Senin, 06 Juli 2009

Guru dan Kualitas Pendidikan

Beberapa waktu lalu, sejumlah pelajar Indonesia kembali menorehkan sejarah gemilang dengan menjadi juara umum International Conference of Young Scientist (ICYS) yang diadakan di Pszczyna, Polandia. Dalam ajang yang melombakan presentasi hasil penelitian di bidang fisika, matematika, ilmu komputer, ekologi, dan bahasa Inggris ini, para pelajar Indonesia memperoleh medali terbanyak yakni enam medali emas, satu perak, dan tiga perunggu. Mereka yang dibimbing secara khusus oleh seorang mahaguru Profesor Yohanes Surya mampu mengalahkan para pelajar lain dari negara maju seperti Jerman, Belanda dan Amerika Serikat

Prestasi ini menjadi catatan manis yang perlu diingat, bahwa dengan pembimbing (guru) yang berkualitas, kurikulum yang tepat dan fasilitas yang memadai, sebenarnya para pelajar Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dari negara-negara lain. Hal ini dibuktikan dengan seringnya para pelajar Indonesia yang menorehkan prestasi gemilang dalam berbagai ajang internasional. Sayangnya prestasi tersebut tidak menggambarkan kualitas pendidikan negeri ini secara keseluruhan yang justru masih terpuruk. Beberapa tahun terakhir ini bahkan kualitas pendidikan kita seakan tenggelam.
Dalam laporan EFA (Education For All) yang dirilis dalam Global Monitoring Report (GMR) tahun 2008, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) Indonesia mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. EDI Indonesia untuk tahun 2007 hanya mencapai 0,935 atau turun 0,003 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut membuat posisi Indonesia turun dari peringkat 58 ke peringkat 62 dari 129 negara. Di saat yang sama negeri tetangga kita, Malaysia, justru mengalami peningkatan. Posisinya melonjak dari peringkat 62 menjadi 56 setelah EDI-nya naik 0,011 poin menjadi 0,945.

Kondisi seperti ini bisa menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita masih jauh dari ideal. Potensi prestasi para pelajar negeri ini belum tergarap secara optimal. Harus diakui memang guru sekualitas ProfesorYohanes Surya belum banyak di negeri ini. Hanya sedikit saja pelajar yang menemukan kondisi ideal sehingga mereka bisa berkembang secara optimal. Para pelajar yang telah membuktikan diri di berbagai ajang lomba internasional itu adalah segelintir generasi muda yang “beruntung” mendapatkannya. Sementara ratusan ribu atau bahkan jutaan talenta pelajar lainnya sama sekali belum tergarap atau mungkin salah garap. Alih-alih bisa mengembangkan potensinya, mereka justru terjebak dalam pemikiran sempit, lulus Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN).

Jika kita melihat UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sesungguhnya yang menjadi tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3). Jadi tidak semata-mata mengejar kelulusan melalui UN atau UASBN. Tentu bukan hal mudah untuk mewujudkan itu semua. Komponen-komponen pendidikan seperti kurikulum yang tepat, sarana yang memadai, dan guru yang kompeten harus tersedia.

Upaya ke arah sana sebenarnya sudah dilakukan. Implementasi 20 persen anggaran pendidikan pun sudah mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan melalui pemenuhan komponen-komponen pendidikan sesuai dengan standar. Namun sekali lagi, kesungguhan para stakeholder pendidikan untuk memenuhinya, masih harus dilihat lebih cermat. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pendidik/guru misalnya, masih belum tertata rapi. Program sertifikasi guru, masih terkesan hanya formalitas, belum ada upaya yang sungguh-sungguh untuk meng-up grade kemampuan guru dan menyeleksinya secara cermat. Sehingga para pemegang sertifikat guru itu benar-benar mampu menjadi seorang profesional seperti yang tercantum dalam UU Guru dan Dosen (UU No. 14/2005) pasal 2 ayat (1)

Padahal tuntutan untuk menjadi profesional itu bukan hanya berimplikasi sebatas peningkatan standar gaji dan kesejahteraan, melainkan peningkatan kualitas dan kompetensi guru. Seorang guru dituntut tidak hanya mampu mentransfer ilmu yang dikuasainya, tapi lebih jauh dari itu, ia harus mampu menggali dan mengembangkan potensi peserta didiknya. Ia harus mampu menjadi fasilitator sekaligus dinamisator dalam proses pendidikan. Oleh karenanya ia harus memiliki penguasaan yang mendalam di bidang studi yang diajarkannya (subject-matter knowledge), juga kemampuan untuk mengajarkannya (pedagogical content knowledge).

Saat ini, memang guru tidak lagi menjadi satu-satunya mata air pengetahuan di kelas. Dengan perubahan struktur masyarakat, perkembangan metode pengajaran dan pemanfaatan teknologi informasi, para siswa bisa mendapatkan pengetahuan dari beragam sumber. Namun demikian, guru lah yang harus mampu mengarahkannya agar berdaya dan berhasil guna. Sebab tanpa arahan, bisa jadi ilmu dan pengetahuan justru menghasilkan dampak yang tidak diharapkan.

Dari sini kita melihat, sesungguhnya tuntutan yang melekat pada diri seorang guru, apalagi sebagai seorang profesional amatlah berat. Perlu upaya keras untuk kembali menjadikan guru sebagai sosok yang layak digugu dan ditiru di tengah ancaman dekadensi moral dan rendahnya kualitas pendidikan. Digugu segala petuah dan arahannya karena ia memang memiliki kompetensi ilmiah yang mumpuni, dan ditiru perilakunya karena ia memiliki akhlak yang patut diteladani.

Selain upaya pemerintah, perlu ada kesadaran dari para guru sendiri untuk berupaya menjadi guru yang profesional. Tanpa kesadaran itu, semua upaya hanya akan sia-sia. Kesadaran bahwa profesi guru adalah profesi yang mulia, yang membutuhkan kesungguhan dan konsistensi dalam pelaksanaannya akan mendorong para guru untuk senantiasa meng-up grade diri. Termasuk memanfaatkan segala peluang dan fasilitas yang ada. Meski program sertifikasi terkesan formalitas karena uji sertifikasinya “hanya” menyaratkan pengumpulan dokumen portofolio sebanyak 850 poin. Namun jika dilandasi kesadaran dan semangat untuk menjadi guru yang profesional, tentu peluang berlaku tidak fair, seperti pemalsuan dokumen yang sangat mudah dilakukan, akan dihindari jauh-jauh. Para guru akan terpacu untuk meningkatkan kemampuannya sesuai dengan tuntutan yang melekat pada profesinya.

Sebagai imbalannya, tentu seorang guru yang profesional harus mendapatkan penghasilan dan perlindungan yang layak atas usahanya. Sudah barang tentu kelayakannya bukan hanya sekadar cukup untuk makan dan hidup, tapi cukup pula untuk mengembangkan diri dan kemampuannya. Karena sejatinya seorang guru adalah seorang pembelajar sepanjang hayat. Ia harus terus meningkatkan kompetensinya sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, karena itulah yang harus ia wariskan kepada para anak didiknya.
Jika kesadaran ini sudah tertanam kuat pada setiap insan pendidik, maka adalah tugas pemerintah untuk memberikannya fasilitas yang memadai. Jika pemerintah mampu memasilitasi guru menjadi insan profesional yang tidak lagi dipusingkan dengan pendapatan, memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan seiring kemajuan ilmu dan teknologi serta memiliki ruang ekspresi sesuai profesinya, maka tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam UU Sisdiknas bukanlah hal mustahil untuk dicapai secara paripurna.

Indah rasanya jika membayangkan guru-guru di Indonesia memiliki kemampuan akademis seperti Profesor Yohannes Surya. atau memiliki moralitas dan jiwa pengabdian seperti yang diperlihatkan Guru Harfan dan Bu Muslimah dalam film populer Laskar Pelangi. Itulah gambaran profesionalisme guru yang kita nantikan demi kemajuan kualitas pendidikan di negeri ini. (*)


Jakarta, 9 Juni 2009



Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda