Wajar kiranya jika setiap pergantian apakah itu posisi atau jabatan memunculkan harapan baru. Ada sebuah perbaikan dan kemajuan yang akan terjadi. Demikian pula dengan bidang kesehatan yang kini punya nakhoda baru, Endang Rahayu Sedyaningsih. Terlepas dari segala kontroversi seputar rekam jejaknya, adalah wajar jika saat ini masyarakat membebankan harapan akan adanya perbaikan di sektor kesehatan pada dirinya.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih (ERS) diharapkan mampu meningkatkan derajat kesehatan negeri ini beranjak dari keterpurukan. Salah satunya adalah mewujudkan Visi Indonesia Sehat 2010 dan memenuhi target Millenium Development Goals (MDGs). Percepatan pemenuhan target MDGs ini bahkan dimasukkan dalam Program 100 Hari Menkes. Meski keduanya (Visi Indonesia Sehat 2010 dan MDGs) bukan merupakan tujuan akhir dan hanya kriteria dasar yang harus dipenuhi untuk membangun negeri yang sehat, namun terbukti hal ini bukan pekerjaan mudah. Hingga kini Indonesia masih tertatih-tatih untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) yang menjadi salah satu indikator tingkat kesehatan suatu bangsa.
Meski Indonesia berhasil menurunkan AKI dari 425 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 1992 menjadi 248 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2007 lalu, namun butuh upaya ekstra keras untuk memenuhi target yang dicanangkan pada Visi Indonesia Sehat 2010. Dalam program kesehatan yang dicanangkan sejak era pemerintahan Presiden BJ Habibie tersebut, pada AKB tahun 2010 dipatok tak lebih dari 150 per 100 ribu kelahiran hidup. Mampukah angka itu dicapai dalam kurun waktu hanya beberapa bulan ke depan sebelum berupaya memenuhi target MDGs pada tahun 2015 yang menetapkan AKI sebesar 104 per 100 ribu kelahiran hidup?
Kinerja Kesehatan
Untuk menjawabnya perlu bukti yang merupakan hasil dari kinerja keras yang terencana dengan matang. Konsep kesehatan yang ada sekarang sebenarnya sudah mengarah ke arah yang positif. Konsep pembangunan kesehatan ber-Paradigma Sehat yang merupakan jiwa dari Visi Indonesia Sehat 2010 sangat menekankan pentingnya upaya promotif dan preventif dalam setiap program yang ada, tentu saja tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif. Hal ini dipahami pula oleh para pemangku kepentingan di sektor kesehatan, bahwa pendekatan promotif dan preventif menjadi sangat efektif untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, termasuk memenuhi target-target yang telah ditetapkan, baik target nasional 2010 maupun MDGs 2015. Inilah harapan dan bentuk kinerja kesehatan yang diharapkan masyarakat dari Depkes dibawah pimpinan ERS.
Namun pada praktiknya, seringkali pengelolaan kesehatan selalu bertumpu pada upaya kuratif dan rehabilitatif. Sebagai contoh, upaya penanganan penyakit baru marak ketika sudah terjadi wabah. Demikian pula pembiayaan kesehatan yang dominan diarahkan pada pengobatan dan pemulihan orang sakit, ketimbang upaya pencegahannya. Lihat saja program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dijadikan prioritas pemerintah --termasuk dalam program 100 hari menkes baru—sejatinya adalah pembiayaan terhadap upaya pengobatan masyarakat.
Belum pernah kita dengar di akhir-akhir ini pemerintah menginisiasi program promosi hidup sehat dan pencegahan penyakit semasif dan sebersemangat menjalankan program Jamkesmas yang memang populer di mata masyarakat. Program-program penyuluhan dan promosi hidup sehat langsung di masyarakat akhir-akhir ini terasa kurang greget. Padahal ini menjadi kunci pencapaian peningkatan derajat kesehatan masyarakat seperti yang ditargetkan dalam Visi Indonesia Sehat 2010 dan MDGs.
Target-target yang ada dalam MDGs dan Visi Indonesia Sehat 2010, seperti penurunan AKI, Angka Kematian Bayi (AKB), gizi buruk, wabah penyakit menular sesungguhnya bisa dipenuhi dengan pola-pola pencegahan yang langsung melibatkan masyarakat. Sehingga yang dibutuhkan sekarang adalah memperkuat upaya-upaya tenaga kesehatan yang terjun langsung ke masyarakat. Hal ini akan sulit terwujud jika lembaga kesehatan yang menjadi ujung tombaknya, yaitu puskesmas tak berdaya.
Revitalisasi Puskesmas
Sejalan dengan visi Departemen Kesehatan saat ini yaitu mewujudkan masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat, peran puskesmas seharusnya menjadi sangat dominan. Tiga fungsi puskesmas yang ada yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, dan sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama, mengarah langsung pada pembentukan masyarakat yang secara mandiri berupaya meningkatkan derajat kesehatannya.
Sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, puskesmas ditugasi untuk menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya agar menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan. Termasuk dalam fungsi ini puskesmas harus secara aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari setiap program pembangunan, juga mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan dan pemulihan.
Fungsi puskesmas sebagai pusat pemberdayaan masyarakat membawa puskesmas berupaya agar masyarakat memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat. Puskesmas juga harus berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaan, juga ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan.
Dalam perannya menjalankan fungsi ketiga, yaitu sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama, puskesmas harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan, yang terdiri atas kesehatan perorangan dan kesehatan masyarakat.
Yang dimaksud pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (private health) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah dengan rawat inap.
Sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat adalah yaitu pelayanan yang bersifat public (public health) dengan tujuan memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat itu antara lain berupa promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat, serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.
Melihat dari fungsi dan cakupan kerjanya, puskesmas sebenarnya memiliki peran yang jauh lebih strategis dari rumah sakit dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Perannya bukan seperti rumah sakit yang menunggu pasien yang datang berkunjung, tapi lebih banyak pada peran menjemput bola. Puskesmas harus aktif mendatangi masyarakat untuk menjalankan program-program kesehatannya yang sebagian besar mengajak keterlibatan masyarakat untuk turut serta. Jadi tidak heran jika sebagian besar waktu tenaga kesehatan puskesmas seharusnya dihabiskan pada layananan kesehatan di luar ruang berupa penyuluhan dan pengembangan masyarakat yang sehat.
Dengan demikian, sebenarnya puskesmas lah yang seharusnya bisa menjadi ujung tombak dalam upaya-upaya pencapaian target MDGs maupun Visi Indonesia Sehat 2010. Dengan kata lain, puskesmas memegang peranan kunci dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, revitalisasi peran puskesmas mutlak harus dilakukan dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daerah.
Mengingat tugas para tenaga kesehatan di puskesmas tidak berfokus pada aspek penanganan medis semata, bahkan sebagian besarnya adalah upaya pengorganisasian masyarakat untuk terlibat langsung dalam pengelolaan kesehatan secara mandiri, maka tenaga kesehatan yang diterjunkan harus pula dibekali dengan kemampuan untuk mengelola modal sosial yang ada di masyarakat. Oleh karenanya, kemampuan komunikasi, manajerial, dan pemahaman adat istiadat serta kebiasaan masyarakat menjadi hal yang perlu dikuasai oleh para tenaga kesehatan di tingkat puskesmas.
Tentu saja peran tersebut tak sepenuhnya bisa diemban oleh dokter, bidan dan perawat yang selama ini menjadi tenaga inti pengelola puskesmas. Untuk menjadikan puskesmas sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat, maka puskesmas juga harus memiliki tenaga ahli gizi, kesehatan masyarakat, dan sanitarian (kesehatan lingkungan).
Keterbatasan tenaga kesehatan yang tersedia tidak boleh jadi penghalang untuk melengkapi puskesmas dengan tenaga-tenaga profesional tersebut. Jika pada periode lalu, Menteri Kesehatan terdahulu, Siti Fadillah Supari menyatakan bahwa sekitar 30 persen dari 7.500 puskesmas yang ada tak memiliki dokter, maka untuk saat ini dan periode mendatang hal ini tak boleh lagi terjadi. Peran puskesmas sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan memang menuntut adanya kelengkapan tenaga profesional. Jika tidak, maka kejadiannya akan sama seperti sebelumnya, puskesmas hanya akan menjalankan peran kuratif dan rehabilitatif seadanya.
Oleh karena itu, harus diterapkan konsep “penciptaan” dan penempatan tenaga kesehatan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan puskesmas, mulai dari aspek ideologi hingga aspek teknis. Para tenaga kesehatan harus diarahkan agar memiliki keinginan menjadi bagian dari ujung tombak pembangunan kesehatan di puskesmas. Dari sisi keterampilan teknis juga harus dibekali dengan keterampilan penunjang yang dibutuhkan dalam bersosialisasi dengan masyarakat.
Penyediaan tenaga kesehatan ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya revitalisasi puskesmas di samping kelengkapan sarana dan prasarana pendukung yang sesuai. Untuk puskesmas yang masyarakatnya berada di daerah yang sulit dijangkau, tentu fasilitas yang harus dipenuhi adalah alat transportasi yang mampu menjangkau daerah tersebut. Tak elok kiranya memberikan fasilitas kendaraan berupa motor bebek untuk tenaga kesehatan yang bertugas di daerah perbukitan terjal. Fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan adalah salah satu kunci keberhasilan program puskesmas.
Pada gilirannya, program pemberdayaan puskesmas ini akan bermuara pada satu hal yaitu pendanaan. Jika ditinjau dari segi besarannya, tentu tidak sedikit. Namun jika ini dilihat bukan sebagai ongkos yang harus dikeluarkan, tapi sebagai investasi masa depan, maka jumlahnya tak kan sebanding dengan perbaikan di masa datang yang tek ternilai dengan uang. Jika masyarakat sehat, tentu beban negara untuk menyubsidi biaya pengobatan pun akan semakin berkurang, selain itu munculnya generasi yang sehat dan cerdas menjadi harapan baru masa depan yang lebih baik dan lebih produktif.
Untuk itu alokasi anggaran yang pada Undang-undang kesehatan ditetapkan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD, akan lebih bijaksana jika diprioritaskan untuk melakukan revitalisasi puskesmas. Sekali lagi ini bukanlah ongkos yang memberatkan, tapi investasi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. (*)
Opini Harian Pelita, 14 Desember 2009
Selengkapnya...
Senin, 15 Februari 2010
Kinerja Menkes dan Revitalisasi Puskesmas
Gizi Buruk dan Lost Generation
Wacana pembentukan Badan Gizi Nasional oleh Menko Kesra Agung Laksono, beberapa waktu lalu, makin menegaskan urgensi penyelesaian masalah gizi buruk di negeri ini. Menilik namanya, tampaknya pemerintah berupaya lebih serius menangani persoalan gizi buruk, sebagaimana keseriusan pemerintah menangani masalah penyalahgunaan narkotik dengan membentuk Badan Narkotika Nasional. Dari sisi dampak, masalah penyalahgunaan narkotik dan gizi buruk memang memiliki kemiripan. Keduanya sama-sama berpotensi menyebabkan hilangnya sebuah generasi (lost generation).
Secara medis, kekurangan gizi yang terjadi berkepanjangan akan mengakibatkan kerusakan permanen pada beberapa organ, meski telah dilakukan upaya penyelamatan. Penderita gizi buruk juga rentan terhadap infeksi dan mengalami gangguan fungsi seperti pembengkakan hati, pengecilan otot, dan peradangan kulit. Tentu saja jika tidak ditangani dengan baik, risiko kematian menjadi sangat besar.
Dampak gizi buruk yang bersifat permanen sangat dimungkinkan terjadi pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Kekurangan gizi pada masa ini, terlebih masa golden period (0-3 tahun), tidak hanya menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan fisik, tetapi juga perkembangan mental dan intelektual sang anak akan mengalami gangguan serius. Efeknya terlihat dari rendahnya tingkat kecerdasan, rentan terhadap penyakit, gangguan dalam pemusatan perhatian, lambatnya perkembangan kemampuan kognitif, dan berbagai gangguan lain yang berdampak pada rendahnya kualitas manusia secara umum.
Dampak menakutkan dari gizi buruk ini sebenarnya sudah dipahami sejak lama. Tak mengherankan jika berpuluh tahun lalu upaya pengentasan gizi buruk ini sudah dilakukan. Pembentukan Lembaga Makanan Rakyat (LMR) yang digagas Bapak Gizi Indonesia Dr Poorwo Soedarmo pada tahun 1950 adalah salah satu tonggak upaya perbaikan gizi masyarakat secara nasional. Sejak saat itu pula semboyan "empat sehat lima sempurna" begitu akrab di telinga masyarakat.
Meski telah banyak kemajuan yang telah dicapai dalam upaya penyelesaian gizi buruk, namun hingga kini masih banyak masyarakat yang menderita gizi buruk. Riset kesehatan dasar (riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional gizi buruk pada anak balita mencapai 5,4 persen dan gizi kurang sebesar 13 persen. Dari data yang sama juga diketahui bahwa sebesar 13,3 persen anak laki-laki dan 10,9 persen anak perempuan usia sekolah (6-14 tahun) terkategori kurus berdasarkan perbandingan berat/tinggi badan.
Lebih jauh, hasil riskesdas tersebut mencatat sebanyak 21 provinsi dan 216 kabupaten/kota memiliki prevalensi gizi buruk di atas rata-rata nasional (5,4 persen). Sedangkan berdasarkan gabungan hasil pengukuran gizi buruk dan gizi kurang, ditemukan sebanyak 19 provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas rata-rata nasional atau di atas 18,4 persen.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masa depan bangsa ini masih dalam kondisi terancam kehilangan generasi yang berkualitas. Generasi yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi kurang gizi atau gizi buruk akan sulit bersaing dengan yang lainnya. Pada gilirannya mereka akan tersisih dan berpotensi menjadi mata rantai penyebab gizi buruk generasi berikutnya.
Tentu saja hal tersebut tak boleh terjadi. Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Salah satu bentuk perlindungan kepada bangsa ini adalah upaya perlindungan dari bahaya laten kehilangan generasi yang diakibatkan gizi buruk.
Secara khusus pelaksanaannya bisa mengacu pada UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau (pasal 141 ayat 3). Bahkan, pemerintah harus bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam kondisi darurat (pasal 142 ayat 30). Lebih jauh lagi, pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi (pasal 143).
Program Prioritas
Atas dasar hal tersebut, maka penanganan gizi buruk haruslah menjadi prioritas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penanganannya tidak hanya sebatas menyediakan sumber makanan yang memenuhi unsur kecukupan gizi, tapi lebih dari itu, upaya peningkatan pengetahuan masyarakat menjadi poin penting yang juga harus dipenuhi. Mengapa? Soalnya, penyebab gizi buruk di masyarakat tidak semata-mata disebabkan oleh keterbatasan akses masyarakat terhadap produk pangan yang berkualitas sebagai akibat dari kemiskinan. Faktor rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap masalah gizi dan kesehatan, pola konsumsi yang tidak tepat, adanya adat dan kebiasaan yang kurang baik, serta gangguan organ tertentu yang membuat serapan terhadap zat-zat gizi tidak bisa optimal juga dapat menjadi penyebab.
Kondisi ini mendorong upaya penyelesaian kasus gizi buruk harus digarap secara multisektoral. Kegiatan promosi dan edukasi terhadap masyarakat tentang gizi harus mendapat perhatian serius. Promosi masalah pengelolaan gizi harus dilakukan secara masif, sehingga informasi tentang bahan makanan bergizi, pengolahan yang tepat, pola konsumsi yang baik serta hal-hal yang berkaitan dengan penanggulangan gizi buruk bisa diperoleh dengan mudah oleh masyarakat, tersebar secara luas dan dilakukan secara terus-menerus.
Kegiatan promosi akan sangat berpengaruh jika memanfaatkan seluruh saluran komunikasi secara optimal, seperti pemanfaatan sarana periklanan yang sekarang ini biasa dipakai baik yang termasuk above the line advertising media seperti, iklan layanan masyarakat di media massa maupun yang dikategorikan below the line advertising media dengan mengemas pesan pada barang-barang (merchandise) yang biasa dipergunakan seperti payung, muk dan lain-lain. Model promosi gizi seperti ini bisa melibatkan banyak pihak seperti kalangan dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Selain itu, upaya promosi secara tradisional pemanfaatan sarana-sarana komunikasi di masyarakat juga harus ditingkatkan intensitasnya. Pada sisi ini, para tokoh agama, adat dan masyarakat memiliki peran penting dalam menyukseskan perubahan pengetahuan dan perilaku masyarakat terkait peningkatan status gizi masyarakat.
Secara umum, penanganan masalah gizi buruk tidak bisa dilakukan secara sporadis. Penanggulangan gizi buruk harus dilakukan secara terencana dan terarah dengan baik. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu membuat model penyelesaian masalah ini mulai A hingga Z secara tuntas, terutama untuk daerah-daerah yang memiliki prevalensi gizi buruk tinggi.
Jika upaya-upaya tersebut sudah dilakukan dengan tulus dan ikhlas disertai rasa tanggung jawab, bukan asal terlaksana, maka itulah yang dinamakan sebuah upaya yang serius. Tak salah kiranya jika keseriusan ini bisa dilihat dari apakah realisasi wacana pembentukan Badan Gizi Nasional ini mampu mengatasi kendala sektoral yang sekarang dihadapi atau malah sebaliknya. Mungkin kita harus bergegas secara optimal merealisasikannya, karena waktu tak pernah menunggu, sebagaimana bergantungnya masa depan pada generasi yang akan datang. ***
Opini Suara Karya, Senin 8 Februari 2010
Selengkapnya...
Jumat, 20 November 2009
Buku Zuber Safawi: Menata Jalan Menunaikan Amanah
Buat anda yang berminat, dapat menghubungi Sdr. Ery Pamungkas di 021 5756448 setiap hari kerja.