Di era modern seperti sekarang ini, ruang ekspresi menjadi sangat terbuka, termasuk bagi kaum perempuan. Selain peran domestik dalam keluarga, peran sosial, politik dan kemasyarakatan sudah sangat dijalankan kaum perempuan. Ini bukti bahwa semangat kemandirian dan kesetaraan peran yang digagas sejak Kongres Perempuan Indonesia 22 Desember 1928 lalu sudah terimplementasi dengan baik. Tanggal yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu tersebut menjadi momentum kebangkitan kaum perempuan secara struktural dan organisasional.
Secara ide cita-cita kaum perempuan ini sebenarnya sudah lama bergaung. Sejak awal abad ke-20 para tokoh seperti RA Kartini, Dewi Sartika, Rangkayo Rasuna Said, Cut Nyak Dhien telah menularkan kesadaran tentang pentingnya peran kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Peran inilah yang sekarang telah dijalani oleh banyak kaum perempuan di negeri ini.
Kini kita tak lagi sulit menemukan kaum perempuan yang menjadi politisi, akademisi, direktur perusahaan, bahkan sopir dan kondektur angkutan umum. Ini menandakan interaksi perempuan yang makin luas. Hal ini tentu saja memberikan tuntutan yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk menjadi solusi atas permasalahan yang ada.
Perempuan sekarang dituntut untuk mampu menjalankan perannya sebagai istri yang harus bekerja sama dengan suami untuk membangun rumah tangga yang harmonis. Ia juga harus berperan sebagai ibu yang melahirkan, mengasuh dan mendidik anak yang kelak jadi penerus bangsa. Di saat yang sama ia juga harus mampu berperan sebagai pendukung ekonomi keluarga di samping peran-peran sosial dan lingkungan yang kini juga melekat pada kaum perempuan.
Tak heran jika dalam Millenium Development Goals (MDGs/Tujuan Pembangunan Milenium) yang dikeluarkan oleh Komisi Sosial Ekonomi untuk Asia dan Pasifik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN ESCAP) banyak menyasar pada kaum perempuan. Ada delapan sasaran yang harus dicapai oleh negara-negara yang meratifikasi MDGs, yaitu penghapusan kemiskinan dan kelaparan ekstrem; pendidikan dasar untuk semua; mempromosikan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan; menurunkan angka kematian anak; memperbaiki kesehatan ibu hamil; menghentikan penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lain; pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan; serta kemitraan global dalam perdagangan dan sistem keuangan.
Dari delapan sasaran tersebut, dua diantaranya langsung fokus pada permasalahan kaum perempuan. Sedangkan lima lainnya akan mungkin dicapai jika ada pelibatan kaum perempuan secara intens. Sebagai salah satu dari 189 negara yang telah meratifikasi MDGs, maka Indonesia berkewajiban untuk memenuhi sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dalam MDGs.
Peningkatan kesehatan bagi dan oleh kalangan perempuan menjadi sangat penting dalam mencapai target MDGs. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang menjadi indikator bidang kesehatan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sangat ditentukan oleh kesehatan di kalangan perempuan. Dan, hingga kini kondisi kesehatan masyarakat kita (terutama kaum perempuan) masih sangat memprihatinkan.
Kualitas Kesehatan Rendah
Hingga saat ini AKI di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Tahun 2007 lalu AKI di Indonesia tercatat sebesar 248 per 100 ribu kelahiran. Hal yang tak jauh berbeda juga dengan AKB di tahun yang sama yang mencapai 26,9 per seribu kelahiran hidup. Padahal dalam MDGs ditargetkan pada tahun 2015 nanti AKI tidak lebih dari 104 per 100 ribu kelahiran.
Akibatnya, IPM Indonesia pun terpuruk di urutan ke-107 dari 177 negara. IPM Indonesia lebih rendah dari Vietnam yang berada di peringkat 105, Thailand (78), Malaysia (63), dan Singapura (25).
Tingginya AKI dan AKB di Indonesia bukan tanpa sebab. Keterbatasan akses terhadap makanan yang bergizi dan layanan kesehatan menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat kesehatan masyarakat Indonesia. Keterbatasan ekonomi sering menjadi penyebab masyarakat tak mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Demikian pula dengan layanan kesehatan yang hingga kini dirasakan amat mahal oleh sebagian masyarakat. Padahal gizi yang cukup dan pemeriksaan yang kesehatan yang teratur menjadi hal yang sangat berharga bagi masyarakat terutama bagi ibu hamil dan menyusui.
Tak heran jika selain tingginya AKI dan AKB, jumlah anak yang menderita gizi buruk pun cukup besar di negeri ini. Sekitar 27 persen balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Meski Departemen Kesehatan mencatat jumlah kasus gizi buruk terus mengalami penurunan, namun adanya kasus gizi buruk yang dialami calon generasi penerus ini sangat berbahaya bagi peningkatan kualitas pembangunan negeri ini.
Jika melihat lebih jauh terhadap rendahnya kualitas kesehatan masyarakat sekarang ini, maka tentu peran kaum perempuan menjadi sangat signifikan. Mengapa kaum perempuan? Karena perempuanlah yang biasanya mampu mengatur pola hidup dan pola konsumsi dalam keluarga. Jika ia mampu menciptakan pola hidup dan konsumsi yang sehat, maka AKI, AKB dan gizi buruk bisa ditekan ke level minimal.
Namun pada kenyataanya, justru masih banyak kaum perempuan yang belum memahami bagaimana menciptakan pola hidup dan konsumsi yang sehat. Hal ini terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan. Hal ini ditambah dengan minimnya pendidikan masalah kesehatan secara informal di masyarakat. Padahal jika melalui jenjang pendidikan formalpun, pendidikan tentang kesehatan dan pola konsumsi sehat ini tidak pernah diberikan secara khusus. Dalam kurikulum Sekolah Dasar misalnya, tak ada yang benar-benar fokus membahas masalah ini. Padahal masih banyak masyarakat yang hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat ini. Akibatnya, banyak remaja putri yang kemudian menjadi istri dan mengelola rumah tangga tak paham masalah kesehatan dan pola konsumsi yang baik. Banyak keluarga yang belum tahu bagaimana mengelola rumah tangga yang sehat dan pola konsumsi yang berkualitas.
Kasus gizi buruk maupun kematian pada bayi dan ibu melahirkan tidak semata-mata karena faktor ekonomi yang menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan terhadap akses gizi yang baik dan pelayanan kesehatan, namun tak jarang disebabkan ketidaktahuannya terhadap masalah ini. Kasus gizi buruk tak hanya terjadi di kalangan masyarakat kurang mampu, tak sedikit keluarga yang mapan secara ekonomi juga mengalami hal tersebut.
Banyak yang beranggapan bahwa makanan yang mahal dan enak sudah mencukupi. Padahal hal tersebut tak sepenuhnya benar, pola konsumsi dan kandungan gizi makanan yang tak tepat pun bisa menyebabkan kasus gizi buruk pada balita, juga terganggunya kesehatan ibu hamil dan janinnya. Sebaliknya, dengan pengetahuan yang baik tentang masalah kesehatan, seorang ibu bisa menyiapkan makanan yang sehat tanpa harus mengeluarkan uang terlalu banyak.
Peran Perempuan
Kembali ke semangat perjuangan kaum perempuan yang selalu direfleksikan dalam setiap peringatan Hari Ibu, juga Hari Kartini, yaitu perluasan peran kaum perempuan. Maka sesungguhnya kaum perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam pembangunan tanpa harus meninggalkan fungsi domestiknya sebagai ibu rumah tangga. Justru di situlah sebenarnya kunci permulaan peran kaum perempuan.
Kasus kematian bayi dan ibu melahirkan serta gizi buruk, sesungguhnya bisa dicegah melalui program yang terarah dan terencana yang melibatkan kaum perempuan sebagai subjeknya. Selama ini pembangunan kesehatan berbasis mayarakat yang gerakkan melalu posyandu telah berhasil meningkatkan taraf hidup kesehatan masyarakat. Bahkan program yang banyak dimotori oleh kaum ibu ini dijadikan rujukan oleh negara lain untuk mengembangkan sistem layanan kesehatannya.
Sayangnya, program ini sempat layu. Tak sedikit posyandu yang tinggal papan nama, kegiatannya tak lagi terlihat. Namun sejak 2006 lalu Departemen Kesehatan telah memprogramkan Desa Siaga, sebuah program peningkatan kesehatan berbasis masyarakat. Melalui program ini, selain merevitalisasi posyandu yang sempat terbengkalai, masyarakat didorong untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan.
Dan yang lebih penting, program ini tak lepas dari peran perempuan. Subjek dan objek program ini lebih banyak kepada kaum perempuan. Peningkatan kesehatan keluarga, ibu hamil dan menyusui, balita dan anak akan melibatkan banyak kaum perempuan dalam pelaksanaannya. Nantinya diharapkan melalui program ini kaum ibu mampu melaksanakan pelayanan kesehatan dasar secara mandiri dan meningkatkan kesehatan lingkungan serta pencegahan terhadap wabah penyakit yang kemungkinan terjadi.
Mungkin jika melihat langsung kegiatannya, tentu jauh dari kesan “berkelas” dan glamour yang sering dibayangkan jika orang berbicara emansipasi dan peran kaum perempuan dalam pembangunan. Tak seperti bussiness woman atau politisi perempuan yang sering diidentikkan sebagai perwujudan semangat hari ibu. Tapi kegiatan sehari-hari yang tak lepas dari perannya sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai anggota masyarakat.
Tapi percayalah melalui peran inilah pembangunan bangsa menciptakan manusia yang berkualitas bisa dilakukan secara paripurna.
Secara ide cita-cita kaum perempuan ini sebenarnya sudah lama bergaung. Sejak awal abad ke-20 para tokoh seperti RA Kartini, Dewi Sartika, Rangkayo Rasuna Said, Cut Nyak Dhien telah menularkan kesadaran tentang pentingnya peran kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Peran inilah yang sekarang telah dijalani oleh banyak kaum perempuan di negeri ini.
Kini kita tak lagi sulit menemukan kaum perempuan yang menjadi politisi, akademisi, direktur perusahaan, bahkan sopir dan kondektur angkutan umum. Ini menandakan interaksi perempuan yang makin luas. Hal ini tentu saja memberikan tuntutan yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk menjadi solusi atas permasalahan yang ada.
Perempuan sekarang dituntut untuk mampu menjalankan perannya sebagai istri yang harus bekerja sama dengan suami untuk membangun rumah tangga yang harmonis. Ia juga harus berperan sebagai ibu yang melahirkan, mengasuh dan mendidik anak yang kelak jadi penerus bangsa. Di saat yang sama ia juga harus mampu berperan sebagai pendukung ekonomi keluarga di samping peran-peran sosial dan lingkungan yang kini juga melekat pada kaum perempuan.
Tak heran jika dalam Millenium Development Goals (MDGs/Tujuan Pembangunan Milenium) yang dikeluarkan oleh Komisi Sosial Ekonomi untuk Asia dan Pasifik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN ESCAP) banyak menyasar pada kaum perempuan. Ada delapan sasaran yang harus dicapai oleh negara-negara yang meratifikasi MDGs, yaitu penghapusan kemiskinan dan kelaparan ekstrem; pendidikan dasar untuk semua; mempromosikan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan; menurunkan angka kematian anak; memperbaiki kesehatan ibu hamil; menghentikan penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lain; pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan; serta kemitraan global dalam perdagangan dan sistem keuangan.
Dari delapan sasaran tersebut, dua diantaranya langsung fokus pada permasalahan kaum perempuan. Sedangkan lima lainnya akan mungkin dicapai jika ada pelibatan kaum perempuan secara intens. Sebagai salah satu dari 189 negara yang telah meratifikasi MDGs, maka Indonesia berkewajiban untuk memenuhi sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dalam MDGs.
Peningkatan kesehatan bagi dan oleh kalangan perempuan menjadi sangat penting dalam mencapai target MDGs. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang menjadi indikator bidang kesehatan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sangat ditentukan oleh kesehatan di kalangan perempuan. Dan, hingga kini kondisi kesehatan masyarakat kita (terutama kaum perempuan) masih sangat memprihatinkan.
Kualitas Kesehatan Rendah
Hingga saat ini AKI di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Tahun 2007 lalu AKI di Indonesia tercatat sebesar 248 per 100 ribu kelahiran. Hal yang tak jauh berbeda juga dengan AKB di tahun yang sama yang mencapai 26,9 per seribu kelahiran hidup. Padahal dalam MDGs ditargetkan pada tahun 2015 nanti AKI tidak lebih dari 104 per 100 ribu kelahiran.
Akibatnya, IPM Indonesia pun terpuruk di urutan ke-107 dari 177 negara. IPM Indonesia lebih rendah dari Vietnam yang berada di peringkat 105, Thailand (78), Malaysia (63), dan Singapura (25).
Tingginya AKI dan AKB di Indonesia bukan tanpa sebab. Keterbatasan akses terhadap makanan yang bergizi dan layanan kesehatan menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat kesehatan masyarakat Indonesia. Keterbatasan ekonomi sering menjadi penyebab masyarakat tak mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Demikian pula dengan layanan kesehatan yang hingga kini dirasakan amat mahal oleh sebagian masyarakat. Padahal gizi yang cukup dan pemeriksaan yang kesehatan yang teratur menjadi hal yang sangat berharga bagi masyarakat terutama bagi ibu hamil dan menyusui.
Tak heran jika selain tingginya AKI dan AKB, jumlah anak yang menderita gizi buruk pun cukup besar di negeri ini. Sekitar 27 persen balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Meski Departemen Kesehatan mencatat jumlah kasus gizi buruk terus mengalami penurunan, namun adanya kasus gizi buruk yang dialami calon generasi penerus ini sangat berbahaya bagi peningkatan kualitas pembangunan negeri ini.
Jika melihat lebih jauh terhadap rendahnya kualitas kesehatan masyarakat sekarang ini, maka tentu peran kaum perempuan menjadi sangat signifikan. Mengapa kaum perempuan? Karena perempuanlah yang biasanya mampu mengatur pola hidup dan pola konsumsi dalam keluarga. Jika ia mampu menciptakan pola hidup dan konsumsi yang sehat, maka AKI, AKB dan gizi buruk bisa ditekan ke level minimal.
Namun pada kenyataanya, justru masih banyak kaum perempuan yang belum memahami bagaimana menciptakan pola hidup dan konsumsi yang sehat. Hal ini terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan. Hal ini ditambah dengan minimnya pendidikan masalah kesehatan secara informal di masyarakat. Padahal jika melalui jenjang pendidikan formalpun, pendidikan tentang kesehatan dan pola konsumsi sehat ini tidak pernah diberikan secara khusus. Dalam kurikulum Sekolah Dasar misalnya, tak ada yang benar-benar fokus membahas masalah ini. Padahal masih banyak masyarakat yang hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat ini. Akibatnya, banyak remaja putri yang kemudian menjadi istri dan mengelola rumah tangga tak paham masalah kesehatan dan pola konsumsi yang baik. Banyak keluarga yang belum tahu bagaimana mengelola rumah tangga yang sehat dan pola konsumsi yang berkualitas.
Kasus gizi buruk maupun kematian pada bayi dan ibu melahirkan tidak semata-mata karena faktor ekonomi yang menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan terhadap akses gizi yang baik dan pelayanan kesehatan, namun tak jarang disebabkan ketidaktahuannya terhadap masalah ini. Kasus gizi buruk tak hanya terjadi di kalangan masyarakat kurang mampu, tak sedikit keluarga yang mapan secara ekonomi juga mengalami hal tersebut.
Banyak yang beranggapan bahwa makanan yang mahal dan enak sudah mencukupi. Padahal hal tersebut tak sepenuhnya benar, pola konsumsi dan kandungan gizi makanan yang tak tepat pun bisa menyebabkan kasus gizi buruk pada balita, juga terganggunya kesehatan ibu hamil dan janinnya. Sebaliknya, dengan pengetahuan yang baik tentang masalah kesehatan, seorang ibu bisa menyiapkan makanan yang sehat tanpa harus mengeluarkan uang terlalu banyak.
Peran Perempuan
Kembali ke semangat perjuangan kaum perempuan yang selalu direfleksikan dalam setiap peringatan Hari Ibu, juga Hari Kartini, yaitu perluasan peran kaum perempuan. Maka sesungguhnya kaum perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam pembangunan tanpa harus meninggalkan fungsi domestiknya sebagai ibu rumah tangga. Justru di situlah sebenarnya kunci permulaan peran kaum perempuan.
Kasus kematian bayi dan ibu melahirkan serta gizi buruk, sesungguhnya bisa dicegah melalui program yang terarah dan terencana yang melibatkan kaum perempuan sebagai subjeknya. Selama ini pembangunan kesehatan berbasis mayarakat yang gerakkan melalu posyandu telah berhasil meningkatkan taraf hidup kesehatan masyarakat. Bahkan program yang banyak dimotori oleh kaum ibu ini dijadikan rujukan oleh negara lain untuk mengembangkan sistem layanan kesehatannya.
Sayangnya, program ini sempat layu. Tak sedikit posyandu yang tinggal papan nama, kegiatannya tak lagi terlihat. Namun sejak 2006 lalu Departemen Kesehatan telah memprogramkan Desa Siaga, sebuah program peningkatan kesehatan berbasis masyarakat. Melalui program ini, selain merevitalisasi posyandu yang sempat terbengkalai, masyarakat didorong untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan.
Dan yang lebih penting, program ini tak lepas dari peran perempuan. Subjek dan objek program ini lebih banyak kepada kaum perempuan. Peningkatan kesehatan keluarga, ibu hamil dan menyusui, balita dan anak akan melibatkan banyak kaum perempuan dalam pelaksanaannya. Nantinya diharapkan melalui program ini kaum ibu mampu melaksanakan pelayanan kesehatan dasar secara mandiri dan meningkatkan kesehatan lingkungan serta pencegahan terhadap wabah penyakit yang kemungkinan terjadi.
Mungkin jika melihat langsung kegiatannya, tentu jauh dari kesan “berkelas” dan glamour yang sering dibayangkan jika orang berbicara emansipasi dan peran kaum perempuan dalam pembangunan. Tak seperti bussiness woman atau politisi perempuan yang sering diidentikkan sebagai perwujudan semangat hari ibu. Tapi kegiatan sehari-hari yang tak lepas dari perannya sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai anggota masyarakat.
Tapi percayalah melalui peran inilah pembangunan bangsa menciptakan manusia yang berkualitas bisa dilakukan secara paripurna.
Sumber : Republika, 22 Desember 2008