Selasa, 30 Juni 2009

Ujian Nasional yang Kehilangan Makna

Tertangkapnya 16 Kepala Sekolah SMA di Kabupaten Bengkulu Selatan oleh aparat kepolisian akhir April lalu karena tertangkap basah mengisi soal Ujian Nasional (UN) untuk dibocorkan kepada para siswanya menjadi preseden buruk dalam dunia pendidikan kita. UN yang diharapkan bisa menjadi instrumen peningkatan mutu pendidikan, justru berefek sangat buruk. Mungkin sudah tak terhitung kritik dan komentar negatif terhadap pelaksanaan UN tersebut. Tetapi pemerintah tetap bersikukuh menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa.
Ada baiknya kita lihat kembali mengapa UN dijadikan sebagai patokan untuk menentukan kelulusan peserta didik. Sejak era kemerdekaan hingga sekarang beragam metode untuk mengevaluasi hasil proses pendidikan pernah diterapkan. Pada kurun waktu 1945 hingga 1971 dikenal istilah Ujian Negara sebagai sarana penentuan kelulusan. Ujian, mulai dari penyiapan bahan hingga pelaksanaan dan evaluasi sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah pusat. Pada masa itu, para lulusan sekolah diakui memiliki kualitas yang tinggi. Sayangnya jumlah lulusannya rendah.
Pada tahun 1971-1983 sistem Ujian Negara dihapus dan digantikan dengan Ujian Sekolah. Sesuai namanya, pelaksanaan ujian dan penentuan kelulusan dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak sekolah. Hal ini berdampak pada tidak adanya standar kelulusan, meski angka kelulusan tiap tahunnya hampir 100 persen.
Sistem ini kemudian diganti dengan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang memadukan antara standarisasi nasional dan penentuan kelulusan oleh sekolah. Sebagian mata pelajaran diujikan secara nasional dan selebihnya menjadi wewenang sekolah untuk mengevaluasinya. Hasilnya tak berbeda jauh dengan sebelumnya, angka kelulusan tetap hampir 100 persen. Hal ini terjadi karena pihak sekolah mengkatrol nilai siswanya, sehingga apa pun hasil ujian yang dilaksanakan secara nasional tak berpengaruh kepada kelulusan.
Di satu sisi penentuan kelulusan siswa oleh sekolah adalah wajar, karena pihak sekolah lah yang lebih mengetahui kualitas siswanya. Penilaian pun tidak hanya didasarkan pada sisi kognitif (pengetahuan), tapi ada sisi afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) yang jadikan pertimbangan sesuai dengan penjelasan pasal 35 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisidiknas). Dalam penjelasan pasal itu disebutkan bahwa kompetensi lulusan harus mencakup aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Dengan alasan ini, wajar kiranya, jika sekolah masih meluluskan siswa yang nilai ujian tak begitu bagus. Bisa jadi seorang siswa yang sebenarnya pandai namun karena ada suatu hal ia gagal dalam ujian, namun pihak sekolah tetap meluluskannya karena nilai kesehariannya bagus. Namun jika semua siswanya jadi lulus dengan mengkatrol nilai ujian dari mata pelajaran yang diujikan sekolah, maka inilah sebenarnya mata rantai rendahnya kualitas lulusan sekolah di negeri ini yang harus segera dibenahi.
Perilaku Curang
Dari sini memang jelas terlihat bahwa yang menjadi masalah utama bukanlah sistem evaluasi yang lemah, melainkan merebaknya moral hazard di kalangan pelaku pendidikan. Maka tak heran jika UN yang secara saklek menentukan batas minimal kelulusan berakibat pada meningkatnya perilaku curang. Mulai dari upaya membocorkan soal dan jawaban UN oleh pihak sekolah hingga mark up hasil ujian siswa di tingkat penyelenggara pendidikan daerah (dinas pendidikan). Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan persentase kelulusan, mengingat hal tersebut terkait erat dengan gengsi sekolah dan daerah. Selain itu, persentase angka kelulusan tersebut juga menjadi dasar pertimbangan alokasi bantuan pemerintah pusat terhadap daerah dan sekolah.
Perilaku moral hazard ini terjadi karena ketidakpercayaan para stakeholder pendidikan terhadap hasil proses pendidikan yang sudah dilakukan. Standar nilai kelulusan minimal rata-rata 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya dirasakan terlalu berat untuk dicapai para siswa. Maklum, meski sudah ada delapan standar kualitas pendidikan nasional yang meliputi standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidikan dan tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan pendidikan, dan penilaian pendidikan, kenyataannya masih banyak sekolah yang masih jauh dari standar, apalagi di daerah yang jauh dari perkotaan.
Akibatnya tentu sangat sulit untuk menghasilkan siswa dengan kualitas yang diharapkan, jika unsur-unsur penunjangnya tak mendukung. Jalan pintas yang banyak dipilih adalah berbuat curang. Kecurangan yang tidak hanya dilakukan siswa secara sporadis seperti mencontek, atau berbagi jawaban, tapi telah melembaga menjadi kecurangan secara terstruktur yang melibatkan banyak unsur. Pembocoran jawaban soal UN dan mark up hasil UN adalah salah satu contohnya.
Terlalu cepat kiranya jika standar kelulusan nasional ini diberlakukan saat ini ketika standar kualitas proses pendidikan dan segala pendukungnya belum tercapai atau bahkan belum diberlakukan. Lebih jauh, jika dilihat dari sisi yuridis formal, kewenangan pemerintah pusat sebenarnya bukan untuk meluluskan peserta didik, melainkan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sesuai dengan amanat pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas. Sedangkan penentuan lulus tidaknya peserta didik adalah kewenangan pendidik, dalam hal ini guru dari siswa yang bersangkutan. Hal ini diatur jelas dalam pasal 58 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas, “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Hilang Makna
Pemaksaan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan peserta didik, membuat pendidikan mengarah hanya pada pengembangan kemampuan kognitif saja. Bahkan, UN telah banyak mengubah metode belajar yang cukup berefek pada kemampuan peserta didik memahami masalah. Para guru dan pengajar biasanya menggenjot kemampuan siswa dengan metode drilling, yaitu melatih siswa untuk mengerjakan soal-soal yang mungkin akan keluar dalam UN. Siswa tidak lagi diajari untuk memahami pelajaran secara utuh, namun bagaimana mereka terbiasa dengan soal-soal yang diprediksi akan muncul dalam UN.
Jika ini berlanjut, sekolah sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran sudah kehilangan makna. Sekolah tidak lagi menjadi tempat untuk memperoleh pemahaman, namun semata sebagai tempat untuk mendapatkan predikat kelulusan. Hal ini makin terlihat jelas ketika beberapa sekolah memprioritaskan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, bahkan tak jarang yang mengabaikan mata pelajaran yang lain. Bukan hal aneh lagi bagi siswa kelas 3 SMA dan SMP yang hanya digembleng dengan latihan menjawab soal untuk mata pelajaran yang di-UN-kan.
Melihat begitu banyak dampak buruk yang ditimbulkan dan beberapa ketidaksesuaian secara yuridis formal, maka penerapan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan adalah kurang tepat. Untuk saat ini, metode penentuan kelulusan seperti metode EBTANAS atau sejenisnya rasanya masih pas untuk dilaksanakan. Tentu saja dengan penekanan pada perbaikan pada kualitas proses pendidikan dan menekan moral hazard pada level minimal. Kejujuran dalam pendidikan adalah kunci utama dalam membangun bangsa yang cerdas dan berkarakter.
Agaknya ungkapan Guru Harfan –tokoh pendidik dalam film Laskar Pelangi- yang mengatakan bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari deretan angka-angka tapi dari budi pekerti anak didik sebagai hasil pendidikan yang dilakukan dengan tulus dan penuh pengabdian patut kita renungkan maknanya.

Jakarta, 18 Mei 2009