Senin, 10 Mei 2010

Negara dan Jaminan Sosial

MESKI sudah banyak aturan dan anjuran agar fasilitas kesehatan mendahulukan pertolongan kepada pasien, namun penolakan layanan kepada pasien dengan alasan ekonomi masih kerap terjadi. Kasus penolakan terhadap Elsa Ainurohmah, bayi berusia enam bulan, putri pasangan Paidi (34) dan Septi Nuraini (30) oleh RS Sari Asih, Karawaci, Tangerang beberapa waktu lalu misalnya menambah panjang catatan hitam kasus serupa di tanah air.

Bayi mungil itu tak mendapatkan layanan medis semestinya karena orang tuanya tak mampu menyanggupi uang muka sebesar 10 juta rupiah yang diminta pihak rumah sakit. Akhirnya, orang tuanya memutuskan untuk memindahkan Elsa ke RSU Tangerang. Namun, akibat terlambat mendapatkan layanan medis, Elsa meninggal sebelum tiba di RSU Tangerang.

Tentu sangat miris rasanya, jika peristiwa seperti ini terus terjadi secara berulang. Padahal UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan telah mewajibkan fasilitas layanan kesehatan agar mendahulukan upaya penyelamatan pasiennya. Pada pasal 32 ayat (1) Undang-Undang ini disebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Fungsi Sosial

Demikian pula UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Dalam pasal 29 ayat (1) huruf f, secara tegas undang-undang ini mewajibkan rumah sakit untuk melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi kemanusiaan.

Tapi, realitasnya berkata lain. Kasus Elsa menunjukkan hal yang sebaliknya, rumah sakit menolaknya karena tak bisa menyediakan uang muka sebagai jaminan pembiayaan. Masalah ketersediaan uang muka atau jaminan pembiayaan memang sering menjadi titik pangkal persoalan dalam layanan kesehatan. Ketika tidak ada jaminan pembiayaan, seperti kasus di atas, maka sulit bagi warga masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan.

Fenomena ini menunjukkan lemahnya implementasi dari aturan yang ada. Untuk itu harus ada upaya keras dari pemerintah sebagai regulator untuk menindak pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Selain itu, perlu ada upaya yang komprehensif untuk merapikan sistem sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan aturan-aturan tersebut, salah satunya adalah masalah jaminan pembiayaan..

Sebagai fasilitas yang padat modal, padat karya dan padat teknologi, fasilitas layanan kesehatan, khususnya rumah sakit memang dihadapkan pada tuntutan akan adanya jaminan pembiayaan yang memadai. Tanpa itu, rumah sakit tak mungkin bisa menjalankan fungsinya. Apalagi rumah sakit swasta yang dituntut menjadi revenue center (pusat penghasilan) yang harus membawa keuntungan bagi pemilik dan pengelolanya. Inilah salah satu dilema yang dihadapi rumah sakit dalam melakukan layanan kesehatan bagi warga tidak mampu. Jika melayani warga yang tak mampu membayar, tentu rumah sakit akan kehilangan penghasilannya. Ini akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan operasional RS itu sendiri.

Di sisi lain, program terobosan pemerintah nampaknya belum sepenuhnya efektif. Pemberian SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan jaminan pembiayaan kesehatan bagi warga miskin belum sepenuhnya menjadi solusi. Coverage yang terbatas, birokrasi yang lambat dan bertele-tele, dan informasi yang tidak tersebar dengan baik menjadi titik lemah program yang menyebabkan warga yang tidak mampu menjadi korbannya.

Kasus yang menimpa Istiqomah, warga Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, pada awal Februari lalu menjadi salah satu contohnya. Ia terpaksa harus merelakan anaknya, Nur Jamilah (2 tahun) menghadap Yang Maha Kuasa, setelah ditolak oleh RSU Persahabatan, Rawamangun dengan alasan ketidaklengkapan dokumen. Pihak rumah sakit tidak bisa merawat Nur Jamilah, karena surat keterangan tidak mampu dari RW yang dilampirkan tidak berstempel.

Persyaratan untuk mendapatkan layanan kesehatan bagi warga miskin seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Keterangan Tidak Mampu dari RT/RW dan lurah setempat, serta surat rujukan dari Puskesmas seringkali menjadi sandungan warga untuk mendapatkan layanan, bahkan dalam keadaaan darurat sekalipun.

Fakta lain, tak sedikit warga miskin peserta Jamkesmas, yang seyogyanya mendapat jaminan pembiayaan dari negara tetap tak bisa mendapatkan layanan kesehatan. Terbatasnya fasilitas layanan untuk pasien Jamkesmas adalah alasannya. Jamkesmas memang hanya menjamin fasilitas layanan untuk di kelas III rumah sakit. Sedangkan, untuk mengejar keuntungan, rumah sakit lebih banyak menyediakan kelas II, I, VIP dan bahkan VVIP, ketimbang kelas III yang minim keuntungan.

Ambil saja contoh kasus yang menimpa keluarga Nasarudin. Warga Desa Sukamulya, Cikupa, Tangerang ini kehilangan satu dari tiga bayi kembarnya karena kurangnya perawatan medis. (Penulis adalah anggota Komisi IX DPR RI)

Harian TERBIT, Kamis 6 Mei 2010