Jumat, 20 November 2009

Buku Zuber Safawi: Menata Jalan Menunaikan Amanah



Masalah kesehatan dan pendidikan adalah masalah mendasar bagi manusia. Bersama dengan taraf kemampuan ekonomi masyarakat, keduanya dijadikan acuan untuk mengukur sejauhmana keberhasilan suatu negara membangun bangsanya. Oleh karenanya pembangunan di sektor tersebut menjadi semacam etalase untuk melihat prestasi pengelola negara dalam menjalankan tugasnya.

Meski mengalami peningkatan, namun perkembangan derajat kesehatan dan tingkat pendidikan Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara-negara tetangga. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya.

Dalam kapasitasnya sebagai anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI yang pernah menduduki posisi Ketua Komisi X (bidang pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, perfilman, kebudayaan dan perpustakaan) dan Anggota Komisi IX (bidang kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi), Zuber Safawi, SHI, mengenal betul beragam permasalahan di dua bidang ini, baik dari sisi perencanaan kebijakan, maupun dalam tataran implementasinya.

Buku ini memuat kumpulan buah pemikiran Zuber Safawi dalam mengurai permasalahan di bidang kesehatan dan pendidikan sekaligus tawaran solusi atas setiap permasalahan yang ada. Sikap, pandangan dan komitmennya adalah manifestasi dari platform PKS dan interaksinya dalam upaya perbaikan di dua sektor ini.

Ada serangkaian upaya yang diurai secara rinci dalam buku ini. Dengan benang merah yang jelas, upaya memberikan jaminan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan haknya mendapatkan layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas, serta pendidikan yang bermutu yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup anak bangsa ini.

Buat anda yang berminat, dapat menghubungi Sdr. Ery Pamungkas di 021 5756448 setiap hari kerja.
Selengkapnya...

Senin, 06 Juli 2009

Guru dan Kualitas Pendidikan

Beberapa waktu lalu, sejumlah pelajar Indonesia kembali menorehkan sejarah gemilang dengan menjadi juara umum International Conference of Young Scientist (ICYS) yang diadakan di Pszczyna, Polandia. Dalam ajang yang melombakan presentasi hasil penelitian di bidang fisika, matematika, ilmu komputer, ekologi, dan bahasa Inggris ini, para pelajar Indonesia memperoleh medali terbanyak yakni enam medali emas, satu perak, dan tiga perunggu. Mereka yang dibimbing secara khusus oleh seorang mahaguru Profesor Yohanes Surya mampu mengalahkan para pelajar lain dari negara maju seperti Jerman, Belanda dan Amerika Serikat

Prestasi ini menjadi catatan manis yang perlu diingat, bahwa dengan pembimbing (guru) yang berkualitas, kurikulum yang tepat dan fasilitas yang memadai, sebenarnya para pelajar Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dari negara-negara lain. Hal ini dibuktikan dengan seringnya para pelajar Indonesia yang menorehkan prestasi gemilang dalam berbagai ajang internasional. Sayangnya prestasi tersebut tidak menggambarkan kualitas pendidikan negeri ini secara keseluruhan yang justru masih terpuruk. Beberapa tahun terakhir ini bahkan kualitas pendidikan kita seakan tenggelam.
Dalam laporan EFA (Education For All) yang dirilis dalam Global Monitoring Report (GMR) tahun 2008, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) Indonesia mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. EDI Indonesia untuk tahun 2007 hanya mencapai 0,935 atau turun 0,003 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut membuat posisi Indonesia turun dari peringkat 58 ke peringkat 62 dari 129 negara. Di saat yang sama negeri tetangga kita, Malaysia, justru mengalami peningkatan. Posisinya melonjak dari peringkat 62 menjadi 56 setelah EDI-nya naik 0,011 poin menjadi 0,945.

Kondisi seperti ini bisa menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita masih jauh dari ideal. Potensi prestasi para pelajar negeri ini belum tergarap secara optimal. Harus diakui memang guru sekualitas ProfesorYohanes Surya belum banyak di negeri ini. Hanya sedikit saja pelajar yang menemukan kondisi ideal sehingga mereka bisa berkembang secara optimal. Para pelajar yang telah membuktikan diri di berbagai ajang lomba internasional itu adalah segelintir generasi muda yang “beruntung” mendapatkannya. Sementara ratusan ribu atau bahkan jutaan talenta pelajar lainnya sama sekali belum tergarap atau mungkin salah garap. Alih-alih bisa mengembangkan potensinya, mereka justru terjebak dalam pemikiran sempit, lulus Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN).

Jika kita melihat UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sesungguhnya yang menjadi tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3). Jadi tidak semata-mata mengejar kelulusan melalui UN atau UASBN. Tentu bukan hal mudah untuk mewujudkan itu semua. Komponen-komponen pendidikan seperti kurikulum yang tepat, sarana yang memadai, dan guru yang kompeten harus tersedia.

Upaya ke arah sana sebenarnya sudah dilakukan. Implementasi 20 persen anggaran pendidikan pun sudah mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan melalui pemenuhan komponen-komponen pendidikan sesuai dengan standar. Namun sekali lagi, kesungguhan para stakeholder pendidikan untuk memenuhinya, masih harus dilihat lebih cermat. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pendidik/guru misalnya, masih belum tertata rapi. Program sertifikasi guru, masih terkesan hanya formalitas, belum ada upaya yang sungguh-sungguh untuk meng-up grade kemampuan guru dan menyeleksinya secara cermat. Sehingga para pemegang sertifikat guru itu benar-benar mampu menjadi seorang profesional seperti yang tercantum dalam UU Guru dan Dosen (UU No. 14/2005) pasal 2 ayat (1)

Padahal tuntutan untuk menjadi profesional itu bukan hanya berimplikasi sebatas peningkatan standar gaji dan kesejahteraan, melainkan peningkatan kualitas dan kompetensi guru. Seorang guru dituntut tidak hanya mampu mentransfer ilmu yang dikuasainya, tapi lebih jauh dari itu, ia harus mampu menggali dan mengembangkan potensi peserta didiknya. Ia harus mampu menjadi fasilitator sekaligus dinamisator dalam proses pendidikan. Oleh karenanya ia harus memiliki penguasaan yang mendalam di bidang studi yang diajarkannya (subject-matter knowledge), juga kemampuan untuk mengajarkannya (pedagogical content knowledge).

Saat ini, memang guru tidak lagi menjadi satu-satunya mata air pengetahuan di kelas. Dengan perubahan struktur masyarakat, perkembangan metode pengajaran dan pemanfaatan teknologi informasi, para siswa bisa mendapatkan pengetahuan dari beragam sumber. Namun demikian, guru lah yang harus mampu mengarahkannya agar berdaya dan berhasil guna. Sebab tanpa arahan, bisa jadi ilmu dan pengetahuan justru menghasilkan dampak yang tidak diharapkan.

Dari sini kita melihat, sesungguhnya tuntutan yang melekat pada diri seorang guru, apalagi sebagai seorang profesional amatlah berat. Perlu upaya keras untuk kembali menjadikan guru sebagai sosok yang layak digugu dan ditiru di tengah ancaman dekadensi moral dan rendahnya kualitas pendidikan. Digugu segala petuah dan arahannya karena ia memang memiliki kompetensi ilmiah yang mumpuni, dan ditiru perilakunya karena ia memiliki akhlak yang patut diteladani.

Selain upaya pemerintah, perlu ada kesadaran dari para guru sendiri untuk berupaya menjadi guru yang profesional. Tanpa kesadaran itu, semua upaya hanya akan sia-sia. Kesadaran bahwa profesi guru adalah profesi yang mulia, yang membutuhkan kesungguhan dan konsistensi dalam pelaksanaannya akan mendorong para guru untuk senantiasa meng-up grade diri. Termasuk memanfaatkan segala peluang dan fasilitas yang ada. Meski program sertifikasi terkesan formalitas karena uji sertifikasinya “hanya” menyaratkan pengumpulan dokumen portofolio sebanyak 850 poin. Namun jika dilandasi kesadaran dan semangat untuk menjadi guru yang profesional, tentu peluang berlaku tidak fair, seperti pemalsuan dokumen yang sangat mudah dilakukan, akan dihindari jauh-jauh. Para guru akan terpacu untuk meningkatkan kemampuannya sesuai dengan tuntutan yang melekat pada profesinya.

Sebagai imbalannya, tentu seorang guru yang profesional harus mendapatkan penghasilan dan perlindungan yang layak atas usahanya. Sudah barang tentu kelayakannya bukan hanya sekadar cukup untuk makan dan hidup, tapi cukup pula untuk mengembangkan diri dan kemampuannya. Karena sejatinya seorang guru adalah seorang pembelajar sepanjang hayat. Ia harus terus meningkatkan kompetensinya sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, karena itulah yang harus ia wariskan kepada para anak didiknya.
Jika kesadaran ini sudah tertanam kuat pada setiap insan pendidik, maka adalah tugas pemerintah untuk memberikannya fasilitas yang memadai. Jika pemerintah mampu memasilitasi guru menjadi insan profesional yang tidak lagi dipusingkan dengan pendapatan, memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan seiring kemajuan ilmu dan teknologi serta memiliki ruang ekspresi sesuai profesinya, maka tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam UU Sisdiknas bukanlah hal mustahil untuk dicapai secara paripurna.

Indah rasanya jika membayangkan guru-guru di Indonesia memiliki kemampuan akademis seperti Profesor Yohannes Surya. atau memiliki moralitas dan jiwa pengabdian seperti yang diperlihatkan Guru Harfan dan Bu Muslimah dalam film populer Laskar Pelangi. Itulah gambaran profesionalisme guru yang kita nantikan demi kemajuan kualitas pendidikan di negeri ini. (*)


Jakarta, 9 Juni 2009



Selengkapnya...

Selasa, 30 Juni 2009

BOS dan Sekolah Gratis

Mulai tahun 2009, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) meluncurkan program sekolah gratis. Hal ini terlihat dari iklan yang dibintangi oleh Cut Mini –aktor pameran guru Muslimah dalam film Laskar Pelangi- yang kita lihat beberapa waktu di televisi. Program sekolah gratis sendiri dikaitkan dengan adanya paket Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dilakukan pemerintah sejak 2006 dan diberikan kepada sekolah SD-SMP Negeri, MI-MTs dan sekolah Swasta di seluruh Indonesia.
Kebijakan BOS dilaksanakan sebagai implementasi UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengamanatkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Itu artinya anak-anak usia SD di semua wilayah Indonesia harus sekolah hingga jenjang SMP tanpa dibebani dengan beragam pungutan dari pihak sekolah.
Masalahnya adalah benarkah sekolah gratis itu tidak menarik biaya dari siswanya sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat ? Mengapa hingga kini kita masih mendengar adanya keluhan dari orang tua murid terkait adanya beragam pungutan liar di lingkungan sekolah? Sisi gratis yang didengungkan Depdiknas perlu diperjelas konsepnya agar tidak terjadinya kesimpangsiuran makna sekolah gratis. Jika tak ada konfirmasi yang jelas tentang apa yang digratiskan itu maka dikhawatirkan masyarakat terutama di desa-desa yang awalnya tertarik menyekolahkan anaknya justru berbalik menuding adanya kebohongan dan tidak menyekolahkan anak-anaknya. Bagi mereka pemahaman sekolah gratis adalah semua biaya anak-anak sekolah ditanggung pemerintah.
Untuk menyikapi kebingungan publik, pemerintah perlu segera mensosialisasikan tentang ide sekolah gratis ini secara terbuka. Termasuk pula menjelaskan tentang kriteria pengelolaan dana BOS sebagai salah satu penopang dana wajib belajar di sekolah. Pemerintah perlu pula mensosialisasikan PP No. 48/2008 tentang pembiayaan pendidikan yang mencakup biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan/pengelolaan pendidikan dan biaya pribadi peserta didik. Biaya satuan pendidikan sendiri terdiri dari biaya investasi, biaya operasional untuk personalia maupun nonpersonalia, bantuan dana pendidikan dan beasiswa. Sementara biaya pribadi peserta didik adalah dana yang harus dikeluarkan peserta didik untuk bias mengikuti proses pendidikan. Disini jelas terlihat bahwa tidak semua dana pendidikan ditanggung pemerintah seperti biaya peserta didik yang menjadi tanggung jawab masyarakat khususnya orangtua siswa.
Peran Pemda
Tahun 2009 ini, Pemerintah bersama DPR menaikkan anggaran dana BOS hingga 50 % menjadi sekitar 16 trilyun. Sebelumnya pada tahun 2008 dana BOS hanya Rp 11, 2 trilyun. Jika kita melihat alokasi anggaran pendidikan yang mencapai 20 % dari APBN 2009 yakni Rp 224 trilyun maka tahun ini 7,5 % dana pendidikan dialokasikan untuk BOS ini. Dengan dana sebesar Rp 16 trilyun, maka mulai Januari 2009, BOS naik secara signifikan menjadi SD di kota Rp 400 ribu, SD di Kabupaten Rp397 ribu, SMP di Kota Rp 575 ribu dan SMP di Kabupaten menjadi Rp 570 ribu. Dengan jumlah BOS sebesar ini seharusnya tak ada lagi keluhan dari peserta didik tentang biaya operasional sekolahnya.
Namun biaya BOS memang tidak mungkin mencukupi untuk pembiayaan operasional sekolah secara penuh sehingga kemungkinan pihak sekolah memungut biaya kepada siswa sangat mungkin terjadi. Di sinilah beragam keluhan dari orang tua atau wali murid bermunculan karena program sekolah gratis tidak seperti yang mereka bayangkan semua. Mungkin orang tua siswa masih mampu membiayai dana keperluan anaknya, tapi beragamnya pungutan yang dilakukan pihak sekolah –meski melalui mekanisme komite sekolah- tetap menjadi beban berat mereka.
Program BOS dan sekolah gratis yang digagas pemerintah memang akan sulit memenuhi harapan masyarakat khususnya warga miskin yang masih memiliki beban ekonomi keluarga meski dana BOS telah naik hingga 50% pada tahun ini. Oleh karena sebagaimana amanat UU 20/2003, beban pembiayaan pendidikan juga ditanggung oleh pemerintah daerah (pemda). Jika pemerintah pusat mengalokasikan dana APBN sebanyak 20% untuk sektor pendidikan maka pemda seharusnya berkontribusi yang sama yakni menyisihkan 20% anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk bidang pendidikan.
Dari daftar kebijakan BOS tahun 2009, pemerintah dalam hal ini Depdiknas setidaknya memberikan 3 peran penting kepada pemda. Pertama, pemda wajib memenuhi kekurangan biaya operasional BOS melalui APBD jika dana BOS dari Depdiknas tidak mencukupi. Kedua, pemda wajib mensosialisasikan dan melaksanakan kebijakan BOS serta memberikan sanksi tegas kepada pihak yang melanggar. Dan ketiga, pemda wajib mengendalikan pungutan biaya operasional di SD dan SMP swasta sehingga siswa miskin bebas dari pungutan tersebut dan tidak ada pungutan berlebihan terhadap siswa yang mampu.
Dari kebijakan diatas, peran pemda cukup strategis terutama untuk menjamin kesediaan dana BOS bila tidak mencukupi melalui mekanisme anggaran APBD-nya. Meski diakui tidak semua pemda baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota bersedia menyisihkan 20 % anggaran APBD untuk sektor pendidikan setidaknya ada political will dari pemda untuk mengawal dan mengawasi pelaksanaan kebijakan BOS di lapangan. Pengawasan ini amat penting mengingat peluang untuk melakukan korupsi dan kolusi bisa saja terjadi baik yang dilakukan pihak sekolah, dinas pendidikan atau pihak lainnya. Apalagi selama tahun 2008 menurut kajian BPK ditemukan banyak penyimpangan dalam pengelolaan dana BOS yang berpotensi merugikan negara seperti yang terjadi di beberapa sekolah di DKI Jakarta.
Tentu kita tidak ingin jika dana BOS yang awalnya diperuntukkan untuk mensukseskan program wajib belajar justru dimanfaatkan oleh segelintir pihak yang ingin mencari keuntungan semata. Oleh karena itu, peran pengawasan yang melekat pada masyarakat harus dimanfaatkan guna menjamin transparansi dan akuntabilitas para pengelola dana BOS ini. Peran orangtua melalui komite sekolah juga amat penting agar kontrol dan penyaluran dana BOS dapat tepat sasaran terutama menjelang tahun ajaran baru ini. Jika ini terjadi, maka harapan anak-anak Indonesia untuk menikmati sekolah gratis yang dikampanyekan pemerintah melalui paket dana BOS bukanlah sebuah mimpi. Wallahu a’lam bisshawab


Jakarta, 9 Juni 2009 Selengkapnya...

Ujian Nasional yang Kehilangan Makna

Tertangkapnya 16 Kepala Sekolah SMA di Kabupaten Bengkulu Selatan oleh aparat kepolisian akhir April lalu karena tertangkap basah mengisi soal Ujian Nasional (UN) untuk dibocorkan kepada para siswanya menjadi preseden buruk dalam dunia pendidikan kita. UN yang diharapkan bisa menjadi instrumen peningkatan mutu pendidikan, justru berefek sangat buruk. Mungkin sudah tak terhitung kritik dan komentar negatif terhadap pelaksanaan UN tersebut. Tetapi pemerintah tetap bersikukuh menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa.
Ada baiknya kita lihat kembali mengapa UN dijadikan sebagai patokan untuk menentukan kelulusan peserta didik. Sejak era kemerdekaan hingga sekarang beragam metode untuk mengevaluasi hasil proses pendidikan pernah diterapkan. Pada kurun waktu 1945 hingga 1971 dikenal istilah Ujian Negara sebagai sarana penentuan kelulusan. Ujian, mulai dari penyiapan bahan hingga pelaksanaan dan evaluasi sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah pusat. Pada masa itu, para lulusan sekolah diakui memiliki kualitas yang tinggi. Sayangnya jumlah lulusannya rendah.
Pada tahun 1971-1983 sistem Ujian Negara dihapus dan digantikan dengan Ujian Sekolah. Sesuai namanya, pelaksanaan ujian dan penentuan kelulusan dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak sekolah. Hal ini berdampak pada tidak adanya standar kelulusan, meski angka kelulusan tiap tahunnya hampir 100 persen.
Sistem ini kemudian diganti dengan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang memadukan antara standarisasi nasional dan penentuan kelulusan oleh sekolah. Sebagian mata pelajaran diujikan secara nasional dan selebihnya menjadi wewenang sekolah untuk mengevaluasinya. Hasilnya tak berbeda jauh dengan sebelumnya, angka kelulusan tetap hampir 100 persen. Hal ini terjadi karena pihak sekolah mengkatrol nilai siswanya, sehingga apa pun hasil ujian yang dilaksanakan secara nasional tak berpengaruh kepada kelulusan.
Di satu sisi penentuan kelulusan siswa oleh sekolah adalah wajar, karena pihak sekolah lah yang lebih mengetahui kualitas siswanya. Penilaian pun tidak hanya didasarkan pada sisi kognitif (pengetahuan), tapi ada sisi afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) yang jadikan pertimbangan sesuai dengan penjelasan pasal 35 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisidiknas). Dalam penjelasan pasal itu disebutkan bahwa kompetensi lulusan harus mencakup aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Dengan alasan ini, wajar kiranya, jika sekolah masih meluluskan siswa yang nilai ujian tak begitu bagus. Bisa jadi seorang siswa yang sebenarnya pandai namun karena ada suatu hal ia gagal dalam ujian, namun pihak sekolah tetap meluluskannya karena nilai kesehariannya bagus. Namun jika semua siswanya jadi lulus dengan mengkatrol nilai ujian dari mata pelajaran yang diujikan sekolah, maka inilah sebenarnya mata rantai rendahnya kualitas lulusan sekolah di negeri ini yang harus segera dibenahi.
Perilaku Curang
Dari sini memang jelas terlihat bahwa yang menjadi masalah utama bukanlah sistem evaluasi yang lemah, melainkan merebaknya moral hazard di kalangan pelaku pendidikan. Maka tak heran jika UN yang secara saklek menentukan batas minimal kelulusan berakibat pada meningkatnya perilaku curang. Mulai dari upaya membocorkan soal dan jawaban UN oleh pihak sekolah hingga mark up hasil ujian siswa di tingkat penyelenggara pendidikan daerah (dinas pendidikan). Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan persentase kelulusan, mengingat hal tersebut terkait erat dengan gengsi sekolah dan daerah. Selain itu, persentase angka kelulusan tersebut juga menjadi dasar pertimbangan alokasi bantuan pemerintah pusat terhadap daerah dan sekolah.
Perilaku moral hazard ini terjadi karena ketidakpercayaan para stakeholder pendidikan terhadap hasil proses pendidikan yang sudah dilakukan. Standar nilai kelulusan minimal rata-rata 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya dirasakan terlalu berat untuk dicapai para siswa. Maklum, meski sudah ada delapan standar kualitas pendidikan nasional yang meliputi standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidikan dan tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan pendidikan, dan penilaian pendidikan, kenyataannya masih banyak sekolah yang masih jauh dari standar, apalagi di daerah yang jauh dari perkotaan.
Akibatnya tentu sangat sulit untuk menghasilkan siswa dengan kualitas yang diharapkan, jika unsur-unsur penunjangnya tak mendukung. Jalan pintas yang banyak dipilih adalah berbuat curang. Kecurangan yang tidak hanya dilakukan siswa secara sporadis seperti mencontek, atau berbagi jawaban, tapi telah melembaga menjadi kecurangan secara terstruktur yang melibatkan banyak unsur. Pembocoran jawaban soal UN dan mark up hasil UN adalah salah satu contohnya.
Terlalu cepat kiranya jika standar kelulusan nasional ini diberlakukan saat ini ketika standar kualitas proses pendidikan dan segala pendukungnya belum tercapai atau bahkan belum diberlakukan. Lebih jauh, jika dilihat dari sisi yuridis formal, kewenangan pemerintah pusat sebenarnya bukan untuk meluluskan peserta didik, melainkan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sesuai dengan amanat pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas. Sedangkan penentuan lulus tidaknya peserta didik adalah kewenangan pendidik, dalam hal ini guru dari siswa yang bersangkutan. Hal ini diatur jelas dalam pasal 58 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas, “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Hilang Makna
Pemaksaan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan peserta didik, membuat pendidikan mengarah hanya pada pengembangan kemampuan kognitif saja. Bahkan, UN telah banyak mengubah metode belajar yang cukup berefek pada kemampuan peserta didik memahami masalah. Para guru dan pengajar biasanya menggenjot kemampuan siswa dengan metode drilling, yaitu melatih siswa untuk mengerjakan soal-soal yang mungkin akan keluar dalam UN. Siswa tidak lagi diajari untuk memahami pelajaran secara utuh, namun bagaimana mereka terbiasa dengan soal-soal yang diprediksi akan muncul dalam UN.
Jika ini berlanjut, sekolah sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran sudah kehilangan makna. Sekolah tidak lagi menjadi tempat untuk memperoleh pemahaman, namun semata sebagai tempat untuk mendapatkan predikat kelulusan. Hal ini makin terlihat jelas ketika beberapa sekolah memprioritaskan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, bahkan tak jarang yang mengabaikan mata pelajaran yang lain. Bukan hal aneh lagi bagi siswa kelas 3 SMA dan SMP yang hanya digembleng dengan latihan menjawab soal untuk mata pelajaran yang di-UN-kan.
Melihat begitu banyak dampak buruk yang ditimbulkan dan beberapa ketidaksesuaian secara yuridis formal, maka penerapan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan adalah kurang tepat. Untuk saat ini, metode penentuan kelulusan seperti metode EBTANAS atau sejenisnya rasanya masih pas untuk dilaksanakan. Tentu saja dengan penekanan pada perbaikan pada kualitas proses pendidikan dan menekan moral hazard pada level minimal. Kejujuran dalam pendidikan adalah kunci utama dalam membangun bangsa yang cerdas dan berkarakter.
Agaknya ungkapan Guru Harfan –tokoh pendidik dalam film Laskar Pelangi- yang mengatakan bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari deretan angka-angka tapi dari budi pekerti anak didik sebagai hasil pendidikan yang dilakukan dengan tulus dan penuh pengabdian patut kita renungkan maknanya.

Jakarta, 18 Mei 2009
Selengkapnya...

Selasa, 19 Mei 2009

Mengikis Diskriminasi Pendidikan

PENDIDIKAN dasar dan menengah adalah landasan utama untuk meraih kemajuan bangsa di segala bidang. Tak ada negara yang mencapai kemajuan tanpa diringi oleh keberhasilan menjalankan proses pendidikan dasarnya. Oleh sebab itu, UUD 1945 telah mengamanatkan kepada negara untuk memberi kepastian pendidikan kepada setiap warga negara tanpa kecuali.

Pendidikan yang bertujuan membentuk karakter bangsa yang maju, beradab dan melestarikan nilai-nilai luhur bangsa harus senantiasa menjadi prioritas pemerintah. Oleh karena itu patut kita syukuri ketika pemerintah pada tahun 2009 berkomitmen untuk merealisasikan anggaran 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945.

Dengan anggaran pendidikan yang mencapai 1/5 dari APBN ini, pemerintah memiliki modal yang cukup kuat untuk membangun dan mengembangkan sektor pendidikan agar lebih maju, berkualitas dan merata. Namun komitmen pemerintah tentu masih diperlukan lebih luas terutama dalam proses pengaturan dan pengawasan terhadap anggaran pendidikan tersebut. Perlu ada kejelasan program dan langkah-langkah konkret untuk merealisasikan anggaran tersebut secara terukur di lapangan. Ini penting mengingat fungsi pengaturan dan pengawasan sering kali lemah dan memicu terjadinya inefisiensi anggaran.

Meski pemerintah telah memberikan anggaran 20 persen kepada sektor pendidikan, namun peran masyarakat untuk berkontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa tidak mungkin hilang. Beragam sekolah swasta mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) yang banyak berdiri di Indonesia adalah bukti komitmen masyarakat dalam membantu Pemerintah mencerdaskan anak negeri ini. Harus diakui sejak negeri ini merdeka 64 tahun lalu belum semua lapisan masyarakat bisa menikmati layanan pendidikan berkualitas yang diberikan pemerintah.

Pada 11 Juni 2003, Pemerintah dan DPR bersepakat mengesahkan Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( UU Sisdiknas) yang memiliki beberapa visi baru yang mengubah fundamental pengelolaan pendidikan Indonesia. Setidaknya ada lima paradigma baru yang tersirat dalam UU Sisdiknas ini yakni demokratisasi-otonomi daerah, peran masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, serta non-diskriminasi (Anwar Arifin, 2003: 2).

Lima komitmen baru ini tercantum dalam UU Sisdiknas No 20/2003 yang seharusnya menjadi frame of work bagi pemerintah dalam merencanakan, mengembangkan dan mengawasi proses pendidikan di Indonesia agar berjalan sesuai dengan amanat UUD 1945 yakni pendidikan bermutu, terjangkau dan anti-diskriminasi.

Sesuai UU No 20/2003, pemerintah pada 2009 ini berkomitmen merealisasikan harapan masyarakat dengan menganggarkan 20 % dana APBN untuk sektor pendidikan. Kebijakan ini mestinya juga diikuti dengan komitmen pemerintah dalam mengayomi semua unsur pendidikan tanpa membeda-bedakan yang dapat melahirkan problem diskriminasi dalam proses pendidikan. Hal ini penting mengingat adanya heterogenitas dalam unsur-unsur pendidikan tidak mungkin dinafikan begitu saja khususnya ditingkat pendidikan Dasar dan Menengah.

Sebagai pihak yang dibebani oleh negara dalam menjamin hak-hak warga negara dalam mengenyam pendidikan, pemerintah sedianya mampu menghilangkan beragam diskriminasi dalam pelaksanaan program pendidikan di tanah air. Harapan ini tentunya menjadi pendorong bagi terbukanya saluran pendidikan yang dapat diakses secara luas oleh semua kalangan. Bahwa pendidikan adalah hak paling mendasar maka perlu segera pembenahan sikap dan kebijakan terkait dengan pengikisan diskriminasi ini.

Sejatinya sikap diskriminasi yang terjadi dalam pendidikan dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa setiap orang memiliki beragam perbedaan baik dari usia, dana,dan kecerdasan. Sehingga muncul beragam kebijakan yang mengarah pada sikap pembedaan antar peserta didik, antar sekolah dan juga kurikulumnya. Dampaknya persaingan antarsiswa, sekolah dan kurikulum kian tajam dan justru mereduksi tujuan pendidikan nasional mewujudkan manusia-manusia yang humanis dan toleran. Jika dikriminasi ini terus berlanjut boleh jadi kerukunan dan sikap moderat akan terkikis dengan sikap individualis, sombong dan merendahkan pihak lain.

Dikriminasi lainnya tampak dalam sikap pemerintah yang lebih memperhatikan sekolah umum (negeri) dibandingkan sekolah berbasis agama seperti madrasah dan pesantren. Alokasi dana fisik dan kesejahteraan bagi guru-guru madrasah-pesantren jarang mendapat porsi memadai. Ibarat anak tiri, madrasah dan pesantren lebih banyak mengandalkan dana swadaya guna menopang proses ajar-mengajarnya.

Padahal negeri ini telah dibantu oleh jasa-jasa madrasah-pesantren dalam melahirkan tokoh-tokoh nasional yang mewarnai perjalanan hidup bangsa. Tokoh besar seperti Jenderal Soedirman, H. Agus Salim dan lainnya lahir dari rahim pendidikan berbasis agama Islam ini. Sehingga sikap diskriminasi yang merendahkan lembaga pendidikan madrasah dan pesantren sepatutnya diakhiri. Apalagi UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah secara jelas menyebutkan ketiadabedaan antara lembaga pendidikan agama dan lembaga pendidikan umum. Ini artinya meski lembaga pendidikan madrasah dan pesantren berada dalam naungan Depag, keduanya berhak mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum yang berada di bawah naungan Depdiknas.

Sikap diskriminasi nampak pula dari program pemerintah yang membagi-bagi sekolah dalam kavling sekolah unggulan-biasa, sekolah favorit-nonfavorit, sekolah berstandar nasional-internasional. Meski didasari oleh niat meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, klasifikasi ini justru dapat memicu kecemburuan dan sikap intoleran anak didik. Kecemburuan sosial dapat terjadi akibat besarnya anggaran dan fasilitas yang berikan kepada sekolah yang bertipe unggulan dibanding sekolah biasa.

Sikap dan emosi anak didik juga akan sedikit banyak terpengaruh oleh predikat sekolah unggulan dan sekolah biasa. Ini tentu amat sangat mudah menimbulkan gesekan antar anak didik. Banyaknya tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta misalnya boleh jadi dilatarbelakangi rasa egoisme predikat sekolah tersebut.

Seyogianya sikap memberlakukan sekolah secara adil justru akan menimbulkan efek persaingan secara positif dan merangsang stakeholder sekolah memberikan yang terbaik untuk kemajuan pendidikan di tingkatan masing-masing. Sekolah yang baik mestinya tidak didasari oleh predikat-predikat hiperbolis tetapi lebih didasarkan dari komitmen dan keseriusan dalam proses ajar-mengajar sehingga siswa mampu menerima semua ilmu yang diterima secara memadai tanpa terhalang terhadap oleh diskriminasi klasifikasi sekolah yang dibuat-buat.

Jika pemerintah berlaku adil maka semua sekolah mampu menjadi sekolah unggulan. Dalam artian sekolah menjadi sarana efektif bagi pembentukan karakter siswa yang positif dan berbudi pekerti yang luhur. Alokasi dana bila diatur secara adil juga akan mampu merangsang sekolah-sekolah untuk memberikan yang terbaik buat anak didiknya. Tentu saja kesejahteraan guru sebagai figur utama juga harus menjadi catatan sendiri agar mereka mampu memberikan ilmunya secara optimal kepada anak didiknya..

Terakhir kita perlu merenungi ucapan Guru Harfan - tokoh pendidik dalam film Laskar Pelangi- bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya didasari oleh deretan angka-angka dan fasilitas tetapi oleh cerminan hati dan kebaikan budi pekerti anak didik sebagai buah dari proses pendidikan yang dilakukan secara tulus, kontinyu dan penuh pengabdian. Tentu saja hal ini dapat terwujud manakala semua pihak berupaya mengikis diskriminasi yang telah menggurita khususnya dalam sistem pendidikan dasar dan menengah kita. Wallahu 'alam bisshawab.

Zuber Safawi, S.HI.
(Penulis adalah anggota DPR RI FPKS)

Tanggal : 13 May 2009
Sumber : Harian Terbit

Selengkapnya...

Rabu, 06 Mei 2009

Pemerintah Didesak Segera Bereskan Jamkesmas

Jakarta, CyberNews. Anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi mendesak pemerintah segera membereskan masalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pemerintah harus segera mengambil langkah agar program Jamkesmas ini bisa terlaksana dengan baik sesuai amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004.

Hal ini, lanjut Zuber, perlu dilakukan meng-ingat hingga kini masih belum jelas pihak mana yang akan mengelola jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin ini. Padahal UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No. 40/2004) sudah memberi batas waktu bahwa Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS), sebagai pelaksana program harus sudah terbentuk pada bulan Oktober 2009.

"Pilihannya dua, merevisi UU No 19/2003 tentang BUMN atau segera menyusun UU tentang BPJS," tegas politisi PKS dalam pernyataan pers kepada Suara Merdeka CyberNews, Selasa (5/5). Usulan revisi UU tentang BUMN ini muncul, menurut Zuber, karena dalam UU No 2/1992 tentang Asuransi disebutkan bahwa program asuransi sosial hanya boleh diselenggarakan oleh BUMN.

Masalahnya, BUMN adalah lembaga profit, sementara prinsip BPJS menurut UU SJSN harus bersifat nirlaba. "Adanya ketidak-sinkronan aturan ini akan berimbas pada lambatnya pelaksanaan program. Padahal program ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat," tambahnya.

Zuber juga berharap agar pemerintah dan para stakeholder kesehatan mengedepankan kepentingan rakyat banyak dan mengesampingkan potensi konflik kepentingan yang ada. "Konflik antara Departemen Kesehatan dan PT Askes terkait pelaksanaan program askeskin beberapa waktu lalu hendaklah diselesaikan dengan mengedepankan kepen-tingan rakyat banyak," tutur Zuber.

Belum ditandatanganinya perjanjian kerja-sama antara pihak PT Askes dan Departemen Kesehatan tentang pelaksanaan Jamkesmas untuk tahun 2009 bisa jadi indikator adanya masalah yang belum terselesaikan antara kedua pihak tersebut. Zuber menyayangkan apabila masalah ini menyebabkan layanan kepada masyarakat menjadi menurun bahkan terhenti. (Imam M Djuki /CN05)

Sumber : Suara Merdeka, Selasa, 5 Mei 2009, 18:11 wib




Selengkapnya...

Selasa, 28 April 2009

Thousands Flock To Child 'Healer' In Indonesia

BALONGSARI, Indonesia (AP) - Ponari was just like any other kid in Indonesia until he was struck by lightning. When he awoke, the story goes, he found a gray stone on his head with magical 'healing' powers.

Soon tens of thousands of people were lining up under the blazing sun for hours, sometimes days. They carried cups, plastic bags or buckets of water, waiting for the 9-year-old shaman to dip in his rock to transform the water into a cure-all potion.

"I've tried going to hospitals, but it's always horrible," said Mohammad Anas, a 65-year-old with high blood pressure. "It was expensive, I was sent from one department to the next, waiting in long lines, filling out papers, and in the end, I still was sick ... I'd much rather take my chances here."

The interest in Ponari reflects the longtime popularity of shamans in Indonesia, where Hindu, Buddhist and animist beliefs and traditions held sway long before 14th-century traders brought Islam. But it also seems to suggest that some people, like Anas, have all but given up on the long-neglected health care system in this sprawling nation of 235 million people.

Chronic funding shortages and chaotic decentralization efforts have forced many local clinics in the poorest parts of the country to scale back operations in recent years, reducing the time and money spent on community outreach, education and routine immunization.

The result: skyrocketing cases of measles, tuberculosis and other preventable diseases and often too-late diagnoses of illnesses such as high blood pressure, stroke and cancer.

"The government doesn't spend near what it should," said Zuber Safawi, a lawmaker who oversees parliament's health commission, noting that only 1.1 percent of the country's gross domestic product goes to health. "It shows a real lack of political will."

Few if any can recall quite so much hysteria around a single healer, much less one as young as Ponari. The boy is exhausted and can barely hold up his head as he rides piggyback on one man, while another dips his hand into containers of water.

The lines of people waiting to see him stretch for miles (kilometers), and he has brought more than $500,000 into the economy of the desperately poor village of Balongsari. It costs 50 cents to see the boy shaman, and many people donate more money.

So eager are people to see Ponari that four died in a crush in February to reach him, temporarily forcing police to shut down his practice. It reopened last month, despite objections by the boy's father. Villagers punched the father in the face after he complained the third-grader was being exploited and belonged in school, playing with his friends.

"This is a hassle, sure," said Sudarmanto, a 45-year-old diabetic patient, as he jostled with the crowds to see Ponari, rent a room from villagers and find a place to park his car. "It's still cheaper and better than going to the hospital."

Another diabetes patient, Suyatman, 60, traveled 160 miles (257 kilometers) to see the boy shaman.

"I just don't trust state clinics," he said. Another woman nodded, smiling as she held up her ticket with her number in line - 4,138 - written in pen on a purple square of paper.

They, like others, said they were at first excited about a program introduced several years ago to provide free medical insurance to the country's most vulnerable. But they quickly became frustrated with the reams of paperwork and long waits, the result of so many people flocking to the hospitals for affordable care.

The plan, criticized as poorly enforced, also put a burden on the state. Some hospitals had to wait seven months before their bills were reimbursed. In many cases, patients with the free insurance cards said they were afraid that disgruntled doctors wouldn't give them the same time or attention as those who paid upfront.

Indonesian Health Minister Siti Fadillah Supari insists Ponari's case says nothing about the state of the country's health system.

"This is about desperate people looking for miracles," she said in a telephone text message. "As soon as they realize they won't get those miracles, the phenomenon will be over."-AP

Source : Associated Press, April 5th, 2009
Selengkapnya...

Senin, 27 April 2009

Stop Penggunaan Vaksin Antimeningitis

Jakarta, CyberNews. Anggota Komisi IX DPRRI Zuber Safawi mendesak Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) untuk segera melakukan verifikasi atas temuan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Sumatera Selatan. Lembaga di bawah MUI ini menemukan kandungan enzim porchin yang berasal dari binatang babi pada vaksin antimeningitis (anti radang otak) yang biasa digunakan para calon jamaah haji.

"Departemen kesehatan dan Badan POM harus segera melakukan penelitian terhadap vaksin yang disinyalir mengandung enzim babi," tegas Zuber dalam pernyataan pers kepada Suara Merdeka CyberNews, Selasa (28/4). Selama masa penelitian ulang tersebut, lanjut Zuber, pemakaian vaksin jenis yang sama harus dihentikan.

"Depkes dan BPOM harus memastikan vaksin yang digunakan oleh masyarakat terbebas dari kontaminasi barang haram. Jika terbukti vaksin tersebut terkontaminasi porchin, maka Depkes harus mengambil langkah tegas melarang penggunaan vaksin tersebut dan mencari alternatif penggantinya," papar anggota Fraksi PKS itu.

Zuber juga meminta agar Depkes dan Badan POM secara aktif melakukan uji terhadap kandungan vaksin-vaksin lain yang beredar, mengingat tak jarang bahan pencampur yang digunakan dalam pembuatan vaksin dan obat-obatan berasal dari zat yang masih diragukan kehalalannya.

Oleh karena itu Depkes, Badan POM dan LPPOM MUI harus berkoordinasi untuk menyelesaikan temuan tersebut. "Semakin cepat semakin baik. Jangan sampai memunculkan keresahan di kalangan masyarakat akibat penyelesaian yang lambat," tandas Zuber.

Masalah vaksin antimeningitis yang mengandung enzim babi tersebut mengemuka ketika Ketua MUI Sumsel, KH Sodikun, dan Ketua LPPOM MUI Sumsel, Prof Nasruddin Iljas menyampaikan hasil temuannya kepada publik, Jumat pekan lalu. Penelitan yang melibatkan beberapa pakar dari Universitas Sriwijaya ini menemukan bahwa vaksin antimeningitis yang digunakan oleh para jamaah haji Sumsel positif mengandung enzim porchin yang berasal dari babi.

(Imam M Djuki /CN05)

Sumber : Suara Merdeka Cybernews, 28 April 2009 Selengkapnya...

Senin, 02 Maret 2009

Memutus Rantai Gizi Buruk

PADA tahun 1950, Bapak Gizi Indonesia, Dr. Poerwo Soedarmo membentuk Lembaga Makanan Rakyat (LMR) untuk memperbaiki gizi masyarakat Indonesia. Namun, hingga berselang 59 tahun, kasus malnutrisi atau kekurangan gizi ini masih sering terjadi. Pemberitaan media massa kerap mengungkap kasus-kasus gizi buruk yang tidak hanya terjadi di daerah-terpencil tetapi juga di kota-kota besar seperti Jakarta. Pada akhir tahun 2008, DPR misalnya menduga 30 persen dari 110 juta balita di Indonesia menderita gizi buruk.

Hal ini menjadi alasan kuat untuk menjadikan penuntasan kasus gizi buruk menjadi program prioritas untuk diselesaikan pemerintah saat ini. Mengapa? Karena penderita gizi buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah calon penerus negeri ini.

Kekurangan gizi pada masa balita memang akan berpengaruh besar pada kualitas seseorang nantinya. Asupan gizi yang kurang pada dua tahun pertama pertumbuhan bisa menyebabkan gangguan serius bagi perkembangan otak yang mengakibatkan tingkat kecerdasan si anak terhambat. Padahal 80 persen pertumbuhan otak terjadi pada masa itu. Belum lagi hambatan pada pertumbuhan fisik dan sistem kekebalan tubuhnya yang tak sempurna. Bisa dibayangkan jika generasi muda bangsa ini tumbuh dalam keadaan seperti itu.

Hingga pertengahan tahun 2008, jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi masih pada kisaran 4 juta orang. Memang jika dilihat dari kaca mata statistik, angka ini persentasenya sangat kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan penduduk Indonesia yang jumlahnya telah mencapai lebih dari 220 juta orang. Namun tetap saja sekecil apapun jumlahnya jika menyangkut masalah kemanusiaan dan masa depan negeri ini, hal tersebut tak bisa diabaikan.

Departemen Kesehatan sendiri mengklasifikasikan angka tersebut dalam beberapa kategori. Ada yang disebut dengan gizi kurang, risiko gizi buruk dan gizi buruk. Yang disebut gizi buruk adalah kondisi gizi kurang hingga tingkat yang berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.

Menurut Data Depkes, awal Maret 2008, jumlah balita penderita malnutrisi pada tahun 2007 adalah 4,1 juta jiwa. Sebanyak 3,38 juta jiwa berstatus gizi kurang dan 755 ribu termasuk kategori risiko gizi buruk. Sekali lagi, jika dilihat dari kaca mata statistik, persentasenya memang tidak besar. Namun demikian, bisa jadi angka yang tercatat itu hanya fenomena gunung es. Kenyataan sebenarnya bisa jadi jauh lebih besar.

Di luar masalah keakuratan data, angka-angka tersebut disusun berdasarkan jumlah laporan. Berapa banyak kasus yang tidak terlaporkan. Mungkin karena perbedaan cara menentukan kategori, atau ketidaktahuan masyarakat jika apa yang menimpanya termasuk kasus gizi buruk, dan berapa pula yang tidak terpantau. Belum lagi jika melihat kasus gizi buruk ini sebagai aib yang bisa mengurangi penilaian keberhasilan pembangunan di suatu daerah, tentu datanya akan semakin ditekan sedemikian rupa sehingga tak muncul menjadi kasus yang besar.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus malnutrisi. Dana Anak-anak PBB atau UNICEF (United Nations Children's Fund) menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan. Sedangkan malnutrisi yang terjadi akibat penyakit disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.

Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat menjadi unsur penting dalam pemenuhan asupan gizi yang sesuai di samping perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak. Pengelolaan lingkungan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai juga menjadi penyebab turunnya tingkat kesehatan yang memungkinkan timbulnya beragam penyakit.

Meski Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya, bahkan tahun lalu kembali berhasil memenuhi sendiri kebutuhan pangannya (swasembada pangan), namun ternyata masih banyak masyarakat yang belum bisa memenuhi kebutuhannya akan bahan pangan. Faktor ekonomilah yang menjadi masalahnya. Demikian pula dengan perawatan kesehatan yang masih menjadi barang mewah di negeri ini. Kemiskinan telah telah membuat banyak penduduk Indonesia memilik akses yang sangat terbatas terhadap produk pangan yang berkualitas. Berdasarkan catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), jumlah penduduk yang masuk kategori miskin pada tahun 2008 mencapai 41,7 juta jiwa. Jadi jangan heran jika kasus gizi buruk masih sering terjadi.

Tetapi, kemiskinan bukanlah satu-satunya akar masalah gizi buruk. Tingkat pengetahuan dan pendidikan yang rendah menjadi faktor penting terjadinya kasus gizi buruk. Tak sedikit kasus gizi buruk menimpa keluarga yang sebenarnya mapan secara ekonomi. Penyebabnya, keluarga tersebut tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah gizi dan kesehatan. Ibarat rantai, maka banyak faktor yang saling berkait menjadi penyebab terjadinya lingkaran gizi buruk yang tidak ada habisnya. Perlu ada upaya untuk memutus mata rantai penyebab gizi buruk ini.

Peran Perempuan
Sebenarnya pemerintah memiliki banyak program untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, terutama bagi balita. Sebut saja program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita dan ibu hamil, penyuluhan kesehatan melalui posyandu, dan lain sebagainya. Ada pula program kesehatan murah, bahkan gratis kepada masyarakat. Namun efektivitas pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Matinya ribuan posyandu atau tidak terdistribusikannya makanan tambahan menjadi potret buram pelaksanaan program pencegahan kasus gizi buruk.

Yang baru terlihat adalah upaya sporadis ketika terjadi kasus gizi buruk. Tak hanya petugas kesehatan yang terlibat, aparat pemerintahan, bahkan politikus pun turut ambil bagian. Tapi untuk upaya pencegahan yang sifatnya kontinyu masih terkesan asal jalan. Ada hal penting yang sebenarnya bisa diprioritaskan menjadi target penyelesaian kasus gizi buruk di negeri ini. Pelibatan kaum perempuan secara intensif dalam program penanggulangan gizi buruk bisa menjadi kuncinya.

Mengapa kaum perempuan? Karena dalam budaya dan sistem sosial Indonesia, kaum perempuanlah yang mengelola rumah tangga, mulai dari manajemen belanja, mengasuh dan mendidik anak hingga menentukan menu makanan. Tentu jika kaum perempuan memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup tentang upaya-upaya pencegahan terjadinya gizi buruk, maka kasus gizi buruk kemungkinan besar bisa ditekan hingga ke angka minimal.

Faktanya masih banyak kaum perempuan yang abai tentang masalah ini, bisa jadi karena ketidaktahuan atau faktor lain. Hasil yang dikeluarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) periode 1997-2003 menunjukkan kenyataan yang mencengangkan. Hanya 14% ibu di Tanah Air yang memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan.

Padahal ASI adalah makanan terbaik untuk bayi. Selain mengandung gizi yang cukup lengkap, mengandung imun untuk kekebalan tubuh bayi, juga sesuai dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi dengan mudah diserap. Jika bayi tak mendapat ASI maka akan berdampak buruk pada kesehatan dan pertumbuhannya. Inilah salah satu contoh kesadaran dan pengetahuan mendasar tentang kesehatan yang harus diketahui dan diterapkan kaum perempuan, tentu dengan dorongan dan dukungan sepenuhnya dari suami dan kaum laki-laki.

Jika para ibu dan kaum perempuan paham betul tentang masalah gizi dan kesehatan tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan keluarga. Ia bisa menyediakan menu makanan dengan gizi yang cukup tanpa harus selalu mengeluarkan uang dalam jumlah banyak. Tidak sedikit bahan makanan yang bisa diperolah dengan biaya murah namun memiliki kandungan gizi yang tinggi, termasuk bagaimana memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber makanan dan obat-obatan keluarga.

Pengetahuan dan kebiasaan semacam ini bisa diperoleh kaum perempuan melalui penyuluhan secara intensif, misalnya melalui program posyandu, atau melalui forum lain. Oleh karenanya pemerintah harus memberikan perhatian yang intens untuk program seperti ini. Termasuk penghargaan kepada para kader kesehatan yang tak pernah lelah menjalankan tugasnya. Selama ini pemerintah terkesan mengesampingkan jasa-jasa mereka yang sebenarnya tidak kecil.

Selain secara informal, pendidikan kesehatan terutama masalah pemenuhan gizi keluarga, sudah selayaknya di berikan secara formal di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar hingga lanjutan. Kelangkaan muatan kurikulum tentang masalah gizi dan kesehatan menjadi salah satu penyebab rendahnya pengetahuan gizi dan kesehatan di masyarakat.

Dengan pembangunan pengetahuan dan kesadaran akan gizi dan kesehatan di kalangan kaum perempuan, setidaknya satu mata rantai kasus gizi buruk bisa kita putuskan. Tinggal bagaimana keseriusan pemerintah, masyarakat dan seluruh stake holder negeri ini menjalankan program pemberdayaan perempuan ini sebagai salah satu solusi penuntasan masalah gizi buruk di Indonesia. Sehingga kita berharap pada masa mendatang, kasus gizi buruk tidak lagi menghiasi halaman media massa dan digantikan dengan berita tentang anak-anak Indonesia yang sehat dan berkualitas.

(Dimuat di Harian Terbit, Senin 2 Maret 2009)



Selengkapnya...

Rabu, 25 Februari 2009

Desa Siaga, Antara Harapan Dan Kenyataan

Dalam rangka mewujudkan visi "Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat" dengan misi "Membuat Rakyat Sehat", Departemen Kesehatan telah membuat kebijakan "Pengembangan Desa Siaga" melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 546/Menkes/SK/VIII/2006 tanggal 2 Agustus 2006.

Diharapkan pada akhir tahun 2008, lebih kurang 70.000 desa di Indonesia telah menjadi desa siaga. Untuk tahun 2006 ditarget sebanyak 12 ribu telah menjadi desa siaga. Realistiskah kebijakan tersebut ? Ada beberapa hal yang harus dikritisi mengenai pengembangan desa siaga ini :
  1. Kriteria suatu desa telah menjadi desa siaga adalah sekurang-kurangnya desa tersebut telah memiliki Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Tidak jelas apakah cukup keberadaan sarana fisik (bangunan dan alat kesehatan) saja sehingga desa tersebut sudah masuk kategori desa siaga atau tidak hanya cukup keberadaan sarana fisik saja tetapi juga kegiatannya berjalan dengan baik baru desa tersebut dikategorikan desa siaga.
  2. Jika hanya sarana fisik yang menjadi indikator, maka cukup beralasan jika depkes menetapkan target desa siaga untuk 2006 adalah 12.000 desa telah menjadi desa siaga, karena salah satu alternatif pembangunan sarana fisik poskesdes adalah mengembangkan Pondok Bersalin Desa (Polindes) yang telah ada menjadi poskesdes. Menurut data BPS hasil Susenas 2005 bahwa dari 69.957 desa ada 26.455 desa (38%) yang telah memiliki polindes. Artinya secara fisik target tersebut telah dilampaui. Namun sayangnya tidak ada data dari jumlah polindes yang ada tersebut bagaimana kondisi bangunannya, apakah rusak berat, rusak ringan, bagaimana peralatannya, bagaimana keberadaan bidannya, padahal justru informasi ini yang sangat penting untuk diketahui agar perencanaan desa siaga benar-benar akurat. Apalagi jika penilaian indicator desa siaga mencakup berfungsi tidaknya poskesdes (indikator input + indikator proses), maka target tersebut sulit tercapai.
  3. Jika melihat tenaga kesehatan yang akan menyelenggarakan poskesdes yaitu bidan, tampaknya pelayanan kuratif akan tetap mengambil porsi yang lebih besar dari pada promotif dan preventif karena bidan diberikan wewenang untuk melaksanakan pelayanan medis dasar di poskesdes. Disisi lain, jika merujuk kepada UU No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Indonesia pasal 73 :
1) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

2) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.Artinya tenaga kesehatan (bidan atau perawat) diberikan kewenangan untuk melaksanakan pelayanan medis dasar namun peraturan perundangannya belum ada.

4). Jika fungsi poskesdes lebih diprioritaskan untuk peningkatan upaya promotif dan preventif serta membangun kemandirian masyarakat maka tidak cukup dengan tenaga seorang bidan saja untuk menghadle kegiatan-kegiatan poskesdes, tetapi harus melibatkan ahli gizi, kesehatan masyarakat, sanitarian yang langsung terjun ke masyarakat.

5). Untuk memandirikan masyarakat agar hidup sehat tergantung sejauh mana petugas kesehatan berinteraksi langsung dengan masyarakat atau lebih dikenal kunjungan rumah. Kegiatan kunjungan rumah sebenarnya sudah ada di puskesmas, tetapi selama ini kegiatan puskesmas lebih difokuskan kepada pelayanan dalam gedung saja.

6). Revitalisasi puskesmas maupun posyandu yang sudah digulirkan dua tahun belakangan ini hendaknya tidak hanya memperbaiki atau membangun gedung puskesmas serta peningkatan alat kesehatannya, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana program-program puskesmas tersebut bisa berjalan dengan baik. Artinya sejauh mana pemerintah konsen terhadap peningkatan kinerja tenaga kesehatan mulai dari pusat sampai puskesmas.

Agar pengembangan desa siaga dapat berjalan efisien dan efektif, maka ada beberapa hal yang penting dilakukan oleh depkes, antara lain :
  1. Membenahi / updating data kondisi polindes, posyandu beserta peralatannya termasuk keberadaan tenaga kesehatannya. Dari data tersebut diharapkan akan ada informasi berapa polindes yang sarana fisiknya masih baik, berapa yang rusak berat atau rusak ringan, berapa polindes yang masih ada bidannya, dan seterusnya sehingga ketika merencanakan anggarannya pun mempunyai dasar yang jelas.
  2. Pemerintah seharusnya sudah membuat peraturan perundangan yang memberikan kewenangan kepada tenaga kesehatan (bidan dan perawat) untuk melaksanakan pelayanan medis dasar.
  3. Agar pelayanan promotif dan preventif lebih diprioritaskan dengan tidak mengabaikan pelayanan kuratif, maka diperlukan tenaga ahli kesehatan masyarakat (SKM) untuk me-menej pos kesehatan desa agar berfungsi dengan baik disamping tenaga bidan atau perawat.
http://fpks-dpr.or.id/main.php?op=isi&id=2445&kunci=40
tanggal 12 Desember 2006
Selengkapnya...

Rabu, 18 Februari 2009

Perempuan dan Pembangunan Kesehatan

Di era modern seperti sekarang ini, ruang ekspresi menjadi sangat terbuka, termasuk bagi kaum perempuan. Selain peran domestik dalam keluarga, peran sosial, politik dan kemasyarakatan sudah sangat dijalankan kaum perempuan. Ini bukti bahwa semangat kemandirian dan kesetaraan peran yang digagas sejak Kongres Perempuan Indonesia 22 Desember 1928 lalu sudah terimplementasi dengan baik. Tanggal yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu tersebut menjadi momentum kebangkitan kaum perempuan secara struktural dan organisasional.

Secara ide cita-cita kaum perempuan ini sebenarnya sudah lama bergaung. Sejak awal abad ke-20 para tokoh seperti RA Kartini, Dewi Sartika, Rangkayo Rasuna Said, Cut Nyak Dhien telah menularkan kesadaran tentang pentingnya peran kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Peran inilah yang sekarang telah dijalani oleh banyak kaum perempuan di negeri ini.

Kini kita tak lagi sulit menemukan kaum perempuan yang menjadi politisi, akademisi, direktur perusahaan, bahkan sopir dan kondektur angkutan umum. Ini menandakan interaksi perempuan yang makin luas. Hal ini tentu saja memberikan tuntutan yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk menjadi solusi atas permasalahan yang ada.

Perempuan sekarang dituntut untuk mampu menjalankan perannya sebagai istri yang harus bekerja sama dengan suami untuk membangun rumah tangga yang harmonis. Ia juga harus berperan sebagai ibu yang melahirkan, mengasuh dan mendidik anak yang kelak jadi penerus bangsa. Di saat yang sama ia juga harus mampu berperan sebagai pendukung ekonomi keluarga di samping peran-peran sosial dan lingkungan yang kini juga melekat pada kaum perempuan.

Tak heran jika dalam Millenium Development Goals (MDGs/Tujuan Pembangunan Milenium) yang dikeluarkan oleh Komisi Sosial Ekonomi untuk Asia dan Pasifik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN ESCAP) banyak menyasar pada kaum perempuan. Ada delapan sasaran yang harus dicapai oleh negara-negara yang meratifikasi MDGs, yaitu penghapusan kemiskinan dan kelaparan ekstrem; pendidikan dasar untuk semua; mempromosikan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan; menurunkan angka kematian anak; memperbaiki kesehatan ibu hamil; menghentikan penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lain; pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan; serta kemitraan global dalam perdagangan dan sistem keuangan.

Dari delapan sasaran tersebut, dua diantaranya langsung fokus pada permasalahan kaum perempuan. Sedangkan lima lainnya akan mungkin dicapai jika ada pelibatan kaum perempuan secara intens. Sebagai salah satu dari 189 negara yang telah meratifikasi MDGs, maka Indonesia berkewajiban untuk memenuhi sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dalam MDGs.

Peningkatan kesehatan bagi dan oleh kalangan perempuan menjadi sangat penting dalam mencapai target MDGs. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang menjadi indikator bidang kesehatan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sangat ditentukan oleh kesehatan di kalangan perempuan. Dan, hingga kini kondisi kesehatan masyarakat kita (terutama kaum perempuan) masih sangat memprihatinkan.

Kualitas Kesehatan Rendah
Hingga saat ini AKI di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Tahun 2007 lalu AKI di Indonesia tercatat sebesar 248 per 100 ribu kelahiran. Hal yang tak jauh berbeda juga dengan AKB di tahun yang sama yang mencapai 26,9 per seribu kelahiran hidup. Padahal dalam MDGs ditargetkan pada tahun 2015 nanti AKI tidak lebih dari 104 per 100 ribu kelahiran.

Akibatnya, IPM Indonesia pun terpuruk di urutan ke-107 dari 177 negara. IPM Indonesia lebih rendah dari Vietnam yang berada di peringkat 105, Thailand (78), Malaysia (63), dan Singapura (25).

Tingginya AKI dan AKB di Indonesia bukan tanpa sebab. Keterbatasan akses terhadap makanan yang bergizi dan layanan kesehatan menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat kesehatan masyarakat Indonesia. Keterbatasan ekonomi sering menjadi penyebab masyarakat tak mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Demikian pula dengan layanan kesehatan yang hingga kini dirasakan amat mahal oleh sebagian masyarakat. Padahal gizi yang cukup dan pemeriksaan yang kesehatan yang teratur menjadi hal yang sangat berharga bagi masyarakat terutama bagi ibu hamil dan menyusui.

Tak heran jika selain tingginya AKI dan AKB, jumlah anak yang menderita gizi buruk pun cukup besar di negeri ini. Sekitar 27 persen balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Meski Departemen Kesehatan mencatat jumlah kasus gizi buruk terus mengalami penurunan, namun adanya kasus gizi buruk yang dialami calon generasi penerus ini sangat berbahaya bagi peningkatan kualitas pembangunan negeri ini.

Jika melihat lebih jauh terhadap rendahnya kualitas kesehatan masyarakat sekarang ini, maka tentu peran kaum perempuan menjadi sangat signifikan. Mengapa kaum perempuan? Karena perempuanlah yang biasanya mampu mengatur pola hidup dan pola konsumsi dalam keluarga. Jika ia mampu menciptakan pola hidup dan konsumsi yang sehat, maka AKI, AKB dan gizi buruk bisa ditekan ke level minimal.

Namun pada kenyataanya, justru masih banyak kaum perempuan yang belum memahami bagaimana menciptakan pola hidup dan konsumsi yang sehat. Hal ini terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan. Hal ini ditambah dengan minimnya pendidikan masalah kesehatan secara informal di masyarakat. Padahal jika melalui jenjang pendidikan formalpun, pendidikan tentang kesehatan dan pola konsumsi sehat ini tidak pernah diberikan secara khusus. Dalam kurikulum Sekolah Dasar misalnya, tak ada yang benar-benar fokus membahas masalah ini. Padahal masih banyak masyarakat yang hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat ini. Akibatnya, banyak remaja putri yang kemudian menjadi istri dan mengelola rumah tangga tak paham masalah kesehatan dan pola konsumsi yang baik. Banyak keluarga yang belum tahu bagaimana mengelola rumah tangga yang sehat dan pola konsumsi yang berkualitas.

Kasus gizi buruk maupun kematian pada bayi dan ibu melahirkan tidak semata-mata karena faktor ekonomi yang menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan terhadap akses gizi yang baik dan pelayanan kesehatan, namun tak jarang disebabkan ketidaktahuannya terhadap masalah ini. Kasus gizi buruk tak hanya terjadi di kalangan masyarakat kurang mampu, tak sedikit keluarga yang mapan secara ekonomi juga mengalami hal tersebut.

Banyak yang beranggapan bahwa makanan yang mahal dan enak sudah mencukupi. Padahal hal tersebut tak sepenuhnya benar, pola konsumsi dan kandungan gizi makanan yang tak tepat pun bisa menyebabkan kasus gizi buruk pada balita, juga terganggunya kesehatan ibu hamil dan janinnya. Sebaliknya, dengan pengetahuan yang baik tentang masalah kesehatan, seorang ibu bisa menyiapkan makanan yang sehat tanpa harus mengeluarkan uang terlalu banyak.

Peran Perempuan
Kembali ke semangat perjuangan kaum perempuan yang selalu direfleksikan dalam setiap peringatan Hari Ibu, juga Hari Kartini, yaitu perluasan peran kaum perempuan. Maka sesungguhnya kaum perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam pembangunan tanpa harus meninggalkan fungsi domestiknya sebagai ibu rumah tangga. Justru di situlah sebenarnya kunci permulaan peran kaum perempuan.

Kasus kematian bayi dan ibu melahirkan serta gizi buruk, sesungguhnya bisa dicegah melalui program yang terarah dan terencana yang melibatkan kaum perempuan sebagai subjeknya. Selama ini pembangunan kesehatan berbasis mayarakat yang gerakkan melalu posyandu telah berhasil meningkatkan taraf hidup kesehatan masyarakat. Bahkan program yang banyak dimotori oleh kaum ibu ini dijadikan rujukan oleh negara lain untuk mengembangkan sistem layanan kesehatannya.

Sayangnya, program ini sempat layu. Tak sedikit posyandu yang tinggal papan nama, kegiatannya tak lagi terlihat. Namun sejak 2006 lalu Departemen Kesehatan telah memprogramkan Desa Siaga, sebuah program peningkatan kesehatan berbasis masyarakat. Melalui program ini, selain merevitalisasi posyandu yang sempat terbengkalai, masyarakat didorong untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan.

Dan yang lebih penting, program ini tak lepas dari peran perempuan. Subjek dan objek program ini lebih banyak kepada kaum perempuan. Peningkatan kesehatan keluarga, ibu hamil dan menyusui, balita dan anak akan melibatkan banyak kaum perempuan dalam pelaksanaannya. Nantinya diharapkan melalui program ini kaum ibu mampu melaksanakan pelayanan kesehatan dasar secara mandiri dan meningkatkan kesehatan lingkungan serta pencegahan terhadap wabah penyakit yang kemungkinan terjadi.

Mungkin jika melihat langsung kegiatannya, tentu jauh dari kesan “berkelas” dan glamour yang sering dibayangkan jika orang berbicara emansipasi dan peran kaum perempuan dalam pembangunan. Tak seperti bussiness woman atau politisi perempuan yang sering diidentikkan sebagai perwujudan semangat hari ibu. Tapi kegiatan sehari-hari yang tak lepas dari perannya sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai anggota masyarakat.

Tapi percayalah melalui peran inilah pembangunan bangsa menciptakan manusia yang berkualitas bisa dilakukan secara paripurna.

Sumber : Republika, 22 Desember 2008



Selengkapnya...

Menanti Realisasi Anggaran Kesehatan

Pada peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) pada 12 Nopember lalu, kita kembali disinggung tentang pembangunan kesehatan berdasarkan Visi Indonesia Sehat 2010. Sebuah konsep pembangunan di bidang kesehatan yang disusun pada 26 Oktober 1998 oleh Menteri Kesehatan Achmad Sujudi. Konsep ini kemudian dicanangkan oleh Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai arah pembangunan di bidang kesehatan.

Penetapan 50 indikator teknis pada tahun 2003, menjadikan visi pembangunan di bidang kesehatan ini memang layak untuk dijadikan patokan. Tapi hingga dua tahun menjelang 2010, standar keberhasilan visi 2010 tersebut tampaknya masih jauh dari pencapaian. Ambil saja contoh ketersediaan tenaga kesehatan, dalam visi Indonesia Sehat 2010, rasio dokter per 100 ribu penduduk adalah 40, dokter gigi 11, dan bidan 100.

Namun dalam paparan Menteri Kesehatan dalam rapat terbatas bidang kesehatan dengan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 13 Juni 2007, ketersediaan tenaga kesehatan masih jauh dari apa yang diharapkan. Rasio dokter umum per 100 ribu penduduk baru mencapai 19,93, dokter gigi 5,05, dan bidan 35,40.

Angka ini tersebut tentu masih jauh dari target yang dicanangkan. Menurut Menteri Kesehatan, dalam sambutannya pada Hari Kesehatan Nasional setahun yang lalu, salah satu kendala untuk mencapai target tersebut adalah pembiayaan kesehatan yang terbatas dan pengalokasiannya yang belum optimal.

Anggaran Minim
Memang jika melihat anggaran kesehatan negeri ini, jumlah yang dialokasikan pada sektor ini masih terbilang minim. Meski ada kenaikan anggaran kesehatan dari 5,8 triliun pada 2005 menjadi 16 triliun pada tahun 2008, dan dianggarkan menjadi 19,3 triliun untuk tahun 2009, angka tersebut tetap saja masih jauh dari standar yang seharusnya. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan anggaran kesehatan minimal 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Begitu pula jika berpatokan dengan Tap MPR No.5/2003 yang mengharuskan anggaran kesehatan mencapai angka 15 persen dari total anggaran. Jika total APBN untuk tahun 2009 sebesar 1.037,1triliun, maka setidaknya alokasi dana untuk anggaran kesehatan bisa mencapai sekitar 155,6 triliun.

Jika melihat perbandingan anggaran kesehatan negara-negara anggota ASEAN, Indonesia memang menjadi salah satu negara yang memiliki anggaran kesehatan paling kecil. Dalam WHO World Health Report 2006, persentase anggaran kesehatan Indonesia terhadap PDB adalah yang terkecil dibanding anggota ASEAN lainnya. Anggaran kesehatan Indonesia hanya 2,2 persen dari PDB, lebih rendah dari Birma (2,3), Filipina (3,3), Singapura (3,4), Thailand (3,5), Laos (3,6), Malaysia (4,3), Kamboja (6,0), dan Vietnam (6,6). Alhasil dana yang dialokasikan untuk kesehatan setiap penduduk Indonesia (anggaran kesehatan per kapita) tak lebih dari 34 dolar AS pertahun, jauh di bawah Malaysia yang anggaran kesehatan per kapitanya mencapai 255 dolar AS, apalagi Singapura (1.035 dolar AS).

Meski demikian, minimnya anggaran kesehatan tersebut tidak menjadi alasan untuk bersikap pesimistik. Dengan arah yang jelas dan upaya yang sunguh-sungguh Visi Indonesia Sehat 2010 bukanlah sebuah kemusykilan untuk diwujudkan. Hanya saja dengan anggaran kesehatan yang serba terbatas, menjadikan sebagian penduduk ada yang sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Masyarakat dengan penghasilan pas-pasan tentu berisiko tidak mendapatkan layanan kesehatan yang layak akibat tingginya biaya kesehatan. Secara tidak langsung hal tersebut akan menghambat pencapaian target pembangunan di bidang kesehatan. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan kasus gizi buruk sebagian besar terjadi pada golongan masyarakat yang secara ekonomi berpenghasilan pas-pasan.

Jaminan Kesehatan
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus memprioritaskan pembangunan kesehatan untuk masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi. Oleh karena itu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat berdasar sistem asuransi harus segera diwujudkan. Apalagi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagai lembaga pengatur pelaksanaan sistem ini sudah terbentuk.

Berdasarkan Sistem Jaminan Sosial yang diatur dalam UU No. 40 tahun 2004, seluruh warga negara akan mendapatkan jaminan sosial dalam bentuk asuransi. Bagi masyarakat kurang mampu, premi asuransinya ditanggung oleh negara. Dengan sistem seperti ini, setiap warga negara tidak akan lagi dipusingkan dengan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Sehingga layanan kesehatan yang layak tidak hanya jadi monopoli kalangan masyarakat kelas atas.

Optimalisasi pelaksanaan UU No. 40/2004 ini menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat mengingat masalah kemampuan ekonomi menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Selain itu, ketersedian sarana kesehatan yang memadai juga menjadi salah satu prasyarat peningkatan kualitas layanan kesehatan.

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mencatat jumlah rumah sakit pada tahun 2005 sebanyak 1.268 unit. Sebanyak 626 unit dikelola oleh pihak swasta, hanya 452 unit yang dikelola pemerintah (Depkes dan Pemda). Selebihnya dikelola TNI dan Polri (112 unit), serta BUMN dan departemen lain (78 unit). Jumlah tersebut jauh dari memadai untuk melayani masyarakat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa. Terlebih, penyebarannya tidak merata, sebagian besar rumah sakit tersebut berada hanya di kota-kota besar.

Untuk mengatasi kelangkaan tersebut, mau tidak mau penambahan rumah sakit pemerintah harus menjadi opsi yang wajib dilaksanakan. Terutama di daerah-daerah yang selama ini jauh dari jangkauan layanan kesehatan.

Tak hanya itu, peningkatan kapasitas rumah sakit pemerintah juga harus menjadi prioritas pengembangan dalam jangka pendek ini. Penambahan daya tampung pasien, peningkatan kelengkapan sarana dan prasarana adalah hal yang harus diwujudkan untuk menampung membludaknya pasien, terutama di musim penyakit. Sehingga tak ada lagi cerita pasien yang dirawat di tempat yang tidak seharusnya, atau bahkan ditolak karena tak ada ruang untuk menampungnya.

Setidaknya dengan adanya jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, baik jaminan pendanaan melalui SJSN, maupun ketersediaan sarana kesehatan yang memadai dengan layanan yang layak, proses pengobatan dan rehabilitasi bagi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan tak lagi terhambat. Namun, sebuah negeri yang sehat seperti yang digagas dalam Visi Indonesia Sehat 2010 tidak hanya bisa dicapai dengan pendekatan kuratif dan rehabilitatif saja. Upaya yang terpenting adalah mencegah agar masyarakat tidak sakit dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat melalui pendekatan preventif dan promotif.

Tingginya angka gizi buruk yang mencapai 1,7 juta balita di awal 2007 lalu mungkin bisa ditekan menjadi lebih rendah dengan pendekatan kuratif. Namun, terganggunya pertumbuhan akibat kasus gizi buruk tersebut akan berpengaruh besar terhadap perkembangan kecerdasannya. Sebagaimana kita ketahui 80 persen perkembangan otak berlangsung pada usia balita. Perkembangannya sangat ditentukan oleh makanan yang dikonsumsinya. Zat gizi, seperti protein, zat besi, dan berbagai vitamin, termasuk asam lemak omega3, adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat tersebut bisa didapat dari makanan sehari-hari, seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya.

Di sinilah pentingnya pendekatan promotif dan preventif. Program posyandu dan sejenisnya adalah ujung tombak pendekatan ini. Sayangnya, sekarang sudah tidak lagi marak, akibat perhatian yang lebih banyak tersedot ke upaya penyehatan masyarakat yang sakit, termasuk dari sisi alokasi anggarannya.

Adalah hal yang bijak jika upaya peningkatan kesehatan ini menjadi hal yang diprioritaskan. Tidak semata-mata menekan agar angka gizi buruk tidak melambung tinggi, angka kematian bayi tidak , atau angka kematian ibu tidak meningkat, tapi lebih jauh dari itu, membangun masyarakat yang sehat dan terhindar dari penyakit. Prioritasnya sama seperti memprioritaskan pendidikan di negeri ini.

Mungkin kita harus melirik kembali standar WHO atau Tap MPR No.5/2003. Anggaran sebesar 5 persen dari total PDB atau 15 persen dari total APBN adalah investasi besar untuk membangun Indonesia masa depan. Apalah artinya anggaran pendidikan yang besar tanpa ditunjang oleh bahan baku berkualitas. Apalah artinya sekolah yang mentereng, fasilitas yang lengkap dan guru yang berkualitas, jika muridnya bodoh, loyo dan sakit-sakitan. Inilah saat yang tepat bagi pemerintah berkomitmen untuk merealisasikan politik anggaran kesehatan yang berpihak kepada rakyat. (*)

Sumber : Harian SUARA MERDEKA, 19 Desember 2008



Selengkapnya...

Hikmah Kasus Susu Melamin

Beberapa hari menjelang Idul Fitri kemarin, kita dikejutkan oleh penemuan kasus susu mengandung melamin asal China. Ibarat pepatah, karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga. Demikian pulalah yang terjadi di negeri tirai bambu itu. Susu yang umumnya memiliki manfaat yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan berubah menjadi penyebab penyakit. Tak kurang dari 10.000 bayi dan anak-anak di China mengalami sakit dan menjalani perawatan medis akibat minum susu yang mengandung nila alias melamin itu. Sungguh mengenaskan.

Melamin, zat yang biasa digunakan sebagai bahan pembuat plastik, pupuk dan pembersih ini yang ditambahkan sebagai pengental dan penambah kadar protein pada produk susu. Penambahan melamin ini dipercaya akan meningkatkan kadar nitrogen dalam susu yang menjadi indikator kandungan protein dalam produk makanan.

Pencampuran susu dengan melamin ini berakibat fatal. Diperkirakan saat ini, ribuan bayi yang mengonsumsi susu bermelamin menderita gagal ginjal akut. Beberapa di antaranya dilaporkan meninggal dunia. Kandungan melamin yang termasuk kategori logam berat dalam konsentrasi tertentu menyebabkan zat ini tidak bisa diuraikan oleh tubuh. Akibatnya terjadi penumpukan di ginjal yang kemudian menyebabkan terbentuknya batu ginjal dan kerusakan fungsi organ tubuh lainnya.

Masalahnya susu melamin ini menjadi semakin besar karena produk susu China dan produk turunannya tersebut tersebar pula ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia. Tentu, jika produk tersebut dikonsumsi bayi-bayi di Indonesia, maka peristiwa seperti di negeri tirai bambu pun berpotensi terjadi di Indonesia. Apalagi, beberapa produk makanan yang berbahan susu dan produk turunan dari China tersebut cukup familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Produk-produk makanan tersebut masuk melalui jalur impor resmi, tapi tak sedikit pula yang tak jelas prosedurnya. Yang jelas produk tersebut telah beredar luas, baik di pasar tradisional maupun di gerai-gerai belanja modern.

Seperti juga negara lain, pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) dan Depertemen Kesehatan mengumumkan 28 jenis produk yang mengandung susu dari China. Produk-produk tersebut mulai ditarik dari peredaran. Pemerintah juga menganjurkan kepada masyarakat untuk mengonsumsi produk makanan berkode MD (makanan produksi dalam negeri). Sementara makanan berkode ML (makanan luar), apa lagi yang berasal dari China, harus dihentikan peredarannya.

Tapi apakah ada jaminan makanan berkode MD lebih aman? Masih belum lepas dari ingatan kita ketika terjadi kasus susu formula yang tercemar bakteri Entero sakazakii beberapa waktu lalu. Belum lagi, kasus tahu dan ikan yang diawetkan dengan menggunakan formalin yang sering kali terjadi. Atau kasus makanan kadaluarsa dan daur ulang dari bahan yang tak layak untuk dikonsumsi.

Dari kasus-kasus tersebut, kesimpulan yang bisa kita ambil pun kemungkinan takkan jauh berbeda. Tidak ada jaminan bahwa makanan produksi dalam negeri lebih aman. Laporan dari Balai POM Semarang pada Bulan Juli 2007 menyebutkan 28,15 persen dari 1.600 sampel makanan yang ada di Semarang tidak layak untuk dikonsumsi. Makanan-makanan tersebut mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan.

Standar Kesehatan Minim
Tingginya angka makanan yang tidak layak konsumsi ini berkait erat dengan minimnya penerapan standar kesehatan produk pangan yang telah diatur oleh pemerintah sesuai Undang-undang no. 7/1996 tentang Perindungan Pangan. Hal ini ada hubungannya dengan perkembangan industri rumah tangga beberapa waktu terakhir ini. Beberapa di antaranya memang sama sekali tak menerapkan standar sesuai aturan yang berlaku. Namun, bukan berarti industri makanan skala besar bebas dari hal semacam ini. Meski pengawasannya lebih ketat, ada saja produk makanan dari perusahaan besar yang setelah diteliti ulang ternyata tidak layak untuk dikonsumsi.

Seringkali para produsen pangan itu berdalih dengan alasan tuntutan ekonomi. Produsen tahu dan ikan menggunakan formalin agar produknya lebih awet. Di samping penggunaan formalin bisa menghemat biaya jika dibandingkan jika ia harus menggunakan es untuk mengawetkannya. Prinsip ekonomi berlaku di sini. Semakin rendah biaya produksi bisa ditekan, maka itu akan semakin baik karena keuntungan yang bisa diperoleh pun akan semakin banyak.

Tak heran, jika kasus produk pangan yang bermasalah ini sering muncul pada momen peningkatan angka konsumsi, misalnya pada bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, natal dan tahun baru, juga pada momen-momen perayaan lainnya. Tapi tidak berarti pula di luar momen-momen tersebut, produk-produk yang beredar di pasaran semuanya aman untuk dikonsumsi. Faktanya sering ditemui produk pangan yang sudah kadaluarsa masih dijajakan penjual. Tidak hanya di pasar tradisional, di gerai-gerai perbelanjaan modern yang seharusnya lebih ketat dalam pengawasan dan standar keamanan, hal ini sering terjadi.

Edukasi Pangan
Ini semua menjadi indikator bahwa tingkat keamanan produk pangan di Indonesia masih rendah sehingga perlu ada upaya-upaya serius untuk menjamin makanan yang kita konsumsi aman dan menyehatkan. Lebih jauh lagi, makanan yang halalan thayyiban, makanan yang halal lagi baik.

Upaya ini harus melibatkan banyak pihak, mulai dari Departemen Kesehatan (Depkes), Balai POM, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag), Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga masyarakat itu sendiri. Masing-masing pihak menjalankan perannya sesuai dengan fungsinya masing-masing tapi dengan satu tujuan: menyelenggarakan perlindungan kepada masyarakat dari produk-produk yang tak layak konsumsi, sebagaimanan tercantum dalam pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No.32 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa, “Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan”.

Peran ini harus dijalankan secara sinergis di antara unsur yang ada. Depkes harus secara aktif melakukan edukasi dan penanaman arti penting kesehatan kepada masyarakat, baik konsumen maupun yang bertindak sebagai produsen. Sehingga muncul kesadaran untuk tidak mengejar keuntungan ekonomi dengan mengorbankan kesehatan sebagian anggota masyarakat yang lain.

Sebab, disadari atau tidak, maraknya produk makanan yang tak layak konsumsi selain disebabkan oleh ketidaktahuan untuk mengolah makanan sehat, faktor ketidakpedulian terhadap dampak akibat tindakan untuk memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kesehatan orang lain pun cukup dominan. Hal ini harus diikuti oleh langkah-langkah penegakan hukum (law enforcement) bagi para pelaku dengan mempertimbangkan efek jera dan unsur pendidikan. Sehingga para pelaku tak akan mengulangi perbuatannya.

Di sisi lain Balai POM harus aktif melakukan pengawasan dan pengujian terhadap produk-produk makanan yang beredar, termasuk yang berasal dari luar negeri. Kerja sama dengan Deperindag, untuk memantau produk-produk impor termasuk standar komposisi bahan pembuat produk menjadi sangat penting. Jangan sampai produk makanan sudah lebih dulu beredar tanpa melalui proses pengujian dan rekomendasi dari dua badan ini.

MUI sebagai otoritas yang bisa memberika fatwa halal dan haram, juga harus aktif bekerja sama mengawasi produk-produk pangan yang ada. Agar makanan yang beredar tak hanya memenuhi kriteria kesehatan jasmani saja, kesehatan rohani pun perlu dengan adanya jaminan kehalalan produk. Makanan-makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat umum harus didorong untuk lolos uji kehalalan yang ditandai dengan sertifikat halal.

Dan terakhir, masyarakat sebagai pengguna akhir produk pangan, dituntut untuk bersikap kritis terhadap produk makanan yang ada. Daftar kandungan bahan makanan seperti yang disyaratkan bukan sekadar penghias kemasan, tapi sebagai bahan acuan untuk memilih makanan. Jika ada yang tak sesuai, atau ada kandungan yang membahayakan, maka secara aktif masyarakat harus menyampaikannya baik kepada produsen, penjual, pemerintah, maupaun ke lembaga-lembaga konsumen.

Hal ini harus diimbangi dengan keterbukaan pihak produsen atau penjual terhadap komplain atau masukan terhadap produknya. Inilah yang nampaknya yang masih jarang di negeri ini, bahkan cenderung sebaliknya. Lihat saja bon belanja dari toko-toko yang sering menuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan lagi”. Mungkin harus ada aturan yang menjamin konsumen dari hal-hal semacam ini.

Akhirnya, semuanya akan kembali kepada kita semua. Apabila kita serius dengan diri kita untuk mengawasi produk pangan yang bermutu, mengajak orang lain dan menuntut lembaga-lembaga berwenang untuk melaksanakan fungsinya, insya Allah negeri ini akan terhindar dari produk-produk pangan yang membahayakan. Semoga kasus susu China ini menjadi hikmah besar bagi bangsa ini untuk meningkatkan awarness terhadap keamanan produk pangan tanpa kecuali. Jangan sampai ada lagi racun dalam setiap teguk susu yang dikonsumsi khususnya oleh anak-anak dan cucu kita.

Wallahu a’lam bisshawab.

Sumber : Harian TERBIT, 15 Oktober 2008
Selengkapnya...

Mencari Solusi Problem Tenaga Kesehatan

Salah satu aspek penting dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) tenaga kesehatan. Problem SDM kesehatan terutama dokter, bidan dan perawat di Indonesia saat ini adalah jumlah yang tidak memadai dan distribusi yang tidak merata. Hal ini berdampak terhadap kualitas dan aksesbilitas layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Kasus mewabahnya penyakit kolera di Nabire pada Juli 2008 misalnya, karena masyarakat tak mampu menjangkau layanan kesehatan secara cepat karena jaraknya yang relatif jauh dan sulit.

Penyediaan tenaga kesehatan harusnya menjadi tugas dan target utama pemerintah sebagai komitmen pelaksanaan pasal 28 UUD 1945. Jika kesehatan menjadi hak asasi bagi tiap warganegara maka pemerintah harus memenuhi kewajibannya termasuk penyediaan tenaga kesehatan. Kebutuhan mendesak tenaga kesehatan terutama sangat dibutuhkan oleh daerah terpencil, tertinggal dan wilayah perbatasan (dacilgaltas). Ini dapat terlihat dari data Depkes 2006, dari 364 puskesmas di daerah dacilgaltas yang tersebar di 64 kabupaten pada 17 provinsi, 184 puskemas (51 persen) belum memiliki dokter. Ini tentu memprihatinkan mengingat kebutuhan kesehatan yang kian meningkat.

Peningkatan Kuantitas
Ketersediaan tenaga kesehatan memang harus diakui jauh dari ideal. Dari data Departemen Kesehatan (Depkes) hingga tahun 2006 jumlah tenaga medis (dokter spesialis, umum dan gigi) tercatat 68.227 orang, bidan 79.152 orang dan perawat 316.306 orang. Depkes mentargetkan hingga tahun 2010 nanti jumlah kebutuhan SDM tenaga dokter adalah 117.969 orang, bidan 176.954 orang dan tenaga keperawatan 587.487 orang. Selain itu Depkes juga memprediksi kebutuhan tenaga kesehatan masyarakat 42.649 orang, dan tenaga gizi 42.469 orang.

Sejatinya problem kekurangan dan ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan ini mesti disikapi dengan program-program signifikan dari pemerintah dalam hal ini Depkes. Masalah ini harus diawali dengan pemetaan kebutuhan tenaga medis yakni dokter, bidan dan perawat dalam jangkah pendek, menengah dan panjang. Perencanaan waktu ini perlu dilakukan agar target-target pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan dapat dievaluasi secara mudah dan terpadu.

Langkah berikutnya yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan memperbanyak pendirian pusat-pusat pendidikan berbasis kesehatan seperti fakultas kedokteran, akademi kebidanan, akademi keperawatan, sekolah analis kesehatan dan sebagainya. Upaya pendirian pusat pendidikan ini akan lebih baik jika tersebar ke berbagai wilayah Indonesia sehingga akan lebih mudah diserap dan dirasakan manfaatnya oleh daerah-daerah yang minim tenaga kesehatan.

Srategi percepatan jumlah tenaga kesehatan ini juga bisa dilakukan dengan membuat regulasi-regulasi yang memudahkan lembaga pendidikan dan pemerintah daerah tanpa harus mengurangi ketentuan standar kualitas untuk membuka kelas-kelas kesehatan. Sehingga dengan regulasi yang mudah akan dapat mendorong lembaga pendidikan dan Pemda dalam mendidik dan melatih tenaga-tenaga kesehatan yang nantinya akan berdampak pada semakin bertambahnya lulusan tenaga kesehatan terutama di daerah-daerah yang selama ini kekurangan SDM kesehatan.

Peningkatan kuantitas SDM kesehatan dapat juga dilakukan dengan memberikan beasiswa bagi siswa-siswa berpotensi agar mau melanjutkan studinya pada bidang kesehatan. Beasiswa ini dapat memicu semangat siswa-siswa khususnya siswa-siswa dari kalangan menengah bawah di berbagai daerah untuk mau mengikuti studi kesehatan. Sehingga diharapkan SDM kesehatan akan terus tumbuh pesat yang akhirnya nanti dapat mendukung upaya pemerintah dalam penyiapan tenaga kesehatan yang selama ini masih minim.

Pemerataan SDM Kesehatan
Selain jumlah kuantitas SDM yang belum memadai, masalah kesehatan yang juga harus diselesaikan adalah masalah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Sebagian besar tenaga kesehatan banyak terfokus di pulau Jawa dan daerah-daerah perkotaan sehingga menyulitkan masyarakat yang berada di daerah pedesaan dan daerah terpencil lainnya untuk mengakses layanan kesehatan. Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong agar tenaga kesehatan khsususnya dokter dan bidan desa bersedia ditempat di deaerah minim tersebut namun hingga kini masih banyak daerah di Indonesia yang mengalami defisit SDM kesehatan ini.

Pemerintah dalam hal ini Depkes memang harus bekerja keras menyiasati pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan terutama bagi daerah cilgaltas (terpecil, tertinggal dan perbatasan). Upaya pemberian insentif bagi dokter, bidan desa, perawat dan tenaga kesehatan lainnya bisa menjadi alternatif Pemerintah untuk merangsang SDM kesehatan ini untuk bersedia ditempatkan di daerah dacilgaltas. Besaran insentif ini tentu harus dilakukan secara proporsional sehingga disatu sisi merangsang para tenaga kesehatan untuk siap mengabdi, disisi lain juga ada kemampuan dana yang cukup dari pemerintah.

Upaya lain untuk pemerataan tenaga kesehatan ini adalah dengan mengintensifkan kembali program-program pengabdian oleh tenaga kesehatan seperti program wajib profesi dan program PTT bagi dokter-dokter baru. Kebutuhan tenaga dokter PTT menjadi sangat penting mengingat masyarakat pada daerah-daerah terpencil dan sangat terpencil karena disparitas regional dan pelbagai permasalahan lainnya, didominasi oleh masyarakat yang serba berkekurangan dengan tingkat ekonomi dan kesehatan yang rendah dan miskin. Sehingga diharapkan kehadiran dokter PTT dapat mengatasi problem rentan terhadap berbagai macam penyakit yang dialami masyarakat karena kondisi yang serba terbatas seperti kurang gizi, kurang pengetahuan kesehatan, perilaku kesehatan kurang baik, dan lingkungan pemukiman yang buruk.

Kehadiran dokter PTT juga diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan dan mengurangi angka kematian bayi di komunitas masyarakat miskin di daerah cilgaltas. Hingga kini angka kematian bayi pada kelompok masyarakat miskin 3,5 - 4 kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Sehingga upaya Depkes mengirimkan 736 tenaga dokter PTT ke berbagai wilayah terpencil dan sanagt terpecil pada awal September 2008 ini patut didukung semua pihak. Ini bukan saja menegaskan komitmen pemerintah dalam melayani kesehatan masyarakat secara merata tetapi juga untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal.

Selain jumlah dan distribusinya yang tidak merata, problem tenaga kesehatan dibayangi pula masalah kualitas dan kompetensi. Peningkatan kualitas dan kompetensi ini menjadi lebih penting saat dunia kesehatan memasuki situasi global yang memungkinkan terjadi persaingan. Kualitas menjadi titik penting bagi peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat. Tanpa kualitas memadai sulit rasanya kita mengharapkan terjadi perubahan terhadap indeks kesehatan masyarakat. Maka upaya untuk terus mencetak tenaga kesehatan yang berkualitas, baik itu dokter, bidan, dan perawat harus menjadi prioritas utama pemerintah. Uji sertifikasi, uji kompetensi, pelatihan, magang, tugas lapangan dan lainnya bisa menjadi alat pengukur tentang seberapa jauh kualitas dan kompetensi tenaga kesehatan.. Selain itu pengakuan terhadap profesi tenaga kesehatan seperti perawat misalnya akan menjamin kenyamanan dan kualitas kerja dari SDM kesehatan tersebut.

Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan juga harus menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah terutama Direktorat PSDM Depkes. Kompetensi tenaga kesehatan perlu terus ditingkatkan melalui serangkaian kursus, pelatihan studi banding dan sejenisnya sehingga mereka mampu melakukan tugas-tugas layanan kesehatan secara memadai, aplikatif dan sistematis sesuai perkembangan teknologi dunia kesehatan. Jika kuantitas dan distribusi tenaga kesehatan yang berkualitas dan kompeten ini terus dimonitoring secara intensif oleh Pemerintah maka diyakini akan terjadi peningkatan derajat pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pertumbuhan dan persebaran tenaga kesehatan yang merata harus selalu disertai upaya peningkatan kualitas dan kompetensinya. Mungkin dengan strategi ini harapan masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan secara mudah, merata dan berkualitas dapat tercapai.

Wallahu a’lam.

Sumber : Harian WAWASAN, 22 September 2008



Selengkapnya...

Mewujudkan Pendidikan Sekolah Murah

LONJAKAN pengeluaran di bulan Juli dan Agustus ini kerap menjadi bahan obrolan. Bukan hanya naiknya harga sembako yang membuat pengeluaran meningkat tajam, tetapi munculnya pos pengeluaran baru, biaya pendidikan. Maklum, bulan Juli hingga Agustus adalah tahun ajaran baru bagi para pelajar di Indonesia.
Pada bulan tersebut para orang tua harus mengeluarkan biaya untuk memasukkan anaknya ke sekolah, daftar ulang, juga membeli kebutuhan penunjang pendidikan. Jumlahnya tidak sedikit. Sehingga tak jarang obrolan yang berkembang di kalangan orang tua berujung pada keluhan.

Di satu sisi, banyaknya keluhan tentang biaya pendidikan ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat tentang pendidikan. Kesadaran ini memunculkan persepsi bahwa pendidikan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Masyarakat sudah tidak lagi menganggap pendidikan sebagai kebutuhan bangsa lain. Sehingga menyekolahkan anak adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Ini cukup menggembirakan, karena pada masa lampau tak sedikit orang tua yang tak peduli dengan pendidikan putra-putrinya. Sekolah dan pendidikan formal menjadi hak segelintir elit masyarakat. Pada masa kini obrolan tentang sekolah atau biaya pendidikan adalah hal yang teramat langka.Di sisi lain, keluhan tentang mahalnya biaya pendidikan ini memberikan gambaran betapa sebagian besar masyarakat kita sangat terbebani dengan hal tersebut. Tak dapat disangkal memang, untuk menyelenggarakan pendidikan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi jika mengharapkan pendidikan tersebut benar-benar berkualitas.

Wajar kiranya, jika para orang tua mengharapkan pendidikan yang berkualitas namun biayanya murah. Kenyataannya, dari tahun ke tahun biaya pendidikan relatif mengalami kenaikan. Meski tak semuanya biaya pendidikan itu bersumber dari pungutan langsung dari sekolah, tetapi kenaikan harga kebutuhan penunjang pendidikan juga menjadi faktor meningkatnya biaya pendidikan.

Padahal, peningkatan biaya pendidikan ini belum sepenuhnya sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan. Lihat saja laporan Badan PBB untuk urusan pendidikan, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang menempatkan Indonesia pada peringkat 62 dari 130 negara dalam daftar tingkat pendidikan yang dikeluarkan September 2007. Angka ini menunjukkan penurunan peringkat dari tahun sebelumnya yang berada pada posisi 58. Berdasarkan data tersebut, educational development index (EDI) Indonesia tercatat hanya sebesar 0,935, lebih rendah dari Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965).

Ironis memang. Di tengah banyaknya fundamen negara yang kental dengan tujuan pendidikan, kualitas pendidikannya malah semakin melorot. Ini mengindikasikan adanya ketidaksinkronan antara tujuan dan ide pendidikan dengan upaya pelaksanaannya. Jika kita lihat kembali pembukaan UUD 1945, jelas sekali di sana disebutkan salah satu tujuan pembentukan negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi pelaksanaannya belum mencerminakan upaya pemenuhan tujuan tersebut. Akses anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas masih sangat terbatas, salah satunya terkendala oleh tingginya biaya pendidikan.

Jika mengacu pada konsep pendidikan untuk semua (education for all) yang dicetuskan di Bangkok, Thailand pada tahun 1990, pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan orang tua. Pendidikan adalah kewajiban bersama bukan hanya jadi tanggung jawab pemerintah saja, orang tua saja, atau masyarakat saja. Tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan telah jelas dijabarkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (2), "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal tersebut diperkuat lagi melalui titah UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Kemudian dalam pasal 11 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Keluhan para orang tua tentang tingginya biaya pendidikan adalah bukti jika pemerintah belum mampu melaksanakan titah undang-undang tersebut. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen untuk pendidikan belum sepenuhnya terlaksana. Layanan dan kemudahan di bidang pendidikan yang seharusnya sudah dinikmati warga, juga belum terselenggara. Biaya pendidikan masih saja dirasakan tinggi oleh sebagian besar masyarakat.

Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas yang dilakukan pada tahun 2003, porsi biaya pendidikan yang ditanggung oleh orang tua siswa masih lebih besar dari porsi yang disediakan oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua siswa). Orang tua siswa setidaknya menanggung 53,74-73,87 persen dari biaya pendidikan total (BPT). Sementara pemerintah hanya menanggung 26,13-46,26 persen dari BPT.

Hingga kini nampaknya proporsi tersebut belum banyak berubah, mengingat realisasi 20 persen anggaran untuk pendidikan masih sebatas rencana dalam tumpukan kertas kerja. Pembebasan biaya SPP (sekolah gratis) yang telah berhasil dilakukan di beberapa daerah, tidak serta merta membuat orang tua terbebas dari kewajiban mengeluarkan biaya pendidikan. Kewajiban anak untuk membeli buku yang disediakan sekolah, seragam olah raga, batik, seragam pramuka, seragam sekolah, hingga pungutan administrasi dan uang pendaftaran menjadi daftar biaya yang harus dibayar orang tua, meski semestinya hal tersebut tak lagi memberatkan orang tua.

Lha, kapan sekolah bisa murah? Pertanyaan ini sulit dijawab. Tapi sekiranya ada beberapa hal yang bisa diupayakan untuk menekan tingginya biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua. Pertama, harus dimunculkan paradigma bahwa pendidikan itu bukanlah ladang untuk mencari keuntungan, melainkan ladang pengabdian dan pengorbanan. Dengan demikian, pendidikan tidak lagi dijadikan lahan bisnis untuk mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan, tapi sebagai lahan sosial yang meminimalisasi pengambilan keuntungan yang berlebih.

Jika hal tersebut terwujud, maka pendidikan menjadi persembahan dari satu generasi agar generasi setelahnya menjadi lebih baik dan siap melanjutkan apa yang dicita-citakan oleh generasi sebelum mereka.

Kedua, harus ada paket kebijakan dari pemerintah yang mendukung terselenggaranya pendidikan yang murah dan berkualitas. Kalau sebelumnya penyelenggaraan pendidikan hanya menjadi domain Depdiknas (ditambah beberapa departemen yang menyelenggarakan pendidikan khusus), maka paket kebijakan tersebut harus melibatkan banyak pihak.

Misalnya paket kebijakan pengurangan pajak bangunan bagi sekolah dan alat-alat serta industri penunjang pendidikan. Sehingga diharapkan sekolah tak lagi harus melakukan pungutan uang bangunan, juga harga-harga kebutuhan penunjang pendidikan bisa semakin terjangkau.

Kebijakan lain yang bisa dikeluarkan pemerintah adalah membuka akses bagi sekolah untuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Sekolah tidak lagi harus menjadi tempat ekslusif milik pemerintah yang mengandalkan pendanaan dari pemerintah dan orang tua siswa, tapi bisa bekerja sama dengan pihak swasta untuk menyelenggarakan pendidikan yang murah dan berkualitas. Jelas ini butuh tekanan dan aturan dari pemerintah untuk mengarahkan pihak perusahaan-perusahaan agar memiliki keterlibatan dalam membantu pelaksanaan pendidikan di negeri ini.

Ketiga, harus ada intensifikasi pemanfaatan dana-dana dari masyarakat untuk penyelenggaraan pendidikan. Misalnya melalui paguyuban alumni sekolah, kelompok-kelompok pecinta pendidikan dan lain-lain. Jika langkah-langkah tersebut bisa dilaksanakan secara baik, sekolah murah dan berkualitas bukan lagi sebatas impian. Tentu ini membutuhkan kesadaran dan kerja keras dari kita semua agar anak-anak negeri ini mendapatkan hak-hak pendidikan secara optimal. (*)

Sumber : Harian TERBIT, 13 Agustus 2008
Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda