Rabu, 25 Februari 2009

Desa Siaga, Antara Harapan Dan Kenyataan

Dalam rangka mewujudkan visi "Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat" dengan misi "Membuat Rakyat Sehat", Departemen Kesehatan telah membuat kebijakan "Pengembangan Desa Siaga" melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 546/Menkes/SK/VIII/2006 tanggal 2 Agustus 2006.

Diharapkan pada akhir tahun 2008, lebih kurang 70.000 desa di Indonesia telah menjadi desa siaga. Untuk tahun 2006 ditarget sebanyak 12 ribu telah menjadi desa siaga. Realistiskah kebijakan tersebut ? Ada beberapa hal yang harus dikritisi mengenai pengembangan desa siaga ini :
  1. Kriteria suatu desa telah menjadi desa siaga adalah sekurang-kurangnya desa tersebut telah memiliki Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Tidak jelas apakah cukup keberadaan sarana fisik (bangunan dan alat kesehatan) saja sehingga desa tersebut sudah masuk kategori desa siaga atau tidak hanya cukup keberadaan sarana fisik saja tetapi juga kegiatannya berjalan dengan baik baru desa tersebut dikategorikan desa siaga.
  2. Jika hanya sarana fisik yang menjadi indikator, maka cukup beralasan jika depkes menetapkan target desa siaga untuk 2006 adalah 12.000 desa telah menjadi desa siaga, karena salah satu alternatif pembangunan sarana fisik poskesdes adalah mengembangkan Pondok Bersalin Desa (Polindes) yang telah ada menjadi poskesdes. Menurut data BPS hasil Susenas 2005 bahwa dari 69.957 desa ada 26.455 desa (38%) yang telah memiliki polindes. Artinya secara fisik target tersebut telah dilampaui. Namun sayangnya tidak ada data dari jumlah polindes yang ada tersebut bagaimana kondisi bangunannya, apakah rusak berat, rusak ringan, bagaimana peralatannya, bagaimana keberadaan bidannya, padahal justru informasi ini yang sangat penting untuk diketahui agar perencanaan desa siaga benar-benar akurat. Apalagi jika penilaian indicator desa siaga mencakup berfungsi tidaknya poskesdes (indikator input + indikator proses), maka target tersebut sulit tercapai.
  3. Jika melihat tenaga kesehatan yang akan menyelenggarakan poskesdes yaitu bidan, tampaknya pelayanan kuratif akan tetap mengambil porsi yang lebih besar dari pada promotif dan preventif karena bidan diberikan wewenang untuk melaksanakan pelayanan medis dasar di poskesdes. Disisi lain, jika merujuk kepada UU No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Indonesia pasal 73 :
1) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

2) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.Artinya tenaga kesehatan (bidan atau perawat) diberikan kewenangan untuk melaksanakan pelayanan medis dasar namun peraturan perundangannya belum ada.

4). Jika fungsi poskesdes lebih diprioritaskan untuk peningkatan upaya promotif dan preventif serta membangun kemandirian masyarakat maka tidak cukup dengan tenaga seorang bidan saja untuk menghadle kegiatan-kegiatan poskesdes, tetapi harus melibatkan ahli gizi, kesehatan masyarakat, sanitarian yang langsung terjun ke masyarakat.

5). Untuk memandirikan masyarakat agar hidup sehat tergantung sejauh mana petugas kesehatan berinteraksi langsung dengan masyarakat atau lebih dikenal kunjungan rumah. Kegiatan kunjungan rumah sebenarnya sudah ada di puskesmas, tetapi selama ini kegiatan puskesmas lebih difokuskan kepada pelayanan dalam gedung saja.

6). Revitalisasi puskesmas maupun posyandu yang sudah digulirkan dua tahun belakangan ini hendaknya tidak hanya memperbaiki atau membangun gedung puskesmas serta peningkatan alat kesehatannya, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana program-program puskesmas tersebut bisa berjalan dengan baik. Artinya sejauh mana pemerintah konsen terhadap peningkatan kinerja tenaga kesehatan mulai dari pusat sampai puskesmas.

Agar pengembangan desa siaga dapat berjalan efisien dan efektif, maka ada beberapa hal yang penting dilakukan oleh depkes, antara lain :
  1. Membenahi / updating data kondisi polindes, posyandu beserta peralatannya termasuk keberadaan tenaga kesehatannya. Dari data tersebut diharapkan akan ada informasi berapa polindes yang sarana fisiknya masih baik, berapa yang rusak berat atau rusak ringan, berapa polindes yang masih ada bidannya, dan seterusnya sehingga ketika merencanakan anggarannya pun mempunyai dasar yang jelas.
  2. Pemerintah seharusnya sudah membuat peraturan perundangan yang memberikan kewenangan kepada tenaga kesehatan (bidan dan perawat) untuk melaksanakan pelayanan medis dasar.
  3. Agar pelayanan promotif dan preventif lebih diprioritaskan dengan tidak mengabaikan pelayanan kuratif, maka diperlukan tenaga ahli kesehatan masyarakat (SKM) untuk me-menej pos kesehatan desa agar berfungsi dengan baik disamping tenaga bidan atau perawat.
http://fpks-dpr.or.id/main.php?op=isi&id=2445&kunci=40
tanggal 12 Desember 2006
Selengkapnya...

Rabu, 18 Februari 2009

Perempuan dan Pembangunan Kesehatan

Di era modern seperti sekarang ini, ruang ekspresi menjadi sangat terbuka, termasuk bagi kaum perempuan. Selain peran domestik dalam keluarga, peran sosial, politik dan kemasyarakatan sudah sangat dijalankan kaum perempuan. Ini bukti bahwa semangat kemandirian dan kesetaraan peran yang digagas sejak Kongres Perempuan Indonesia 22 Desember 1928 lalu sudah terimplementasi dengan baik. Tanggal yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu tersebut menjadi momentum kebangkitan kaum perempuan secara struktural dan organisasional.

Secara ide cita-cita kaum perempuan ini sebenarnya sudah lama bergaung. Sejak awal abad ke-20 para tokoh seperti RA Kartini, Dewi Sartika, Rangkayo Rasuna Said, Cut Nyak Dhien telah menularkan kesadaran tentang pentingnya peran kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Peran inilah yang sekarang telah dijalani oleh banyak kaum perempuan di negeri ini.

Kini kita tak lagi sulit menemukan kaum perempuan yang menjadi politisi, akademisi, direktur perusahaan, bahkan sopir dan kondektur angkutan umum. Ini menandakan interaksi perempuan yang makin luas. Hal ini tentu saja memberikan tuntutan yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk menjadi solusi atas permasalahan yang ada.

Perempuan sekarang dituntut untuk mampu menjalankan perannya sebagai istri yang harus bekerja sama dengan suami untuk membangun rumah tangga yang harmonis. Ia juga harus berperan sebagai ibu yang melahirkan, mengasuh dan mendidik anak yang kelak jadi penerus bangsa. Di saat yang sama ia juga harus mampu berperan sebagai pendukung ekonomi keluarga di samping peran-peran sosial dan lingkungan yang kini juga melekat pada kaum perempuan.

Tak heran jika dalam Millenium Development Goals (MDGs/Tujuan Pembangunan Milenium) yang dikeluarkan oleh Komisi Sosial Ekonomi untuk Asia dan Pasifik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN ESCAP) banyak menyasar pada kaum perempuan. Ada delapan sasaran yang harus dicapai oleh negara-negara yang meratifikasi MDGs, yaitu penghapusan kemiskinan dan kelaparan ekstrem; pendidikan dasar untuk semua; mempromosikan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan; menurunkan angka kematian anak; memperbaiki kesehatan ibu hamil; menghentikan penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lain; pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan; serta kemitraan global dalam perdagangan dan sistem keuangan.

Dari delapan sasaran tersebut, dua diantaranya langsung fokus pada permasalahan kaum perempuan. Sedangkan lima lainnya akan mungkin dicapai jika ada pelibatan kaum perempuan secara intens. Sebagai salah satu dari 189 negara yang telah meratifikasi MDGs, maka Indonesia berkewajiban untuk memenuhi sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dalam MDGs.

Peningkatan kesehatan bagi dan oleh kalangan perempuan menjadi sangat penting dalam mencapai target MDGs. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang menjadi indikator bidang kesehatan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sangat ditentukan oleh kesehatan di kalangan perempuan. Dan, hingga kini kondisi kesehatan masyarakat kita (terutama kaum perempuan) masih sangat memprihatinkan.

Kualitas Kesehatan Rendah
Hingga saat ini AKI di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Tahun 2007 lalu AKI di Indonesia tercatat sebesar 248 per 100 ribu kelahiran. Hal yang tak jauh berbeda juga dengan AKB di tahun yang sama yang mencapai 26,9 per seribu kelahiran hidup. Padahal dalam MDGs ditargetkan pada tahun 2015 nanti AKI tidak lebih dari 104 per 100 ribu kelahiran.

Akibatnya, IPM Indonesia pun terpuruk di urutan ke-107 dari 177 negara. IPM Indonesia lebih rendah dari Vietnam yang berada di peringkat 105, Thailand (78), Malaysia (63), dan Singapura (25).

Tingginya AKI dan AKB di Indonesia bukan tanpa sebab. Keterbatasan akses terhadap makanan yang bergizi dan layanan kesehatan menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat kesehatan masyarakat Indonesia. Keterbatasan ekonomi sering menjadi penyebab masyarakat tak mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Demikian pula dengan layanan kesehatan yang hingga kini dirasakan amat mahal oleh sebagian masyarakat. Padahal gizi yang cukup dan pemeriksaan yang kesehatan yang teratur menjadi hal yang sangat berharga bagi masyarakat terutama bagi ibu hamil dan menyusui.

Tak heran jika selain tingginya AKI dan AKB, jumlah anak yang menderita gizi buruk pun cukup besar di negeri ini. Sekitar 27 persen balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Meski Departemen Kesehatan mencatat jumlah kasus gizi buruk terus mengalami penurunan, namun adanya kasus gizi buruk yang dialami calon generasi penerus ini sangat berbahaya bagi peningkatan kualitas pembangunan negeri ini.

Jika melihat lebih jauh terhadap rendahnya kualitas kesehatan masyarakat sekarang ini, maka tentu peran kaum perempuan menjadi sangat signifikan. Mengapa kaum perempuan? Karena perempuanlah yang biasanya mampu mengatur pola hidup dan pola konsumsi dalam keluarga. Jika ia mampu menciptakan pola hidup dan konsumsi yang sehat, maka AKI, AKB dan gizi buruk bisa ditekan ke level minimal.

Namun pada kenyataanya, justru masih banyak kaum perempuan yang belum memahami bagaimana menciptakan pola hidup dan konsumsi yang sehat. Hal ini terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan. Hal ini ditambah dengan minimnya pendidikan masalah kesehatan secara informal di masyarakat. Padahal jika melalui jenjang pendidikan formalpun, pendidikan tentang kesehatan dan pola konsumsi sehat ini tidak pernah diberikan secara khusus. Dalam kurikulum Sekolah Dasar misalnya, tak ada yang benar-benar fokus membahas masalah ini. Padahal masih banyak masyarakat yang hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat ini. Akibatnya, banyak remaja putri yang kemudian menjadi istri dan mengelola rumah tangga tak paham masalah kesehatan dan pola konsumsi yang baik. Banyak keluarga yang belum tahu bagaimana mengelola rumah tangga yang sehat dan pola konsumsi yang berkualitas.

Kasus gizi buruk maupun kematian pada bayi dan ibu melahirkan tidak semata-mata karena faktor ekonomi yang menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan terhadap akses gizi yang baik dan pelayanan kesehatan, namun tak jarang disebabkan ketidaktahuannya terhadap masalah ini. Kasus gizi buruk tak hanya terjadi di kalangan masyarakat kurang mampu, tak sedikit keluarga yang mapan secara ekonomi juga mengalami hal tersebut.

Banyak yang beranggapan bahwa makanan yang mahal dan enak sudah mencukupi. Padahal hal tersebut tak sepenuhnya benar, pola konsumsi dan kandungan gizi makanan yang tak tepat pun bisa menyebabkan kasus gizi buruk pada balita, juga terganggunya kesehatan ibu hamil dan janinnya. Sebaliknya, dengan pengetahuan yang baik tentang masalah kesehatan, seorang ibu bisa menyiapkan makanan yang sehat tanpa harus mengeluarkan uang terlalu banyak.

Peran Perempuan
Kembali ke semangat perjuangan kaum perempuan yang selalu direfleksikan dalam setiap peringatan Hari Ibu, juga Hari Kartini, yaitu perluasan peran kaum perempuan. Maka sesungguhnya kaum perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam pembangunan tanpa harus meninggalkan fungsi domestiknya sebagai ibu rumah tangga. Justru di situlah sebenarnya kunci permulaan peran kaum perempuan.

Kasus kematian bayi dan ibu melahirkan serta gizi buruk, sesungguhnya bisa dicegah melalui program yang terarah dan terencana yang melibatkan kaum perempuan sebagai subjeknya. Selama ini pembangunan kesehatan berbasis mayarakat yang gerakkan melalu posyandu telah berhasil meningkatkan taraf hidup kesehatan masyarakat. Bahkan program yang banyak dimotori oleh kaum ibu ini dijadikan rujukan oleh negara lain untuk mengembangkan sistem layanan kesehatannya.

Sayangnya, program ini sempat layu. Tak sedikit posyandu yang tinggal papan nama, kegiatannya tak lagi terlihat. Namun sejak 2006 lalu Departemen Kesehatan telah memprogramkan Desa Siaga, sebuah program peningkatan kesehatan berbasis masyarakat. Melalui program ini, selain merevitalisasi posyandu yang sempat terbengkalai, masyarakat didorong untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan.

Dan yang lebih penting, program ini tak lepas dari peran perempuan. Subjek dan objek program ini lebih banyak kepada kaum perempuan. Peningkatan kesehatan keluarga, ibu hamil dan menyusui, balita dan anak akan melibatkan banyak kaum perempuan dalam pelaksanaannya. Nantinya diharapkan melalui program ini kaum ibu mampu melaksanakan pelayanan kesehatan dasar secara mandiri dan meningkatkan kesehatan lingkungan serta pencegahan terhadap wabah penyakit yang kemungkinan terjadi.

Mungkin jika melihat langsung kegiatannya, tentu jauh dari kesan “berkelas” dan glamour yang sering dibayangkan jika orang berbicara emansipasi dan peran kaum perempuan dalam pembangunan. Tak seperti bussiness woman atau politisi perempuan yang sering diidentikkan sebagai perwujudan semangat hari ibu. Tapi kegiatan sehari-hari yang tak lepas dari perannya sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai anggota masyarakat.

Tapi percayalah melalui peran inilah pembangunan bangsa menciptakan manusia yang berkualitas bisa dilakukan secara paripurna.

Sumber : Republika, 22 Desember 2008



Selengkapnya...

Menanti Realisasi Anggaran Kesehatan

Pada peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) pada 12 Nopember lalu, kita kembali disinggung tentang pembangunan kesehatan berdasarkan Visi Indonesia Sehat 2010. Sebuah konsep pembangunan di bidang kesehatan yang disusun pada 26 Oktober 1998 oleh Menteri Kesehatan Achmad Sujudi. Konsep ini kemudian dicanangkan oleh Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai arah pembangunan di bidang kesehatan.

Penetapan 50 indikator teknis pada tahun 2003, menjadikan visi pembangunan di bidang kesehatan ini memang layak untuk dijadikan patokan. Tapi hingga dua tahun menjelang 2010, standar keberhasilan visi 2010 tersebut tampaknya masih jauh dari pencapaian. Ambil saja contoh ketersediaan tenaga kesehatan, dalam visi Indonesia Sehat 2010, rasio dokter per 100 ribu penduduk adalah 40, dokter gigi 11, dan bidan 100.

Namun dalam paparan Menteri Kesehatan dalam rapat terbatas bidang kesehatan dengan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 13 Juni 2007, ketersediaan tenaga kesehatan masih jauh dari apa yang diharapkan. Rasio dokter umum per 100 ribu penduduk baru mencapai 19,93, dokter gigi 5,05, dan bidan 35,40.

Angka ini tersebut tentu masih jauh dari target yang dicanangkan. Menurut Menteri Kesehatan, dalam sambutannya pada Hari Kesehatan Nasional setahun yang lalu, salah satu kendala untuk mencapai target tersebut adalah pembiayaan kesehatan yang terbatas dan pengalokasiannya yang belum optimal.

Anggaran Minim
Memang jika melihat anggaran kesehatan negeri ini, jumlah yang dialokasikan pada sektor ini masih terbilang minim. Meski ada kenaikan anggaran kesehatan dari 5,8 triliun pada 2005 menjadi 16 triliun pada tahun 2008, dan dianggarkan menjadi 19,3 triliun untuk tahun 2009, angka tersebut tetap saja masih jauh dari standar yang seharusnya. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan anggaran kesehatan minimal 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Begitu pula jika berpatokan dengan Tap MPR No.5/2003 yang mengharuskan anggaran kesehatan mencapai angka 15 persen dari total anggaran. Jika total APBN untuk tahun 2009 sebesar 1.037,1triliun, maka setidaknya alokasi dana untuk anggaran kesehatan bisa mencapai sekitar 155,6 triliun.

Jika melihat perbandingan anggaran kesehatan negara-negara anggota ASEAN, Indonesia memang menjadi salah satu negara yang memiliki anggaran kesehatan paling kecil. Dalam WHO World Health Report 2006, persentase anggaran kesehatan Indonesia terhadap PDB adalah yang terkecil dibanding anggota ASEAN lainnya. Anggaran kesehatan Indonesia hanya 2,2 persen dari PDB, lebih rendah dari Birma (2,3), Filipina (3,3), Singapura (3,4), Thailand (3,5), Laos (3,6), Malaysia (4,3), Kamboja (6,0), dan Vietnam (6,6). Alhasil dana yang dialokasikan untuk kesehatan setiap penduduk Indonesia (anggaran kesehatan per kapita) tak lebih dari 34 dolar AS pertahun, jauh di bawah Malaysia yang anggaran kesehatan per kapitanya mencapai 255 dolar AS, apalagi Singapura (1.035 dolar AS).

Meski demikian, minimnya anggaran kesehatan tersebut tidak menjadi alasan untuk bersikap pesimistik. Dengan arah yang jelas dan upaya yang sunguh-sungguh Visi Indonesia Sehat 2010 bukanlah sebuah kemusykilan untuk diwujudkan. Hanya saja dengan anggaran kesehatan yang serba terbatas, menjadikan sebagian penduduk ada yang sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Masyarakat dengan penghasilan pas-pasan tentu berisiko tidak mendapatkan layanan kesehatan yang layak akibat tingginya biaya kesehatan. Secara tidak langsung hal tersebut akan menghambat pencapaian target pembangunan di bidang kesehatan. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan kasus gizi buruk sebagian besar terjadi pada golongan masyarakat yang secara ekonomi berpenghasilan pas-pasan.

Jaminan Kesehatan
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus memprioritaskan pembangunan kesehatan untuk masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi. Oleh karena itu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat berdasar sistem asuransi harus segera diwujudkan. Apalagi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagai lembaga pengatur pelaksanaan sistem ini sudah terbentuk.

Berdasarkan Sistem Jaminan Sosial yang diatur dalam UU No. 40 tahun 2004, seluruh warga negara akan mendapatkan jaminan sosial dalam bentuk asuransi. Bagi masyarakat kurang mampu, premi asuransinya ditanggung oleh negara. Dengan sistem seperti ini, setiap warga negara tidak akan lagi dipusingkan dengan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Sehingga layanan kesehatan yang layak tidak hanya jadi monopoli kalangan masyarakat kelas atas.

Optimalisasi pelaksanaan UU No. 40/2004 ini menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat mengingat masalah kemampuan ekonomi menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Selain itu, ketersedian sarana kesehatan yang memadai juga menjadi salah satu prasyarat peningkatan kualitas layanan kesehatan.

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mencatat jumlah rumah sakit pada tahun 2005 sebanyak 1.268 unit. Sebanyak 626 unit dikelola oleh pihak swasta, hanya 452 unit yang dikelola pemerintah (Depkes dan Pemda). Selebihnya dikelola TNI dan Polri (112 unit), serta BUMN dan departemen lain (78 unit). Jumlah tersebut jauh dari memadai untuk melayani masyarakat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa. Terlebih, penyebarannya tidak merata, sebagian besar rumah sakit tersebut berada hanya di kota-kota besar.

Untuk mengatasi kelangkaan tersebut, mau tidak mau penambahan rumah sakit pemerintah harus menjadi opsi yang wajib dilaksanakan. Terutama di daerah-daerah yang selama ini jauh dari jangkauan layanan kesehatan.

Tak hanya itu, peningkatan kapasitas rumah sakit pemerintah juga harus menjadi prioritas pengembangan dalam jangka pendek ini. Penambahan daya tampung pasien, peningkatan kelengkapan sarana dan prasarana adalah hal yang harus diwujudkan untuk menampung membludaknya pasien, terutama di musim penyakit. Sehingga tak ada lagi cerita pasien yang dirawat di tempat yang tidak seharusnya, atau bahkan ditolak karena tak ada ruang untuk menampungnya.

Setidaknya dengan adanya jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, baik jaminan pendanaan melalui SJSN, maupun ketersediaan sarana kesehatan yang memadai dengan layanan yang layak, proses pengobatan dan rehabilitasi bagi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan tak lagi terhambat. Namun, sebuah negeri yang sehat seperti yang digagas dalam Visi Indonesia Sehat 2010 tidak hanya bisa dicapai dengan pendekatan kuratif dan rehabilitatif saja. Upaya yang terpenting adalah mencegah agar masyarakat tidak sakit dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat melalui pendekatan preventif dan promotif.

Tingginya angka gizi buruk yang mencapai 1,7 juta balita di awal 2007 lalu mungkin bisa ditekan menjadi lebih rendah dengan pendekatan kuratif. Namun, terganggunya pertumbuhan akibat kasus gizi buruk tersebut akan berpengaruh besar terhadap perkembangan kecerdasannya. Sebagaimana kita ketahui 80 persen perkembangan otak berlangsung pada usia balita. Perkembangannya sangat ditentukan oleh makanan yang dikonsumsinya. Zat gizi, seperti protein, zat besi, dan berbagai vitamin, termasuk asam lemak omega3, adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat tersebut bisa didapat dari makanan sehari-hari, seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya.

Di sinilah pentingnya pendekatan promotif dan preventif. Program posyandu dan sejenisnya adalah ujung tombak pendekatan ini. Sayangnya, sekarang sudah tidak lagi marak, akibat perhatian yang lebih banyak tersedot ke upaya penyehatan masyarakat yang sakit, termasuk dari sisi alokasi anggarannya.

Adalah hal yang bijak jika upaya peningkatan kesehatan ini menjadi hal yang diprioritaskan. Tidak semata-mata menekan agar angka gizi buruk tidak melambung tinggi, angka kematian bayi tidak , atau angka kematian ibu tidak meningkat, tapi lebih jauh dari itu, membangun masyarakat yang sehat dan terhindar dari penyakit. Prioritasnya sama seperti memprioritaskan pendidikan di negeri ini.

Mungkin kita harus melirik kembali standar WHO atau Tap MPR No.5/2003. Anggaran sebesar 5 persen dari total PDB atau 15 persen dari total APBN adalah investasi besar untuk membangun Indonesia masa depan. Apalah artinya anggaran pendidikan yang besar tanpa ditunjang oleh bahan baku berkualitas. Apalah artinya sekolah yang mentereng, fasilitas yang lengkap dan guru yang berkualitas, jika muridnya bodoh, loyo dan sakit-sakitan. Inilah saat yang tepat bagi pemerintah berkomitmen untuk merealisasikan politik anggaran kesehatan yang berpihak kepada rakyat. (*)

Sumber : Harian SUARA MERDEKA, 19 Desember 2008



Selengkapnya...

Hikmah Kasus Susu Melamin

Beberapa hari menjelang Idul Fitri kemarin, kita dikejutkan oleh penemuan kasus susu mengandung melamin asal China. Ibarat pepatah, karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga. Demikian pulalah yang terjadi di negeri tirai bambu itu. Susu yang umumnya memiliki manfaat yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan berubah menjadi penyebab penyakit. Tak kurang dari 10.000 bayi dan anak-anak di China mengalami sakit dan menjalani perawatan medis akibat minum susu yang mengandung nila alias melamin itu. Sungguh mengenaskan.

Melamin, zat yang biasa digunakan sebagai bahan pembuat plastik, pupuk dan pembersih ini yang ditambahkan sebagai pengental dan penambah kadar protein pada produk susu. Penambahan melamin ini dipercaya akan meningkatkan kadar nitrogen dalam susu yang menjadi indikator kandungan protein dalam produk makanan.

Pencampuran susu dengan melamin ini berakibat fatal. Diperkirakan saat ini, ribuan bayi yang mengonsumsi susu bermelamin menderita gagal ginjal akut. Beberapa di antaranya dilaporkan meninggal dunia. Kandungan melamin yang termasuk kategori logam berat dalam konsentrasi tertentu menyebabkan zat ini tidak bisa diuraikan oleh tubuh. Akibatnya terjadi penumpukan di ginjal yang kemudian menyebabkan terbentuknya batu ginjal dan kerusakan fungsi organ tubuh lainnya.

Masalahnya susu melamin ini menjadi semakin besar karena produk susu China dan produk turunannya tersebut tersebar pula ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia. Tentu, jika produk tersebut dikonsumsi bayi-bayi di Indonesia, maka peristiwa seperti di negeri tirai bambu pun berpotensi terjadi di Indonesia. Apalagi, beberapa produk makanan yang berbahan susu dan produk turunan dari China tersebut cukup familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Produk-produk makanan tersebut masuk melalui jalur impor resmi, tapi tak sedikit pula yang tak jelas prosedurnya. Yang jelas produk tersebut telah beredar luas, baik di pasar tradisional maupun di gerai-gerai belanja modern.

Seperti juga negara lain, pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) dan Depertemen Kesehatan mengumumkan 28 jenis produk yang mengandung susu dari China. Produk-produk tersebut mulai ditarik dari peredaran. Pemerintah juga menganjurkan kepada masyarakat untuk mengonsumsi produk makanan berkode MD (makanan produksi dalam negeri). Sementara makanan berkode ML (makanan luar), apa lagi yang berasal dari China, harus dihentikan peredarannya.

Tapi apakah ada jaminan makanan berkode MD lebih aman? Masih belum lepas dari ingatan kita ketika terjadi kasus susu formula yang tercemar bakteri Entero sakazakii beberapa waktu lalu. Belum lagi, kasus tahu dan ikan yang diawetkan dengan menggunakan formalin yang sering kali terjadi. Atau kasus makanan kadaluarsa dan daur ulang dari bahan yang tak layak untuk dikonsumsi.

Dari kasus-kasus tersebut, kesimpulan yang bisa kita ambil pun kemungkinan takkan jauh berbeda. Tidak ada jaminan bahwa makanan produksi dalam negeri lebih aman. Laporan dari Balai POM Semarang pada Bulan Juli 2007 menyebutkan 28,15 persen dari 1.600 sampel makanan yang ada di Semarang tidak layak untuk dikonsumsi. Makanan-makanan tersebut mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan.

Standar Kesehatan Minim
Tingginya angka makanan yang tidak layak konsumsi ini berkait erat dengan minimnya penerapan standar kesehatan produk pangan yang telah diatur oleh pemerintah sesuai Undang-undang no. 7/1996 tentang Perindungan Pangan. Hal ini ada hubungannya dengan perkembangan industri rumah tangga beberapa waktu terakhir ini. Beberapa di antaranya memang sama sekali tak menerapkan standar sesuai aturan yang berlaku. Namun, bukan berarti industri makanan skala besar bebas dari hal semacam ini. Meski pengawasannya lebih ketat, ada saja produk makanan dari perusahaan besar yang setelah diteliti ulang ternyata tidak layak untuk dikonsumsi.

Seringkali para produsen pangan itu berdalih dengan alasan tuntutan ekonomi. Produsen tahu dan ikan menggunakan formalin agar produknya lebih awet. Di samping penggunaan formalin bisa menghemat biaya jika dibandingkan jika ia harus menggunakan es untuk mengawetkannya. Prinsip ekonomi berlaku di sini. Semakin rendah biaya produksi bisa ditekan, maka itu akan semakin baik karena keuntungan yang bisa diperoleh pun akan semakin banyak.

Tak heran, jika kasus produk pangan yang bermasalah ini sering muncul pada momen peningkatan angka konsumsi, misalnya pada bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, natal dan tahun baru, juga pada momen-momen perayaan lainnya. Tapi tidak berarti pula di luar momen-momen tersebut, produk-produk yang beredar di pasaran semuanya aman untuk dikonsumsi. Faktanya sering ditemui produk pangan yang sudah kadaluarsa masih dijajakan penjual. Tidak hanya di pasar tradisional, di gerai-gerai perbelanjaan modern yang seharusnya lebih ketat dalam pengawasan dan standar keamanan, hal ini sering terjadi.

Edukasi Pangan
Ini semua menjadi indikator bahwa tingkat keamanan produk pangan di Indonesia masih rendah sehingga perlu ada upaya-upaya serius untuk menjamin makanan yang kita konsumsi aman dan menyehatkan. Lebih jauh lagi, makanan yang halalan thayyiban, makanan yang halal lagi baik.

Upaya ini harus melibatkan banyak pihak, mulai dari Departemen Kesehatan (Depkes), Balai POM, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag), Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga masyarakat itu sendiri. Masing-masing pihak menjalankan perannya sesuai dengan fungsinya masing-masing tapi dengan satu tujuan: menyelenggarakan perlindungan kepada masyarakat dari produk-produk yang tak layak konsumsi, sebagaimanan tercantum dalam pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No.32 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa, “Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan”.

Peran ini harus dijalankan secara sinergis di antara unsur yang ada. Depkes harus secara aktif melakukan edukasi dan penanaman arti penting kesehatan kepada masyarakat, baik konsumen maupun yang bertindak sebagai produsen. Sehingga muncul kesadaran untuk tidak mengejar keuntungan ekonomi dengan mengorbankan kesehatan sebagian anggota masyarakat yang lain.

Sebab, disadari atau tidak, maraknya produk makanan yang tak layak konsumsi selain disebabkan oleh ketidaktahuan untuk mengolah makanan sehat, faktor ketidakpedulian terhadap dampak akibat tindakan untuk memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kesehatan orang lain pun cukup dominan. Hal ini harus diikuti oleh langkah-langkah penegakan hukum (law enforcement) bagi para pelaku dengan mempertimbangkan efek jera dan unsur pendidikan. Sehingga para pelaku tak akan mengulangi perbuatannya.

Di sisi lain Balai POM harus aktif melakukan pengawasan dan pengujian terhadap produk-produk makanan yang beredar, termasuk yang berasal dari luar negeri. Kerja sama dengan Deperindag, untuk memantau produk-produk impor termasuk standar komposisi bahan pembuat produk menjadi sangat penting. Jangan sampai produk makanan sudah lebih dulu beredar tanpa melalui proses pengujian dan rekomendasi dari dua badan ini.

MUI sebagai otoritas yang bisa memberika fatwa halal dan haram, juga harus aktif bekerja sama mengawasi produk-produk pangan yang ada. Agar makanan yang beredar tak hanya memenuhi kriteria kesehatan jasmani saja, kesehatan rohani pun perlu dengan adanya jaminan kehalalan produk. Makanan-makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat umum harus didorong untuk lolos uji kehalalan yang ditandai dengan sertifikat halal.

Dan terakhir, masyarakat sebagai pengguna akhir produk pangan, dituntut untuk bersikap kritis terhadap produk makanan yang ada. Daftar kandungan bahan makanan seperti yang disyaratkan bukan sekadar penghias kemasan, tapi sebagai bahan acuan untuk memilih makanan. Jika ada yang tak sesuai, atau ada kandungan yang membahayakan, maka secara aktif masyarakat harus menyampaikannya baik kepada produsen, penjual, pemerintah, maupaun ke lembaga-lembaga konsumen.

Hal ini harus diimbangi dengan keterbukaan pihak produsen atau penjual terhadap komplain atau masukan terhadap produknya. Inilah yang nampaknya yang masih jarang di negeri ini, bahkan cenderung sebaliknya. Lihat saja bon belanja dari toko-toko yang sering menuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan lagi”. Mungkin harus ada aturan yang menjamin konsumen dari hal-hal semacam ini.

Akhirnya, semuanya akan kembali kepada kita semua. Apabila kita serius dengan diri kita untuk mengawasi produk pangan yang bermutu, mengajak orang lain dan menuntut lembaga-lembaga berwenang untuk melaksanakan fungsinya, insya Allah negeri ini akan terhindar dari produk-produk pangan yang membahayakan. Semoga kasus susu China ini menjadi hikmah besar bagi bangsa ini untuk meningkatkan awarness terhadap keamanan produk pangan tanpa kecuali. Jangan sampai ada lagi racun dalam setiap teguk susu yang dikonsumsi khususnya oleh anak-anak dan cucu kita.

Wallahu a’lam bisshawab.

Sumber : Harian TERBIT, 15 Oktober 2008
Selengkapnya...

Mencari Solusi Problem Tenaga Kesehatan

Salah satu aspek penting dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) tenaga kesehatan. Problem SDM kesehatan terutama dokter, bidan dan perawat di Indonesia saat ini adalah jumlah yang tidak memadai dan distribusi yang tidak merata. Hal ini berdampak terhadap kualitas dan aksesbilitas layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Kasus mewabahnya penyakit kolera di Nabire pada Juli 2008 misalnya, karena masyarakat tak mampu menjangkau layanan kesehatan secara cepat karena jaraknya yang relatif jauh dan sulit.

Penyediaan tenaga kesehatan harusnya menjadi tugas dan target utama pemerintah sebagai komitmen pelaksanaan pasal 28 UUD 1945. Jika kesehatan menjadi hak asasi bagi tiap warganegara maka pemerintah harus memenuhi kewajibannya termasuk penyediaan tenaga kesehatan. Kebutuhan mendesak tenaga kesehatan terutama sangat dibutuhkan oleh daerah terpencil, tertinggal dan wilayah perbatasan (dacilgaltas). Ini dapat terlihat dari data Depkes 2006, dari 364 puskesmas di daerah dacilgaltas yang tersebar di 64 kabupaten pada 17 provinsi, 184 puskemas (51 persen) belum memiliki dokter. Ini tentu memprihatinkan mengingat kebutuhan kesehatan yang kian meningkat.

Peningkatan Kuantitas
Ketersediaan tenaga kesehatan memang harus diakui jauh dari ideal. Dari data Departemen Kesehatan (Depkes) hingga tahun 2006 jumlah tenaga medis (dokter spesialis, umum dan gigi) tercatat 68.227 orang, bidan 79.152 orang dan perawat 316.306 orang. Depkes mentargetkan hingga tahun 2010 nanti jumlah kebutuhan SDM tenaga dokter adalah 117.969 orang, bidan 176.954 orang dan tenaga keperawatan 587.487 orang. Selain itu Depkes juga memprediksi kebutuhan tenaga kesehatan masyarakat 42.649 orang, dan tenaga gizi 42.469 orang.

Sejatinya problem kekurangan dan ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan ini mesti disikapi dengan program-program signifikan dari pemerintah dalam hal ini Depkes. Masalah ini harus diawali dengan pemetaan kebutuhan tenaga medis yakni dokter, bidan dan perawat dalam jangkah pendek, menengah dan panjang. Perencanaan waktu ini perlu dilakukan agar target-target pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan dapat dievaluasi secara mudah dan terpadu.

Langkah berikutnya yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan memperbanyak pendirian pusat-pusat pendidikan berbasis kesehatan seperti fakultas kedokteran, akademi kebidanan, akademi keperawatan, sekolah analis kesehatan dan sebagainya. Upaya pendirian pusat pendidikan ini akan lebih baik jika tersebar ke berbagai wilayah Indonesia sehingga akan lebih mudah diserap dan dirasakan manfaatnya oleh daerah-daerah yang minim tenaga kesehatan.

Srategi percepatan jumlah tenaga kesehatan ini juga bisa dilakukan dengan membuat regulasi-regulasi yang memudahkan lembaga pendidikan dan pemerintah daerah tanpa harus mengurangi ketentuan standar kualitas untuk membuka kelas-kelas kesehatan. Sehingga dengan regulasi yang mudah akan dapat mendorong lembaga pendidikan dan Pemda dalam mendidik dan melatih tenaga-tenaga kesehatan yang nantinya akan berdampak pada semakin bertambahnya lulusan tenaga kesehatan terutama di daerah-daerah yang selama ini kekurangan SDM kesehatan.

Peningkatan kuantitas SDM kesehatan dapat juga dilakukan dengan memberikan beasiswa bagi siswa-siswa berpotensi agar mau melanjutkan studinya pada bidang kesehatan. Beasiswa ini dapat memicu semangat siswa-siswa khususnya siswa-siswa dari kalangan menengah bawah di berbagai daerah untuk mau mengikuti studi kesehatan. Sehingga diharapkan SDM kesehatan akan terus tumbuh pesat yang akhirnya nanti dapat mendukung upaya pemerintah dalam penyiapan tenaga kesehatan yang selama ini masih minim.

Pemerataan SDM Kesehatan
Selain jumlah kuantitas SDM yang belum memadai, masalah kesehatan yang juga harus diselesaikan adalah masalah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Sebagian besar tenaga kesehatan banyak terfokus di pulau Jawa dan daerah-daerah perkotaan sehingga menyulitkan masyarakat yang berada di daerah pedesaan dan daerah terpencil lainnya untuk mengakses layanan kesehatan. Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong agar tenaga kesehatan khsususnya dokter dan bidan desa bersedia ditempat di deaerah minim tersebut namun hingga kini masih banyak daerah di Indonesia yang mengalami defisit SDM kesehatan ini.

Pemerintah dalam hal ini Depkes memang harus bekerja keras menyiasati pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan terutama bagi daerah cilgaltas (terpecil, tertinggal dan perbatasan). Upaya pemberian insentif bagi dokter, bidan desa, perawat dan tenaga kesehatan lainnya bisa menjadi alternatif Pemerintah untuk merangsang SDM kesehatan ini untuk bersedia ditempatkan di daerah dacilgaltas. Besaran insentif ini tentu harus dilakukan secara proporsional sehingga disatu sisi merangsang para tenaga kesehatan untuk siap mengabdi, disisi lain juga ada kemampuan dana yang cukup dari pemerintah.

Upaya lain untuk pemerataan tenaga kesehatan ini adalah dengan mengintensifkan kembali program-program pengabdian oleh tenaga kesehatan seperti program wajib profesi dan program PTT bagi dokter-dokter baru. Kebutuhan tenaga dokter PTT menjadi sangat penting mengingat masyarakat pada daerah-daerah terpencil dan sangat terpencil karena disparitas regional dan pelbagai permasalahan lainnya, didominasi oleh masyarakat yang serba berkekurangan dengan tingkat ekonomi dan kesehatan yang rendah dan miskin. Sehingga diharapkan kehadiran dokter PTT dapat mengatasi problem rentan terhadap berbagai macam penyakit yang dialami masyarakat karena kondisi yang serba terbatas seperti kurang gizi, kurang pengetahuan kesehatan, perilaku kesehatan kurang baik, dan lingkungan pemukiman yang buruk.

Kehadiran dokter PTT juga diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan dan mengurangi angka kematian bayi di komunitas masyarakat miskin di daerah cilgaltas. Hingga kini angka kematian bayi pada kelompok masyarakat miskin 3,5 - 4 kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Sehingga upaya Depkes mengirimkan 736 tenaga dokter PTT ke berbagai wilayah terpencil dan sanagt terpecil pada awal September 2008 ini patut didukung semua pihak. Ini bukan saja menegaskan komitmen pemerintah dalam melayani kesehatan masyarakat secara merata tetapi juga untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal.

Selain jumlah dan distribusinya yang tidak merata, problem tenaga kesehatan dibayangi pula masalah kualitas dan kompetensi. Peningkatan kualitas dan kompetensi ini menjadi lebih penting saat dunia kesehatan memasuki situasi global yang memungkinkan terjadi persaingan. Kualitas menjadi titik penting bagi peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat. Tanpa kualitas memadai sulit rasanya kita mengharapkan terjadi perubahan terhadap indeks kesehatan masyarakat. Maka upaya untuk terus mencetak tenaga kesehatan yang berkualitas, baik itu dokter, bidan, dan perawat harus menjadi prioritas utama pemerintah. Uji sertifikasi, uji kompetensi, pelatihan, magang, tugas lapangan dan lainnya bisa menjadi alat pengukur tentang seberapa jauh kualitas dan kompetensi tenaga kesehatan.. Selain itu pengakuan terhadap profesi tenaga kesehatan seperti perawat misalnya akan menjamin kenyamanan dan kualitas kerja dari SDM kesehatan tersebut.

Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan juga harus menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah terutama Direktorat PSDM Depkes. Kompetensi tenaga kesehatan perlu terus ditingkatkan melalui serangkaian kursus, pelatihan studi banding dan sejenisnya sehingga mereka mampu melakukan tugas-tugas layanan kesehatan secara memadai, aplikatif dan sistematis sesuai perkembangan teknologi dunia kesehatan. Jika kuantitas dan distribusi tenaga kesehatan yang berkualitas dan kompeten ini terus dimonitoring secara intensif oleh Pemerintah maka diyakini akan terjadi peningkatan derajat pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pertumbuhan dan persebaran tenaga kesehatan yang merata harus selalu disertai upaya peningkatan kualitas dan kompetensinya. Mungkin dengan strategi ini harapan masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan secara mudah, merata dan berkualitas dapat tercapai.

Wallahu a’lam.

Sumber : Harian WAWASAN, 22 September 2008



Selengkapnya...

Mewujudkan Pendidikan Sekolah Murah

LONJAKAN pengeluaran di bulan Juli dan Agustus ini kerap menjadi bahan obrolan. Bukan hanya naiknya harga sembako yang membuat pengeluaran meningkat tajam, tetapi munculnya pos pengeluaran baru, biaya pendidikan. Maklum, bulan Juli hingga Agustus adalah tahun ajaran baru bagi para pelajar di Indonesia.
Pada bulan tersebut para orang tua harus mengeluarkan biaya untuk memasukkan anaknya ke sekolah, daftar ulang, juga membeli kebutuhan penunjang pendidikan. Jumlahnya tidak sedikit. Sehingga tak jarang obrolan yang berkembang di kalangan orang tua berujung pada keluhan.

Di satu sisi, banyaknya keluhan tentang biaya pendidikan ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat tentang pendidikan. Kesadaran ini memunculkan persepsi bahwa pendidikan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Masyarakat sudah tidak lagi menganggap pendidikan sebagai kebutuhan bangsa lain. Sehingga menyekolahkan anak adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Ini cukup menggembirakan, karena pada masa lampau tak sedikit orang tua yang tak peduli dengan pendidikan putra-putrinya. Sekolah dan pendidikan formal menjadi hak segelintir elit masyarakat. Pada masa kini obrolan tentang sekolah atau biaya pendidikan adalah hal yang teramat langka.Di sisi lain, keluhan tentang mahalnya biaya pendidikan ini memberikan gambaran betapa sebagian besar masyarakat kita sangat terbebani dengan hal tersebut. Tak dapat disangkal memang, untuk menyelenggarakan pendidikan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi jika mengharapkan pendidikan tersebut benar-benar berkualitas.

Wajar kiranya, jika para orang tua mengharapkan pendidikan yang berkualitas namun biayanya murah. Kenyataannya, dari tahun ke tahun biaya pendidikan relatif mengalami kenaikan. Meski tak semuanya biaya pendidikan itu bersumber dari pungutan langsung dari sekolah, tetapi kenaikan harga kebutuhan penunjang pendidikan juga menjadi faktor meningkatnya biaya pendidikan.

Padahal, peningkatan biaya pendidikan ini belum sepenuhnya sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan. Lihat saja laporan Badan PBB untuk urusan pendidikan, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang menempatkan Indonesia pada peringkat 62 dari 130 negara dalam daftar tingkat pendidikan yang dikeluarkan September 2007. Angka ini menunjukkan penurunan peringkat dari tahun sebelumnya yang berada pada posisi 58. Berdasarkan data tersebut, educational development index (EDI) Indonesia tercatat hanya sebesar 0,935, lebih rendah dari Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965).

Ironis memang. Di tengah banyaknya fundamen negara yang kental dengan tujuan pendidikan, kualitas pendidikannya malah semakin melorot. Ini mengindikasikan adanya ketidaksinkronan antara tujuan dan ide pendidikan dengan upaya pelaksanaannya. Jika kita lihat kembali pembukaan UUD 1945, jelas sekali di sana disebutkan salah satu tujuan pembentukan negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi pelaksanaannya belum mencerminakan upaya pemenuhan tujuan tersebut. Akses anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas masih sangat terbatas, salah satunya terkendala oleh tingginya biaya pendidikan.

Jika mengacu pada konsep pendidikan untuk semua (education for all) yang dicetuskan di Bangkok, Thailand pada tahun 1990, pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan orang tua. Pendidikan adalah kewajiban bersama bukan hanya jadi tanggung jawab pemerintah saja, orang tua saja, atau masyarakat saja. Tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan telah jelas dijabarkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (2), "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal tersebut diperkuat lagi melalui titah UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Kemudian dalam pasal 11 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Keluhan para orang tua tentang tingginya biaya pendidikan adalah bukti jika pemerintah belum mampu melaksanakan titah undang-undang tersebut. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen untuk pendidikan belum sepenuhnya terlaksana. Layanan dan kemudahan di bidang pendidikan yang seharusnya sudah dinikmati warga, juga belum terselenggara. Biaya pendidikan masih saja dirasakan tinggi oleh sebagian besar masyarakat.

Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas yang dilakukan pada tahun 2003, porsi biaya pendidikan yang ditanggung oleh orang tua siswa masih lebih besar dari porsi yang disediakan oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua siswa). Orang tua siswa setidaknya menanggung 53,74-73,87 persen dari biaya pendidikan total (BPT). Sementara pemerintah hanya menanggung 26,13-46,26 persen dari BPT.

Hingga kini nampaknya proporsi tersebut belum banyak berubah, mengingat realisasi 20 persen anggaran untuk pendidikan masih sebatas rencana dalam tumpukan kertas kerja. Pembebasan biaya SPP (sekolah gratis) yang telah berhasil dilakukan di beberapa daerah, tidak serta merta membuat orang tua terbebas dari kewajiban mengeluarkan biaya pendidikan. Kewajiban anak untuk membeli buku yang disediakan sekolah, seragam olah raga, batik, seragam pramuka, seragam sekolah, hingga pungutan administrasi dan uang pendaftaran menjadi daftar biaya yang harus dibayar orang tua, meski semestinya hal tersebut tak lagi memberatkan orang tua.

Lha, kapan sekolah bisa murah? Pertanyaan ini sulit dijawab. Tapi sekiranya ada beberapa hal yang bisa diupayakan untuk menekan tingginya biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua. Pertama, harus dimunculkan paradigma bahwa pendidikan itu bukanlah ladang untuk mencari keuntungan, melainkan ladang pengabdian dan pengorbanan. Dengan demikian, pendidikan tidak lagi dijadikan lahan bisnis untuk mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan, tapi sebagai lahan sosial yang meminimalisasi pengambilan keuntungan yang berlebih.

Jika hal tersebut terwujud, maka pendidikan menjadi persembahan dari satu generasi agar generasi setelahnya menjadi lebih baik dan siap melanjutkan apa yang dicita-citakan oleh generasi sebelum mereka.

Kedua, harus ada paket kebijakan dari pemerintah yang mendukung terselenggaranya pendidikan yang murah dan berkualitas. Kalau sebelumnya penyelenggaraan pendidikan hanya menjadi domain Depdiknas (ditambah beberapa departemen yang menyelenggarakan pendidikan khusus), maka paket kebijakan tersebut harus melibatkan banyak pihak.

Misalnya paket kebijakan pengurangan pajak bangunan bagi sekolah dan alat-alat serta industri penunjang pendidikan. Sehingga diharapkan sekolah tak lagi harus melakukan pungutan uang bangunan, juga harga-harga kebutuhan penunjang pendidikan bisa semakin terjangkau.

Kebijakan lain yang bisa dikeluarkan pemerintah adalah membuka akses bagi sekolah untuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Sekolah tidak lagi harus menjadi tempat ekslusif milik pemerintah yang mengandalkan pendanaan dari pemerintah dan orang tua siswa, tapi bisa bekerja sama dengan pihak swasta untuk menyelenggarakan pendidikan yang murah dan berkualitas. Jelas ini butuh tekanan dan aturan dari pemerintah untuk mengarahkan pihak perusahaan-perusahaan agar memiliki keterlibatan dalam membantu pelaksanaan pendidikan di negeri ini.

Ketiga, harus ada intensifikasi pemanfaatan dana-dana dari masyarakat untuk penyelenggaraan pendidikan. Misalnya melalui paguyuban alumni sekolah, kelompok-kelompok pecinta pendidikan dan lain-lain. Jika langkah-langkah tersebut bisa dilaksanakan secara baik, sekolah murah dan berkualitas bukan lagi sebatas impian. Tentu ini membutuhkan kesadaran dan kerja keras dari kita semua agar anak-anak negeri ini mendapatkan hak-hak pendidikan secara optimal. (*)

Sumber : Harian TERBIT, 13 Agustus 2008
Selengkapnya...

Jaminan Sosial Keluarga Miskin

Terusirnya 26 pasien pemegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta beberapa hari lalu, menunjukkan amburadulnya mekanisme pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Para pasien yang mendapat rujukan dari beberapa RS di luar Jakarta tersebut, tak bisa dirawat inap dengan alasan terbatasnya kapasitas RS sehingga mereka akhirnya menempati ruang kosong di lantai dasar gedung IRNA B RSCM. Sebuah ruang yang sangat tak layak ditempati pasien yang butuh perawatan, tak ada tempat tempat tidur atau fasilitas penunjang lain.

Parahnya, para pasien yang berasal dari kalangan masyarakat kurang mampu ini, juga harus terusir dari tempat itu karena ruangan yang mereka jadikan tempat bernaung hendak dibongkar pihak RSCM. Mereka terusir tanpa ada solusi yang ditawarkan pihak rumah sakit. Sebuah kondisi ironis yang sebenarnya tidak harus terjadi jika sistem jaminan sosial (termasuk kesehatan) di negeri ini dilaksanakan semestinya. Beruntunglah LBH Jakarta dan seorang dermawan bersedia menampung mereka untuk sementara waktu.

Jaminan sosial ini memang harus ada karena tingkat kemakmuran sebagian besar penduduk belum memungkinkan masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan secara memadai karena mahalnya biaya pengobatan. Sedangkan pelayanan kesehatan bagi anggota masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan adalah mutlak adanya. Sangat tidak manusiawi kiranya jika orang yang sakit dibiarkan begitu saja tanpa mendapat pelayanan kesehatan karena secara ekonomi ia tak mampu membayar biaya tersebut.

Dalam kondisi seperti ini maka pemerintah berkewajiban memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan yang semestinya. Pelayanan kesehatan ini harus dilaksanakan tanpa melihat status ekonominya karena sejatinya “health is a fundamental human rights” (kesehatan adalah hak asasi manusia yang paling dasar) seperti yang tercantum dalam deklarasi hak asasi manusia internasional. Jika ia tergolong masyarakat yang mampu, maka ia harus membayar ongkos layanan kesehatan. Namun jika ia tak mampu, maka pemerintah berkewajiban menanggung biaya tersebut.

Namun hingga kini jaminan pelayanan kesehatan oleh pemerintah belum terlaksana sesuai harapan. Program Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (askeskin) yang dijalankan pemerintah sejak tahun 2005 menuai banyak kendala. Masih banyak masyarakat miskin yang belum terjaring program ini. Padahal sejatinya program ini diluncurkan untuk memperbaiki sistem bantuan pemerintah yang diberikan kepada pemegang kartu Keluarga Miskin (Gakin).

Dalam salah satu media nasional di Jakarta, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia yang juga salah seorang perumus UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Hasbullah Thabrany mengungkapkan bahwa jumlah pemegang kartu Gakin yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum (RSU) kurang dari 5 persen dari keseluruhan pasien. Ini bukan berarti bahwa sebagian besar pasien rawat inap mampu membayar layanan kesehatan (ability to pay). Tapi mereka terpaksa untuk membayar (forced to pay), karena tidak ada pilihan lain.

Fakta inilah yang menjadi salah satu dasar pelaksanaan program askeskin. Perluasan layanan yang diharapkan terwujud melalui program ini justru memunculkan masalah baru, mulai dari data yang kurang akurat sehingga menyebabkan banyak anggota masyarakat miskin tidak terdaftar sebagai peserta askeskin, hingga keterlambatan pembayaran klaim kepada pihak provider (Rumah Sakit) oleh PT Askes yang menjadi penyelenggara program ini. Bahkan, pada akhir Januari 2008, PT Askes masih berhutang sebesar Rp. 1,145 triliun kepada beberapa RS yang menjadi provider layanan kesehatan untuk peserta Askeskin.

Program Jamkesmas
Sebagaimana yang kita ketahui, Departemen Kesehatan meluncurkan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sebagai pengganti program Askeskin pada awal Maret lalu. Menurut Menkes Siti Fadillah Supari, program ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan sskeskin. Sasarannya tetap masyarakat miskin dan hampir miskin, namun ada sedikit perbedaan dalam pengelolaannya. Jika dalam program Askeskin, PT Askes bertindak sebagai pengelola dari sisi manajemen kepesertaan, verifikasi klaim hingga pengelolaan keuangan, maka dalam program Jamkesmas PT Askes hanya menangani masalah manajemen kepesertaan, sementara verifikasi klaim akan dilakukan verifikator independen dan untuk masalah pembayaran langsung dibayarkan ke rekening RS pelaksana program.

Namun, program yang dijadwalkan efektif berlaku Juli 2008 ini tak sepenuhnya siap dilaksanakan. Bahkan beberapa pihak meminta program ini ditunda pelaksanaannya hingga benar-benar siap dijalankan. Setidaknya ada dua masalah besar yang menyebabkan program ini belum siap untuk diaplikasikan.

Pertama, masalah teknis yang meliputi masalah kepesertaan, besaran premi, dan verifikasi kelayakan data dan klaim. Hingga kini pemerintah (Depkes) hanya memperkirakan bahwa jumlah peserta Jamkesmas (masyarakat miskin dan mendekati miskin) berjumlah 76,4 juta jiwa atau 19,1 juta keluarga. Namun akurasi data ini masih dipertanyakan karena tak ada data yang jelas siapa saja masyarakat miskin tersebut. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jelas sudah tidak valid lagi, karena sudah kadaluarsa, sementara pendataan yang melibatkan pihak Pemerintah Daerah belum juga terlaksana dengan baik.

Masalah besaran premi juga masih menjadi bahan perdebatan. Untuk pelaksanaan Jamkesmas, pemerintah menganggarkan premi sebesar Rp 5.000/kepala tiap bulan. Anggaran ini dinilai tidak realistis karena belum didasarkan kajian yang mendalam terkait kebutuhan pendanaan riil di lapangan.

Masalah ini belum mendapatkan solusinya karena pihak yang berwenang menentukan mekanisme pelaksana program sesuai UU No.40/2004 yaitu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) belum terbentuk. Padahal kabarnya Perpres tentang DJSN ini sudah dikeluarkan, namun tak bisa diterapkan karena orang-orang yang tercantum dalam Perpres itu sudah melewati batas umur sehingga harus menunggu adanya rekrutmen baru. Hal yang sama juga terjadi terhadap tim verifikator yang seharusnya sudah mulai melakukan tugasnya. Tim ini sampai hari belum terbentuk sehingga, proses verifikasi data dan klaim tidak bisa dilaksanakan.

Kedua adalah masalah yuridis. Jamkesmas yang diprogramkan Departemen Kesehatan belum sepenuhnya mengacu kepada UU No. 40/2004. Padahal Jamkesmas merupakan salah satu embrio dari Sistem Jaminan Sosial Nasional yang khusus menggarap masyarakat miskin dan mendekati miskin pada aspek kesehatan.

Berdasarkan undang-undang ini, jaminan sosial kepada kepada seluruh Warga Negara Indonesia diwujudkan dalam bentuk asuransi. Sedangkan penyelenggaraan asuransi sosial menurut UU No. 2/1992 tentang Asuransi pada pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh BUMN. Sehingga BPJS menurut undang-undang ini mestinya berbentuk BUMN.

Masalahnya adalah, prinsip BPJS dalam UU No. 40/2004 bersifat nirlaba sedangkan menurut UU No. 19/2003 tentang BUMN disebutkan bahwa BUMN bersifat mencari keuntungan (pasal 1 ayat 2). Sehingga harus ada perubahan atau revisi diantara undang-undang tersebut agar maksud baik untuk memberikan jaminan sosial tidak harus bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keseriusan Pemerintah
Masalah lainnya adalah landasan pembentukan BPJS sendiri yang hingga kini masih belum jelas arahnya. Padahal jika mengacu pada UU No.40/2004, BPJS ini harus dibentuk berdasarkan undang-undang paling lambat tahun 2009. Namun hingga kini belum ada usulan pembentukan undang-undang terkait BPJS. Apakah ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah melaksanakan amanat undang-undang?

Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diatur dengan UU No.40/2004 sesungguhnya merupakan upaya memberikan jaminan sosial kepada seluruh warga negara Indonesia dalam bentuk asuransi. Diharapkan secara bertahap seluruh masyarakat Indonesia nantinya terjamin dalam sistem jaminan sosial yang terselenggara dengan baik sesuai amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 2: ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Namun jika melihat pelaksanaan jaminan sosial bagi masyarakat yang lemah dan tidak mampu seperti yang diprogramkan pemerintah lewat Jamkesmas, nampaknya implementasi UU No.40/2004 ini masih jauh dari harapan. Perlu keseriusan dari semua pihak, baik pemerintah, DPR, dan pihak rumah sakit untuk mempersiapkan segala perangkat pendukung agar SJSN bisa terlaksana. Karena keseriusan ini dapat menjadi bukti pemerintah telah berupaya menjalankan tugasnya, memberikan jaminan sosial bagi setiap warganya. Sehingga diharapkan tak ada lagi kisah pilu yang dialami oleh rakyat miskin karena tidak mendapat layanan kesehatan secara manusiawi. (*)

Sumber : Harian SUARA MERDEKA, 9 Agustus 2008
Selengkapnya...

Problem Pengawasan Produk Pangan

Jatuhnya korban anak-anak Taman Kanak-kanak (TK) Sekar Bangsa akibat memakan permen narkoba beberapa waktu lalu, telah memunculkan kekhawatiran para siswa dan orang tua terhadap keamanan produk pangan (obat dan makanan) yang banyak dikonsumsi secara bebas oleh anak-anak mereka. Belum usai kasus ini, produk minuman Jamu yang diindikasikan menggunakan zat-zat berbahaya juga muncul ke permukaan publik.

Kasus-kasus di atas telah membuat banyak pihak bertanya tentang sejauhmana peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku badan yang diberi kewenangan penuh melakukan pengaturan, regulasi dan standarisasi produk obat dan makanan. Perlu diketahui, semua produk obat dan makanan yang diproduksi harus menjalani uji klinis BPOM. Dari pengujian ini akan diketahui apakah produk-produk tersebut tidak memiliki kandungan zat berbahaya bagi masyarakat. Jika hasil pengujian tersebut bahan obat dan makanan tersebut terbukti mengandung zat berbahaya maka tidak mungkin beredar di pasaran
.

Sebagai sebuah badan yang memegang peran penting terhadap izin dan pengujian produk-produk obat dan makanan selayaknya BPOM memiliki sumber daya lembaga baik SDM, anggaran maupun infrasruktur lainnya secara memadai. Namun faktanya justru sebaliknya sehingga BPOM terlihat kedodoran dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Problem pengawasan
Terkait masalah pengawasan setidaknya BPOM memiliki beberapa tugas yang utama antara lain, (1) pengawasan secara ketat terkait dengan masalah lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan cara-cara produksi obat yang baik; (2) mengadakan evaluasi produk sebelum diluncurkan dan diizinkan beredar di pasaran; (3) melakukan post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum; (4) melakukan pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk.

Selain peran diatas, BPOM juga diberi kewenangan competent authority dalam pengawasan prekursor yang mengawasi kasus penyimpangan bahan-bahan Napza Ilegal yang bekerjasama dengan Bareskrim Polri dan Departemen Hukum dan HAM. Sehingga dengan kewenangan ini, BPOM sebenarnya telah memiliki tupoksi pengawasan resmi yang berlapis-lapis dan komprehensif yang dimulai dari importasi,produksi, distribusi, penyaluran dan penggunaan narkotika, psikotropika dan prekursor.

Penguatan Koordinasi
Langkah pengawasan yang dilakukan BPOM selama ini dianggap masih terlambat dan reaktif. Ini sebenarnya tidak perlu terjadi manakala ada kerjasama yang baik dengan instansi terkait seperti kepolisian, kejaksaan, bea cukai dan Depkes. Penguatan koordinasi pengawasan juga dapat dilakukan dengan pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Kerjasama ini dapat melalui sebuah kesepakatan berupa MoU yang masing-masing menjelaskan tentang tugas dan peran bersama dalam hal pengawasan produk-produk farmasi dan makanan di daerah. Tentu saja, MoU ini hanya dapat berlangsung efektif manakala semua pihak peduli dengan nasib masyarakat yang seringkali menjadi korban kejahatan ekonomi melalui jaringan produk-produk berbahaya.

Koordinasi dalam hal penindakan kasus hukum juga dapat dilakukan BPOM bersama kepolisian dan kejaksaan. Namun hal ini harus diawali penguatan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pusat Penyidikan BPOM. Penguatan peran PPNS ini diperlukan untuk menambah daya ungkit penyidikan sehingga menguatkan peran jaksa dalam hal penuntutan hukum kepada pelaku kejahatan bidang farmasi dan makanan di pengadilan. Banyaknya kasus hukum yang mandek atau ringannya hukuman terdakwa salah satunya disebabkan lemahnya substansi tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa kepada pelaku. Sehingga peningkatan kualitas dan kemampuan personil PPNS BPOM diharapkan mampu meningkatkan kualitas tuntutan Jaksa.

Secara umum, hukuman pelaku tindak kejahatan di bidang farmasi dan makanan terbilang berat. Dalam UU No. 23/1992 pasal 80 ayat 4 tentang Kesehatan disebutkan “barangsiapa yang mengedarkan makanan, minuman, dan bahan farmasi yang merugikan kesehatan masyarakat diancam dengan hukuman pidana selama 15 tahun penjara atau denda sebesar Rp 300 juta”. Ini sebenarnya cukup membuat efek jera bagi pelaku, tapi sayangnya jarang sekali pelaku dijatuhi hukuman seberat ini bahkan terkadang lolos dari hukuman karena lemahnya substansi tuntutan yang diajukan kepada pelaku tersebut.

Edukasi dan partispasi masyarakat
Peran pengawasan BPOM selama ini memang tidak diartikan untuk mematai-matai produsen obat dan makanan tetapi lebih ditujukan sebagai langkah preventif dan pembinaan. Oleh karena itu, BPOM juga perlu meningkatkan peran edukasinya baik kepada produsen maupun konsumen. Edukasi kepada produsen ditujukan melalui pemberian petunjuk pembuatan obat dan makanan yang baik (CPOB). Sehingga produsen mampu membuat produk berkualitas dan bermutu tinggi tanpa harus menambah dengan zat-zat yang mergikan kesehan konsumen. Begitu juga dengan edukasi kepada masyarakat selaku konsumen perliu terus diintesifkan agar masyarakat memiliki kesadaran dan kepekaan dalam menilai produk-produk yang beredar di pasaran. Sosialisasi tentang bahan-bahan zat berbahaya diharapkan dapat memunculkan daya kritis masyarakat untuk senantiasa waspada terhadap produk obat dan makanan yang ada.

Adalah menjadi hal yang mustahil manakala kita berharap BPOM mampu mengatasi persolan kejahatan obat dan makanan ini tanpa peran aktif dari masyarakat sendiri. BPOM meski ditengah keterbatasan harus diakui telah berupaya menjalankan perannya, namun upaya edukasi dan public warning yang sering dilakukan BPOM juga menuntut adanya timbal balik dan respon dari masyarakat. Intinya tugas pengawasan obat dan makanan ini seharusnya menjadi hal yang melekat dalam diri setiap anggota masyarakat, sehingga bahaya kejahatan bidang ini dapat dicegah atau minimal berkurang.

Jika semua pihak baik BPOM, kepolisian, kejaksaan, pemerintah daerah, produsen dan masyarakat mampu secara efektif melakukan sinergi maka kejahatan dan terorisme dibidang obat dan makanan diyakini dapat ditangkal lebih dini. Namun sebalik, jika hanya mengandalkan BPOM an sich maka ancaman itu akan selalu muncul. Bukankah kejahatan yang terorganisir akan mudah mengalahkan kebenaran yang tanpa soliditas? Kini saatnya kita menjadi bagian bangsa yang peduli dengan keamanan produk obat dan makanan demi masa depan masyarakat dan anak cucu kita. Wallahu a’lam bishawab


Sumber : Harian JAWA POS, 25 Juni 2008




Selengkapnya...

Membebaskan Negeri dari Malaria

Kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diambil pemerintah menyusul harga kenaikan minyak di pasaran dunia, membawa dampak negatif bagi masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Tingginya harga bahan kebutuhan pokok dan ongkos yang harus dikeluarkan, membuat masyarakat terancam tak mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar sekalipun. Pola konsumsi kebutuhan pokok pun berubah, orang yang biasanya makan tiga kali sehari berubah menjadi dua atau bahkan hanya sekali sehari. Demikian juga dengan jenis makanan yang disantap, dari yang biasanya makan nasi lengkap dengan lauk pauknya, berubah menjadi nasi aking.

Hal tersebut tentu saja berdampak pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Daya tahan masyarakat terhadap penyakit juga menjadi lemah. Sementara akses untuk mendapatkan layanan kesehatan menjadi kian sulit, selain karena kenaikan ongkos layanan kesehatan, keuangan yang dimiliki sudah habis tersedot untuk kebutuhan lain. Akibatnya, masyarakat Indonesia (mungkin) akan menjadi masyarakat yang tidak sehat.

Padahal kualitas kesehatan masyarakat yang prima adalah salah satu tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan. Ini sudah menjadi standar yang telah ditentukan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui UNDP (United Nations Development Programme) dalam bentuk Human Development Index (HDI) atau di Indonesia lebih dikenal dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Sebenarnya standar kesehatan yang dijadikan patokan dalam IPM ini hanyalah prasyarat minimal, namun pada kenyataannya kita masih kerepotan untuk memenuhi standar tersebut, apalagi kini setelah kenaikan harga BBM.

Angka harapan hidup yang menjadi patokan dalam IPM masih sulit untuk dicapai. Tingginya angka kematian yang diakibatkan wabah penyakit menjadi salah satu penyebabnya. Dan hingga kini penyakit malaria masih menjadi penyumbang angka kematian yang cukup tinggi di Indonesia. Bahkan penyakit yang diakibatkan oleh gigitan nyamuk Anopheles sp ini menyebabkan pemerintah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk beberapa daerah yang terkena wabah.

Pada peringatan Hari Malaria Sedunia yang dilaksanakan awal Mei lalu, Menteri Kesehatan Fadilah Supari memberikan penghargaan kepada Propinsi Jawa Tengah yang dinilai berhasil dalam penanganan malaria. Bersama dengan DKI Jakarta dan Yogyakarta, Jawa Tengah dinyatakan sudah bebas malaria. Sebuah prestasi yang patut mendapat apresiasi positif dari kita semua.

Namun demikian, penanganan malaria tidaklah cukup hanya dengan selebrasi pemberian penghargaan kepada daerah yang dianggap berhasil, tapi butuh sebuah strategi nasional yang terarah untuk memberantas penyakit ini. Mengapa? Karena apa yang dicapai sekarang ini, masih jauh dari menyelesaikan masalah.

Data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan jumlah penderita malaria klinis di seluruh Indonesia mencapai 15 juta orang dan 43 ribu diantaranya meninggal. Dari data-data yang lain, jumlah penderita malaria cenderung mengalami kenaikan pertahunnya. Tahun 2006, wabah malaria dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di 7 provinsi, 7 kabupaten, 7 kecamatan dan 10 desa dengan jumlah penderita mencapai 1.107 orang, 23 diantaranya meninggal. Tahun berikutnya (2007) KLB terjadi di 8 provinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan dan 30 desa, dengan jumlah penderita mencapai 1.256 orang dan mengakibatkan 74 penderitanya meninggal dunia.

Menteri Kesehatan sendiri mengakui bahwa saat ini masih ada sekitar 107 juta penduduk Indonesia yang terancam jiwanya karena hidup di daerah endemik malaria. Mereka tersebar di 310 kabupaten yang ada di 32 provinsi di negeri ini. Artinya 70,3 persen dari total kabupaten dan kota yang ada di Indonesia masih merupakan daerah endemik malaria.

Mengapa pemberantasan malaria masih belum membuahkan hasil yang memuaskan? Padahal pemberantasan penyakit ini telah dimulai sejak era pemerintahan Presiden Soekarno, yaitu sejak 12 November 1959. Mungkin keseriusan dan upaya yang sungguh-sungguh untuk memberantas penyakit ini yang harus terus dipupuk. Selain itu penanganan yang tuntas dan menyeluruh bisa menjadi salah satu kata kuncinya.

Sudah sewajarnya jika pemerintah tidak lagi menganggap malaria hanya sebuah penyakit saja. Artinya baru bertindak jika ada orang yang sudah terkena penyakit. Namun, malaria harus dipandang sebagai sebuah ancaman yang sangat membahayakan bagi kelangsungan bangsa ini. Dengan demikian penanganan malaria bisa disejajarkan dengan penanganan masalah yang sangat serius, semisal ancaman invasi dari luar atau ancaman flu burung yang menghebohkan.

Dengan demikian, pemerintah tidak lagi boleh melakukan penanganan malaria secara sektoral. Karena pada hakikatnya, masih banyaknya wilayah yang menjadi daerah endemik malaria disebabkan oleh banyak faktor. Ada faktor perubahan lingkungan yang memicu melonjaknya jumlah populasi nyamuk penyebar malaria. Ada faktor kebiasaan hidup dan sosial budaya masyarakat, faktor biologis yang membuat penyakit restisten terhadap obat, juga faktor jangkauan layanan kesehatan yang belum memadai.

Jika penanganannya masih bersifat sektoral yang hanya melibatkan aspek medis dan teknis, maka tidak mustahil jika penyakit ini akan menjadi wabah abadi di negeri ini. Pemerintah harus berani menangani masalah ini sampai pada tingkat keseriusan paling tinggi. Pemerintah --jika perlu—harus membuat pilot project penanganan malaria secara tuntas dan menyeluruh, yang melibatkan banyak sektor. Selesaikan hingga tuntas berapa pun anggarannya. Dengan demikian, akan terukur berapa anggaran yang dibutuhkan, juga akan terpetakan langkah-langkah paling efektif untuk mengatasi ancaman wabah malaria. Hasilnya nanti digunakan sebagai pola untuk memberantas perkembangan penyakit malaria di daerah-daerah endemik lain. Ini akan efektif dibandingkan dengan penanganan malaria secara sporadis dan temporer.

Jika pemerintah mencanangkan tahun 2010 Indonesia sudah bebas malaria, maka dengan pola ini hal tersebut akan memungkinkan untuk bisa dicapai. Sehingga di masa mendatang tidak terjadi lagi --meminjam ungkapan Menkes Fadilah Supari— ”masa presidennya sudah gonta ganti terus, malaria masih ada”.

Keberhasilan membebaskan negeri ini dari penyakit malaria adalah sebuah prestasi besar yang harus dicapai dan pada gilirannya itu akan sangat mempengaruhi capaian keberhasilan pembangunan. Menurunnya tingkat kematian akan berimplikasi pada angka harapan hidup yang makin bertambah. Pada gilirannya standar minimal kesehatan yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan pun akan terlampaui.

Sumber : Harian WAWASAN, 18 Juni 2008
Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda