Senin, 15 Februari 2010

Gizi Buruk dan Lost Generation

Wacana pembentukan Badan Gizi Nasional oleh Menko Kesra Agung Laksono, beberapa waktu lalu, makin menegaskan urgensi penyelesaian masalah gizi buruk di negeri ini. Menilik namanya, tampaknya pemerintah berupaya lebih serius menangani persoalan gizi buruk, sebagaimana keseriusan pemerintah menangani masalah penyalahgunaan narkotik dengan membentuk Badan Narkotika Nasional. Dari sisi dampak, masalah penyalahgunaan narkotik dan gizi buruk memang memiliki kemiripan. Keduanya sama-sama berpotensi menyebabkan hilangnya sebuah generasi (lost generation).

Secara medis, kekurangan gizi yang terjadi berkepanjangan akan mengakibatkan kerusakan permanen pada beberapa organ, meski telah dilakukan upaya penyelamatan. Penderita gizi buruk juga rentan terhadap infeksi dan mengalami gangguan fungsi seperti pembengkakan hati, pengecilan otot, dan peradangan kulit. Tentu saja jika tidak ditangani dengan baik, risiko kematian menjadi sangat besar.

Dampak gizi buruk yang bersifat permanen sangat dimungkinkan terjadi pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Kekurangan gizi pada masa ini, terlebih masa golden period (0-3 tahun), tidak hanya menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan fisik, tetapi juga perkembangan mental dan intelektual sang anak akan mengalami gangguan serius. Efeknya terlihat dari rendahnya tingkat kecerdasan, rentan terhadap penyakit, gangguan dalam pemusatan perhatian, lambatnya perkembangan kemampuan kognitif, dan berbagai gangguan lain yang berdampak pada rendahnya kualitas manusia secara umum.

Dampak menakutkan dari gizi buruk ini sebenarnya sudah dipahami sejak lama. Tak mengherankan jika berpuluh tahun lalu upaya pengentasan gizi buruk ini sudah dilakukan. Pembentukan Lembaga Makanan Rakyat (LMR) yang digagas Bapak Gizi Indonesia Dr Poorwo Soedarmo pada tahun 1950 adalah salah satu tonggak upaya perbaikan gizi masyarakat secara nasional. Sejak saat itu pula semboyan "empat sehat lima sempurna" begitu akrab di telinga masyarakat.

Meski telah banyak kemajuan yang telah dicapai dalam upaya penyelesaian gizi buruk, namun hingga kini masih banyak masyarakat yang menderita gizi buruk. Riset kesehatan dasar (riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional gizi buruk pada anak balita mencapai 5,4 persen dan gizi kurang sebesar 13 persen. Dari data yang sama juga diketahui bahwa sebesar 13,3 persen anak laki-laki dan 10,9 persen anak perempuan usia sekolah (6-14 tahun) terkategori kurus berdasarkan perbandingan berat/tinggi badan.

Lebih jauh, hasil riskesdas tersebut mencatat sebanyak 21 provinsi dan 216 kabupaten/kota memiliki prevalensi gizi buruk di atas rata-rata nasional (5,4 persen). Sedangkan berdasarkan gabungan hasil pengukuran gizi buruk dan gizi kurang, ditemukan sebanyak 19 provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas rata-rata nasional atau di atas 18,4 persen.

Kondisi ini menunjukkan bahwa masa depan bangsa ini masih dalam kondisi terancam kehilangan generasi yang berkualitas. Generasi yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi kurang gizi atau gizi buruk akan sulit bersaing dengan yang lainnya. Pada gilirannya mereka akan tersisih dan berpotensi menjadi mata rantai penyebab gizi buruk generasi berikutnya.

Tentu saja hal tersebut tak boleh terjadi. Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Salah satu bentuk perlindungan kepada bangsa ini adalah upaya perlindungan dari bahaya laten kehilangan generasi yang diakibatkan gizi buruk.

Secara khusus pelaksanaannya bisa mengacu pada UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau (pasal 141 ayat 3). Bahkan, pemerintah harus bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam kondisi darurat (pasal 142 ayat 30). Lebih jauh lagi, pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi (pasal 143).

Program Prioritas

Atas dasar hal tersebut, maka penanganan gizi buruk haruslah menjadi prioritas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penanganannya tidak hanya sebatas menyediakan sumber makanan yang memenuhi unsur kecukupan gizi, tapi lebih dari itu, upaya peningkatan pengetahuan masyarakat menjadi poin penting yang juga harus dipenuhi. Mengapa? Soalnya, penyebab gizi buruk di masyarakat tidak semata-mata disebabkan oleh keterbatasan akses masyarakat terhadap produk pangan yang berkualitas sebagai akibat dari kemiskinan. Faktor rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap masalah gizi dan kesehatan, pola konsumsi yang tidak tepat, adanya adat dan kebiasaan yang kurang baik, serta gangguan organ tertentu yang membuat serapan terhadap zat-zat gizi tidak bisa optimal juga dapat menjadi penyebab.

Kondisi ini mendorong upaya penyelesaian kasus gizi buruk harus digarap secara multisektoral. Kegiatan promosi dan edukasi terhadap masyarakat tentang gizi harus mendapat perhatian serius. Promosi masalah pengelolaan gizi harus dilakukan secara masif, sehingga informasi tentang bahan makanan bergizi, pengolahan yang tepat, pola konsumsi yang baik serta hal-hal yang berkaitan dengan penanggulangan gizi buruk bisa diperoleh dengan mudah oleh masyarakat, tersebar secara luas dan dilakukan secara terus-menerus.

Kegiatan promosi akan sangat berpengaruh jika memanfaatkan seluruh saluran komunikasi secara optimal, seperti pemanfaatan sarana periklanan yang sekarang ini biasa dipakai baik yang termasuk above the line advertising media seperti, iklan layanan masyarakat di media massa maupun yang dikategorikan below the line advertising media dengan mengemas pesan pada barang-barang (merchandise) yang biasa dipergunakan seperti payung, muk dan lain-lain. Model promosi gizi seperti ini bisa melibatkan banyak pihak seperti kalangan dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Selain itu, upaya promosi secara tradisional pemanfaatan sarana-sarana komunikasi di masyarakat juga harus ditingkatkan intensitasnya. Pada sisi ini, para tokoh agama, adat dan masyarakat memiliki peran penting dalam menyukseskan perubahan pengetahuan dan perilaku masyarakat terkait peningkatan status gizi masyarakat.

Secara umum, penanganan masalah gizi buruk tidak bisa dilakukan secara sporadis. Penanggulangan gizi buruk harus dilakukan secara terencana dan terarah dengan baik. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu membuat model penyelesaian masalah ini mulai A hingga Z secara tuntas, terutama untuk daerah-daerah yang memiliki prevalensi gizi buruk tinggi.

Jika upaya-upaya tersebut sudah dilakukan dengan tulus dan ikhlas disertai rasa tanggung jawab, bukan asal terlaksana, maka itulah yang dinamakan sebuah upaya yang serius. Tak salah kiranya jika keseriusan ini bisa dilihat dari apakah realisasi wacana pembentukan Badan Gizi Nasional ini mampu mengatasi kendala sektoral yang sekarang dihadapi atau malah sebaliknya. Mungkin kita harus bergegas secara optimal merealisasikannya, karena waktu tak pernah menunggu, sebagaimana bergantungnya masa depan pada generasi yang akan datang. ***


Opini Suara Karya, Senin 8 Februari 2010 Selengkapnya...

Jumat, 20 November 2009

Buku Zuber Safawi: Menata Jalan Menunaikan Amanah



Masalah kesehatan dan pendidikan adalah masalah mendasar bagi manusia. Bersama dengan taraf kemampuan ekonomi masyarakat, keduanya dijadikan acuan untuk mengukur sejauhmana keberhasilan suatu negara membangun bangsanya. Oleh karenanya pembangunan di sektor tersebut menjadi semacam etalase untuk melihat prestasi pengelola negara dalam menjalankan tugasnya.

Meski mengalami peningkatan, namun perkembangan derajat kesehatan dan tingkat pendidikan Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara-negara tetangga. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya.

Dalam kapasitasnya sebagai anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI yang pernah menduduki posisi Ketua Komisi X (bidang pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, perfilman, kebudayaan dan perpustakaan) dan Anggota Komisi IX (bidang kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi), Zuber Safawi, SHI, mengenal betul beragam permasalahan di dua bidang ini, baik dari sisi perencanaan kebijakan, maupun dalam tataran implementasinya.

Buku ini memuat kumpulan buah pemikiran Zuber Safawi dalam mengurai permasalahan di bidang kesehatan dan pendidikan sekaligus tawaran solusi atas setiap permasalahan yang ada. Sikap, pandangan dan komitmennya adalah manifestasi dari platform PKS dan interaksinya dalam upaya perbaikan di dua sektor ini.

Ada serangkaian upaya yang diurai secara rinci dalam buku ini. Dengan benang merah yang jelas, upaya memberikan jaminan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan haknya mendapatkan layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas, serta pendidikan yang bermutu yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup anak bangsa ini.

Buat anda yang berminat, dapat menghubungi Sdr. Ery Pamungkas di 021 5756448 setiap hari kerja.
Selengkapnya...

Senin, 06 Juli 2009

Guru dan Kualitas Pendidikan

Beberapa waktu lalu, sejumlah pelajar Indonesia kembali menorehkan sejarah gemilang dengan menjadi juara umum International Conference of Young Scientist (ICYS) yang diadakan di Pszczyna, Polandia. Dalam ajang yang melombakan presentasi hasil penelitian di bidang fisika, matematika, ilmu komputer, ekologi, dan bahasa Inggris ini, para pelajar Indonesia memperoleh medali terbanyak yakni enam medali emas, satu perak, dan tiga perunggu. Mereka yang dibimbing secara khusus oleh seorang mahaguru Profesor Yohanes Surya mampu mengalahkan para pelajar lain dari negara maju seperti Jerman, Belanda dan Amerika Serikat

Prestasi ini menjadi catatan manis yang perlu diingat, bahwa dengan pembimbing (guru) yang berkualitas, kurikulum yang tepat dan fasilitas yang memadai, sebenarnya para pelajar Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dari negara-negara lain. Hal ini dibuktikan dengan seringnya para pelajar Indonesia yang menorehkan prestasi gemilang dalam berbagai ajang internasional. Sayangnya prestasi tersebut tidak menggambarkan kualitas pendidikan negeri ini secara keseluruhan yang justru masih terpuruk. Beberapa tahun terakhir ini bahkan kualitas pendidikan kita seakan tenggelam.
Dalam laporan EFA (Education For All) yang dirilis dalam Global Monitoring Report (GMR) tahun 2008, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) Indonesia mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. EDI Indonesia untuk tahun 2007 hanya mencapai 0,935 atau turun 0,003 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut membuat posisi Indonesia turun dari peringkat 58 ke peringkat 62 dari 129 negara. Di saat yang sama negeri tetangga kita, Malaysia, justru mengalami peningkatan. Posisinya melonjak dari peringkat 62 menjadi 56 setelah EDI-nya naik 0,011 poin menjadi 0,945.

Kondisi seperti ini bisa menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita masih jauh dari ideal. Potensi prestasi para pelajar negeri ini belum tergarap secara optimal. Harus diakui memang guru sekualitas ProfesorYohanes Surya belum banyak di negeri ini. Hanya sedikit saja pelajar yang menemukan kondisi ideal sehingga mereka bisa berkembang secara optimal. Para pelajar yang telah membuktikan diri di berbagai ajang lomba internasional itu adalah segelintir generasi muda yang “beruntung” mendapatkannya. Sementara ratusan ribu atau bahkan jutaan talenta pelajar lainnya sama sekali belum tergarap atau mungkin salah garap. Alih-alih bisa mengembangkan potensinya, mereka justru terjebak dalam pemikiran sempit, lulus Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN).

Jika kita melihat UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sesungguhnya yang menjadi tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3). Jadi tidak semata-mata mengejar kelulusan melalui UN atau UASBN. Tentu bukan hal mudah untuk mewujudkan itu semua. Komponen-komponen pendidikan seperti kurikulum yang tepat, sarana yang memadai, dan guru yang kompeten harus tersedia.

Upaya ke arah sana sebenarnya sudah dilakukan. Implementasi 20 persen anggaran pendidikan pun sudah mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan melalui pemenuhan komponen-komponen pendidikan sesuai dengan standar. Namun sekali lagi, kesungguhan para stakeholder pendidikan untuk memenuhinya, masih harus dilihat lebih cermat. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pendidik/guru misalnya, masih belum tertata rapi. Program sertifikasi guru, masih terkesan hanya formalitas, belum ada upaya yang sungguh-sungguh untuk meng-up grade kemampuan guru dan menyeleksinya secara cermat. Sehingga para pemegang sertifikat guru itu benar-benar mampu menjadi seorang profesional seperti yang tercantum dalam UU Guru dan Dosen (UU No. 14/2005) pasal 2 ayat (1)

Padahal tuntutan untuk menjadi profesional itu bukan hanya berimplikasi sebatas peningkatan standar gaji dan kesejahteraan, melainkan peningkatan kualitas dan kompetensi guru. Seorang guru dituntut tidak hanya mampu mentransfer ilmu yang dikuasainya, tapi lebih jauh dari itu, ia harus mampu menggali dan mengembangkan potensi peserta didiknya. Ia harus mampu menjadi fasilitator sekaligus dinamisator dalam proses pendidikan. Oleh karenanya ia harus memiliki penguasaan yang mendalam di bidang studi yang diajarkannya (subject-matter knowledge), juga kemampuan untuk mengajarkannya (pedagogical content knowledge).

Saat ini, memang guru tidak lagi menjadi satu-satunya mata air pengetahuan di kelas. Dengan perubahan struktur masyarakat, perkembangan metode pengajaran dan pemanfaatan teknologi informasi, para siswa bisa mendapatkan pengetahuan dari beragam sumber. Namun demikian, guru lah yang harus mampu mengarahkannya agar berdaya dan berhasil guna. Sebab tanpa arahan, bisa jadi ilmu dan pengetahuan justru menghasilkan dampak yang tidak diharapkan.

Dari sini kita melihat, sesungguhnya tuntutan yang melekat pada diri seorang guru, apalagi sebagai seorang profesional amatlah berat. Perlu upaya keras untuk kembali menjadikan guru sebagai sosok yang layak digugu dan ditiru di tengah ancaman dekadensi moral dan rendahnya kualitas pendidikan. Digugu segala petuah dan arahannya karena ia memang memiliki kompetensi ilmiah yang mumpuni, dan ditiru perilakunya karena ia memiliki akhlak yang patut diteladani.

Selain upaya pemerintah, perlu ada kesadaran dari para guru sendiri untuk berupaya menjadi guru yang profesional. Tanpa kesadaran itu, semua upaya hanya akan sia-sia. Kesadaran bahwa profesi guru adalah profesi yang mulia, yang membutuhkan kesungguhan dan konsistensi dalam pelaksanaannya akan mendorong para guru untuk senantiasa meng-up grade diri. Termasuk memanfaatkan segala peluang dan fasilitas yang ada. Meski program sertifikasi terkesan formalitas karena uji sertifikasinya “hanya” menyaratkan pengumpulan dokumen portofolio sebanyak 850 poin. Namun jika dilandasi kesadaran dan semangat untuk menjadi guru yang profesional, tentu peluang berlaku tidak fair, seperti pemalsuan dokumen yang sangat mudah dilakukan, akan dihindari jauh-jauh. Para guru akan terpacu untuk meningkatkan kemampuannya sesuai dengan tuntutan yang melekat pada profesinya.

Sebagai imbalannya, tentu seorang guru yang profesional harus mendapatkan penghasilan dan perlindungan yang layak atas usahanya. Sudah barang tentu kelayakannya bukan hanya sekadar cukup untuk makan dan hidup, tapi cukup pula untuk mengembangkan diri dan kemampuannya. Karena sejatinya seorang guru adalah seorang pembelajar sepanjang hayat. Ia harus terus meningkatkan kompetensinya sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, karena itulah yang harus ia wariskan kepada para anak didiknya.
Jika kesadaran ini sudah tertanam kuat pada setiap insan pendidik, maka adalah tugas pemerintah untuk memberikannya fasilitas yang memadai. Jika pemerintah mampu memasilitasi guru menjadi insan profesional yang tidak lagi dipusingkan dengan pendapatan, memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan seiring kemajuan ilmu dan teknologi serta memiliki ruang ekspresi sesuai profesinya, maka tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam UU Sisdiknas bukanlah hal mustahil untuk dicapai secara paripurna.

Indah rasanya jika membayangkan guru-guru di Indonesia memiliki kemampuan akademis seperti Profesor Yohannes Surya. atau memiliki moralitas dan jiwa pengabdian seperti yang diperlihatkan Guru Harfan dan Bu Muslimah dalam film populer Laskar Pelangi. Itulah gambaran profesionalisme guru yang kita nantikan demi kemajuan kualitas pendidikan di negeri ini. (*)


Jakarta, 9 Juni 2009



Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda