Selasa, 19 Mei 2009

Mengikis Diskriminasi Pendidikan

PENDIDIKAN dasar dan menengah adalah landasan utama untuk meraih kemajuan bangsa di segala bidang. Tak ada negara yang mencapai kemajuan tanpa diringi oleh keberhasilan menjalankan proses pendidikan dasarnya. Oleh sebab itu, UUD 1945 telah mengamanatkan kepada negara untuk memberi kepastian pendidikan kepada setiap warga negara tanpa kecuali.

Pendidikan yang bertujuan membentuk karakter bangsa yang maju, beradab dan melestarikan nilai-nilai luhur bangsa harus senantiasa menjadi prioritas pemerintah. Oleh karena itu patut kita syukuri ketika pemerintah pada tahun 2009 berkomitmen untuk merealisasikan anggaran 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945.

Dengan anggaran pendidikan yang mencapai 1/5 dari APBN ini, pemerintah memiliki modal yang cukup kuat untuk membangun dan mengembangkan sektor pendidikan agar lebih maju, berkualitas dan merata. Namun komitmen pemerintah tentu masih diperlukan lebih luas terutama dalam proses pengaturan dan pengawasan terhadap anggaran pendidikan tersebut. Perlu ada kejelasan program dan langkah-langkah konkret untuk merealisasikan anggaran tersebut secara terukur di lapangan. Ini penting mengingat fungsi pengaturan dan pengawasan sering kali lemah dan memicu terjadinya inefisiensi anggaran.

Meski pemerintah telah memberikan anggaran 20 persen kepada sektor pendidikan, namun peran masyarakat untuk berkontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa tidak mungkin hilang. Beragam sekolah swasta mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) yang banyak berdiri di Indonesia adalah bukti komitmen masyarakat dalam membantu Pemerintah mencerdaskan anak negeri ini. Harus diakui sejak negeri ini merdeka 64 tahun lalu belum semua lapisan masyarakat bisa menikmati layanan pendidikan berkualitas yang diberikan pemerintah.

Pada 11 Juni 2003, Pemerintah dan DPR bersepakat mengesahkan Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( UU Sisdiknas) yang memiliki beberapa visi baru yang mengubah fundamental pengelolaan pendidikan Indonesia. Setidaknya ada lima paradigma baru yang tersirat dalam UU Sisdiknas ini yakni demokratisasi-otonomi daerah, peran masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, serta non-diskriminasi (Anwar Arifin, 2003: 2).

Lima komitmen baru ini tercantum dalam UU Sisdiknas No 20/2003 yang seharusnya menjadi frame of work bagi pemerintah dalam merencanakan, mengembangkan dan mengawasi proses pendidikan di Indonesia agar berjalan sesuai dengan amanat UUD 1945 yakni pendidikan bermutu, terjangkau dan anti-diskriminasi.

Sesuai UU No 20/2003, pemerintah pada 2009 ini berkomitmen merealisasikan harapan masyarakat dengan menganggarkan 20 % dana APBN untuk sektor pendidikan. Kebijakan ini mestinya juga diikuti dengan komitmen pemerintah dalam mengayomi semua unsur pendidikan tanpa membeda-bedakan yang dapat melahirkan problem diskriminasi dalam proses pendidikan. Hal ini penting mengingat adanya heterogenitas dalam unsur-unsur pendidikan tidak mungkin dinafikan begitu saja khususnya ditingkat pendidikan Dasar dan Menengah.

Sebagai pihak yang dibebani oleh negara dalam menjamin hak-hak warga negara dalam mengenyam pendidikan, pemerintah sedianya mampu menghilangkan beragam diskriminasi dalam pelaksanaan program pendidikan di tanah air. Harapan ini tentunya menjadi pendorong bagi terbukanya saluran pendidikan yang dapat diakses secara luas oleh semua kalangan. Bahwa pendidikan adalah hak paling mendasar maka perlu segera pembenahan sikap dan kebijakan terkait dengan pengikisan diskriminasi ini.

Sejatinya sikap diskriminasi yang terjadi dalam pendidikan dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa setiap orang memiliki beragam perbedaan baik dari usia, dana,dan kecerdasan. Sehingga muncul beragam kebijakan yang mengarah pada sikap pembedaan antar peserta didik, antar sekolah dan juga kurikulumnya. Dampaknya persaingan antarsiswa, sekolah dan kurikulum kian tajam dan justru mereduksi tujuan pendidikan nasional mewujudkan manusia-manusia yang humanis dan toleran. Jika dikriminasi ini terus berlanjut boleh jadi kerukunan dan sikap moderat akan terkikis dengan sikap individualis, sombong dan merendahkan pihak lain.

Dikriminasi lainnya tampak dalam sikap pemerintah yang lebih memperhatikan sekolah umum (negeri) dibandingkan sekolah berbasis agama seperti madrasah dan pesantren. Alokasi dana fisik dan kesejahteraan bagi guru-guru madrasah-pesantren jarang mendapat porsi memadai. Ibarat anak tiri, madrasah dan pesantren lebih banyak mengandalkan dana swadaya guna menopang proses ajar-mengajarnya.

Padahal negeri ini telah dibantu oleh jasa-jasa madrasah-pesantren dalam melahirkan tokoh-tokoh nasional yang mewarnai perjalanan hidup bangsa. Tokoh besar seperti Jenderal Soedirman, H. Agus Salim dan lainnya lahir dari rahim pendidikan berbasis agama Islam ini. Sehingga sikap diskriminasi yang merendahkan lembaga pendidikan madrasah dan pesantren sepatutnya diakhiri. Apalagi UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah secara jelas menyebutkan ketiadabedaan antara lembaga pendidikan agama dan lembaga pendidikan umum. Ini artinya meski lembaga pendidikan madrasah dan pesantren berada dalam naungan Depag, keduanya berhak mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum yang berada di bawah naungan Depdiknas.

Sikap diskriminasi nampak pula dari program pemerintah yang membagi-bagi sekolah dalam kavling sekolah unggulan-biasa, sekolah favorit-nonfavorit, sekolah berstandar nasional-internasional. Meski didasari oleh niat meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, klasifikasi ini justru dapat memicu kecemburuan dan sikap intoleran anak didik. Kecemburuan sosial dapat terjadi akibat besarnya anggaran dan fasilitas yang berikan kepada sekolah yang bertipe unggulan dibanding sekolah biasa.

Sikap dan emosi anak didik juga akan sedikit banyak terpengaruh oleh predikat sekolah unggulan dan sekolah biasa. Ini tentu amat sangat mudah menimbulkan gesekan antar anak didik. Banyaknya tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta misalnya boleh jadi dilatarbelakangi rasa egoisme predikat sekolah tersebut.

Seyogianya sikap memberlakukan sekolah secara adil justru akan menimbulkan efek persaingan secara positif dan merangsang stakeholder sekolah memberikan yang terbaik untuk kemajuan pendidikan di tingkatan masing-masing. Sekolah yang baik mestinya tidak didasari oleh predikat-predikat hiperbolis tetapi lebih didasarkan dari komitmen dan keseriusan dalam proses ajar-mengajar sehingga siswa mampu menerima semua ilmu yang diterima secara memadai tanpa terhalang terhadap oleh diskriminasi klasifikasi sekolah yang dibuat-buat.

Jika pemerintah berlaku adil maka semua sekolah mampu menjadi sekolah unggulan. Dalam artian sekolah menjadi sarana efektif bagi pembentukan karakter siswa yang positif dan berbudi pekerti yang luhur. Alokasi dana bila diatur secara adil juga akan mampu merangsang sekolah-sekolah untuk memberikan yang terbaik buat anak didiknya. Tentu saja kesejahteraan guru sebagai figur utama juga harus menjadi catatan sendiri agar mereka mampu memberikan ilmunya secara optimal kepada anak didiknya..

Terakhir kita perlu merenungi ucapan Guru Harfan - tokoh pendidik dalam film Laskar Pelangi- bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya didasari oleh deretan angka-angka dan fasilitas tetapi oleh cerminan hati dan kebaikan budi pekerti anak didik sebagai buah dari proses pendidikan yang dilakukan secara tulus, kontinyu dan penuh pengabdian. Tentu saja hal ini dapat terwujud manakala semua pihak berupaya mengikis diskriminasi yang telah menggurita khususnya dalam sistem pendidikan dasar dan menengah kita. Wallahu 'alam bisshawab.

Zuber Safawi, S.HI.
(Penulis adalah anggota DPR RI FPKS)

Tanggal : 13 May 2009
Sumber : Harian Terbit