi hukum dan lambatnya eksekusi hukuman mati bagi pelaku narkoba menjadi celah yang dimanfaatkan oleh jaringan pengedar narkoba untuk terus melebarkan sayap bisnisnya. Tak jarang mereka memanfaatkan penegak hukum (polisi, jaksa) bahkan sipir Lembaga Pemasyarakatan (LP) untuk menjadi sindikat mereka. Penjara pun menjadi pusat transaksi narkoba yang sulit untuk diberantas.

Edukasi Jenis Narkoba
Kejahatan narkoba yang sudah sedemikian merebak tentu sangat mengkhawatirkan kita semua, terutama generasi muda sebagai pelanjut negeri ini. Oleh karena itu, selain terus-menerus memberikan dukungan kepada pemerintah untuk memberantas praktik kejahatan narkoba, perlu ada edukasi (pendidikan) secara dini bagi kaum muda. Edukasi ini sudah amat mendesak untuk diberikan kepada anak-anak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi dan organisasi kepemudaan sebagai pilar masa depan negeri ini.

Edukasi narkoba setidaknya meliputi tiga hal yakni (1) edukasi pengetahuan jenis-jenis narkoba, (2) edukasi pencegahan bahaya narkoba, dan (3) edukasi rehabilitasi narkoba. Ketiga hal ini memiliki keterkaitan yang erat dalam upaya sosialisasi, preventifikasi dan masifikasi peran elemen masyarakat dalam mengikis gejala narkoba. Edukasi pengetahuan jenis-jenis narkoba bermanfaat besar bagi generasi untuk untuk lebih mengenal secara lebih dini seluk beluk bahan narkoba. Ini amat dibutuhkan terutama bagi anak-anak SD hingga mahasiswa dimana kurikulum pengetahuan tentang masalah narkoba masih minim. Edukasi pencegahan lebih difokuskan kepada upaya-upaya preventif penyebaran barang narkoba di segala lini kehidupan masyarakat. Edukasi ini menitikberatkan pula pada kesadaran individual dan kolektif masyarakat untuk meningkatkan imunitas terhadap godaan pengedar narkoba.

Sementara edukasi rehabilitasi adalah upaya perbantuan korban maupun pelaku narkoba yang telah insyaf untuk memdapat pembinaan dan pengobatan medis-spritual agar mereka dapat melanjutkan kiprah hidupnya dan memutus rantai keterkaitan dengan narkoba. Edukasi ini dapat dilakukan secara bersama Pemerintah dan ormas/yayasan yang peduli dengan masalah narkoba. Pemerintah, dalam hal ini Depkes dengan RSKO-nya, Depsos melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial-nya serta ormas dengan beragam program rehabilitasi edukatifnya dapat bersinergi dalam rangka mengurangi dampak pasca ketergantungan yang diderita para korban dan pelaku narkoba. Disini peran relawan juga memegang peran penting sebagai pendamping (asistensi) bagi mereka yang membutuhkan tempat berkonsultasi terhadap problema kenarkobaan.

Edukasi Moralitas
Maraknya gejala narkoba dikalangan usia muda patut pula menjadi perahtian serius semua pihak. Tahun 2004, Badan Anti Narkotika PBB (UNODC) mencatat dari 3,2 juta pengguna narkoba di Indonesia, 1,1 juta pemakai adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Ini menjadi catatan penting bahwa pasar terbesar yang menjadi korban jaringan narkoba adalah anak-anak bangsa usia produktif.

Banyak faktor yang menyebabkan kalangan muda ini terjerumus ke dalam lubang kehidupan narkoba antara lain kurangnya pendidikan moralitas keagamaan, kurangnya sosok teladan budi pekerti, pergaulan bebas, kemiskinan, brokenhome, dan lainnya. Pendidikan moralitas yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi ternyata belum mampu mengimbangi serbuan dan godaan para pelaku narkoba untuk menjerat pelajar dan mahasiswa. Moralitas yang diajarkan selama ini terkesan teoritis dan tidak menyentuk aspek kognitif dan spiritual secara utuh sehingga aplikasi dalam kehidupan mereka menjadi hal yang sulit diterapkan.

Namun dibalik kekurangan teknik pengajaran itu, pendidikan moralitas tetap menjadi prioritas penting bagi penyiapan mental, budi pekerti dan kepedulian kepada hal-hal positif. Dukungan keluarga juga menjadi hal utama untuk mendorong terciptanya sosok-sosok manusia yang lebih humanis melalui keteladanan sikap dan tingkah laku. Di sekolah dan perguruan tinggi pendidikan moralitas akan lebih memiliki daya membumi manakala moralitas diajarkan sebagai suatu hal yang nyata dan penting dalam kehidupan sehari-hari anak didik. Jika pendidikan moralitas seperti ini terus diupayakan, yang dimulai dari keluarga sebagai unit terkecil, dan juga didorong oleh tokoh-tokoh agama, maka peredaran bahaya narkoba di lingkungan kita dapat diatasi atau minimal berkurang.

Mungkin ada baiknya kita merenungi pesan hari Antimadat se-Dunia 2008 yang dikampanyekan BNN yang berbunyi “Jauhkan Narkoba dari Kehidupan dan Lingkungan Kita”. Ini seharusnya menjadi spirit kuat bagi kita bersama untuk mengatakan TIDAK kepada narkoba, sampai kapanpun.

Sumber : Harian TERBIT, 9 Juli 2008
Selengkapnya...

Jumat, 05 September 2008

Ifthor Jama'i Zuber Safawi

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kepada semua teman2 yang ingin hadir, Ustadz Zuber mau ngadain Ifthor buat teman2 undip atau teman2 semarang yang sekarang ada di Jakarta.
Pelaksanaannya :

Hari/Tanggal : Ahad, 7 September 2008
Jam : 16.00 - Selesai
Tempat : SDIT Insan Mandiri Jl. Batu Merah No. 71 RT 002 RW 02 Pejaten Timur, Pasar Minggu (Peta Terlampir)

bagi yang ingin datang, silahkan konfirmasi ke Ery Pamungkas 08170568823 atau Ahmad Mudzaffar 081381308766.
Tolong teman2 yang lain di beritahu yah.... ^_^v

Terima kasih,
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Batu Merah2

Batu Merah Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda