Rabu, 18 Februari 2009

Problem Pengawasan Produk Pangan

Jatuhnya korban anak-anak Taman Kanak-kanak (TK) Sekar Bangsa akibat memakan permen narkoba beberapa waktu lalu, telah memunculkan kekhawatiran para siswa dan orang tua terhadap keamanan produk pangan (obat dan makanan) yang banyak dikonsumsi secara bebas oleh anak-anak mereka. Belum usai kasus ini, produk minuman Jamu yang diindikasikan menggunakan zat-zat berbahaya juga muncul ke permukaan publik.

Kasus-kasus di atas telah membuat banyak pihak bertanya tentang sejauhmana peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku badan yang diberi kewenangan penuh melakukan pengaturan, regulasi dan standarisasi produk obat dan makanan. Perlu diketahui, semua produk obat dan makanan yang diproduksi harus menjalani uji klinis BPOM. Dari pengujian ini akan diketahui apakah produk-produk tersebut tidak memiliki kandungan zat berbahaya bagi masyarakat. Jika hasil pengujian tersebut bahan obat dan makanan tersebut terbukti mengandung zat berbahaya maka tidak mungkin beredar di pasaran
.

Sebagai sebuah badan yang memegang peran penting terhadap izin dan pengujian produk-produk obat dan makanan selayaknya BPOM memiliki sumber daya lembaga baik SDM, anggaran maupun infrasruktur lainnya secara memadai. Namun faktanya justru sebaliknya sehingga BPOM terlihat kedodoran dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Problem pengawasan
Terkait masalah pengawasan setidaknya BPOM memiliki beberapa tugas yang utama antara lain, (1) pengawasan secara ketat terkait dengan masalah lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan cara-cara produksi obat yang baik; (2) mengadakan evaluasi produk sebelum diluncurkan dan diizinkan beredar di pasaran; (3) melakukan post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum; (4) melakukan pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk.

Selain peran diatas, BPOM juga diberi kewenangan competent authority dalam pengawasan prekursor yang mengawasi kasus penyimpangan bahan-bahan Napza Ilegal yang bekerjasama dengan Bareskrim Polri dan Departemen Hukum dan HAM. Sehingga dengan kewenangan ini, BPOM sebenarnya telah memiliki tupoksi pengawasan resmi yang berlapis-lapis dan komprehensif yang dimulai dari importasi,produksi, distribusi, penyaluran dan penggunaan narkotika, psikotropika dan prekursor.

Penguatan Koordinasi
Langkah pengawasan yang dilakukan BPOM selama ini dianggap masih terlambat dan reaktif. Ini sebenarnya tidak perlu terjadi manakala ada kerjasama yang baik dengan instansi terkait seperti kepolisian, kejaksaan, bea cukai dan Depkes. Penguatan koordinasi pengawasan juga dapat dilakukan dengan pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Kerjasama ini dapat melalui sebuah kesepakatan berupa MoU yang masing-masing menjelaskan tentang tugas dan peran bersama dalam hal pengawasan produk-produk farmasi dan makanan di daerah. Tentu saja, MoU ini hanya dapat berlangsung efektif manakala semua pihak peduli dengan nasib masyarakat yang seringkali menjadi korban kejahatan ekonomi melalui jaringan produk-produk berbahaya.

Koordinasi dalam hal penindakan kasus hukum juga dapat dilakukan BPOM bersama kepolisian dan kejaksaan. Namun hal ini harus diawali penguatan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pusat Penyidikan BPOM. Penguatan peran PPNS ini diperlukan untuk menambah daya ungkit penyidikan sehingga menguatkan peran jaksa dalam hal penuntutan hukum kepada pelaku kejahatan bidang farmasi dan makanan di pengadilan. Banyaknya kasus hukum yang mandek atau ringannya hukuman terdakwa salah satunya disebabkan lemahnya substansi tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa kepada pelaku. Sehingga peningkatan kualitas dan kemampuan personil PPNS BPOM diharapkan mampu meningkatkan kualitas tuntutan Jaksa.

Secara umum, hukuman pelaku tindak kejahatan di bidang farmasi dan makanan terbilang berat. Dalam UU No. 23/1992 pasal 80 ayat 4 tentang Kesehatan disebutkan “barangsiapa yang mengedarkan makanan, minuman, dan bahan farmasi yang merugikan kesehatan masyarakat diancam dengan hukuman pidana selama 15 tahun penjara atau denda sebesar Rp 300 juta”. Ini sebenarnya cukup membuat efek jera bagi pelaku, tapi sayangnya jarang sekali pelaku dijatuhi hukuman seberat ini bahkan terkadang lolos dari hukuman karena lemahnya substansi tuntutan yang diajukan kepada pelaku tersebut.

Edukasi dan partispasi masyarakat
Peran pengawasan BPOM selama ini memang tidak diartikan untuk mematai-matai produsen obat dan makanan tetapi lebih ditujukan sebagai langkah preventif dan pembinaan. Oleh karena itu, BPOM juga perlu meningkatkan peran edukasinya baik kepada produsen maupun konsumen. Edukasi kepada produsen ditujukan melalui pemberian petunjuk pembuatan obat dan makanan yang baik (CPOB). Sehingga produsen mampu membuat produk berkualitas dan bermutu tinggi tanpa harus menambah dengan zat-zat yang mergikan kesehan konsumen. Begitu juga dengan edukasi kepada masyarakat selaku konsumen perliu terus diintesifkan agar masyarakat memiliki kesadaran dan kepekaan dalam menilai produk-produk yang beredar di pasaran. Sosialisasi tentang bahan-bahan zat berbahaya diharapkan dapat memunculkan daya kritis masyarakat untuk senantiasa waspada terhadap produk obat dan makanan yang ada.

Adalah menjadi hal yang mustahil manakala kita berharap BPOM mampu mengatasi persolan kejahatan obat dan makanan ini tanpa peran aktif dari masyarakat sendiri. BPOM meski ditengah keterbatasan harus diakui telah berupaya menjalankan perannya, namun upaya edukasi dan public warning yang sering dilakukan BPOM juga menuntut adanya timbal balik dan respon dari masyarakat. Intinya tugas pengawasan obat dan makanan ini seharusnya menjadi hal yang melekat dalam diri setiap anggota masyarakat, sehingga bahaya kejahatan bidang ini dapat dicegah atau minimal berkurang.

Jika semua pihak baik BPOM, kepolisian, kejaksaan, pemerintah daerah, produsen dan masyarakat mampu secara efektif melakukan sinergi maka kejahatan dan terorisme dibidang obat dan makanan diyakini dapat ditangkal lebih dini. Namun sebalik, jika hanya mengandalkan BPOM an sich maka ancaman itu akan selalu muncul. Bukankah kejahatan yang terorganisir akan mudah mengalahkan kebenaran yang tanpa soliditas? Kini saatnya kita menjadi bagian bangsa yang peduli dengan keamanan produk obat dan makanan demi masa depan masyarakat dan anak cucu kita. Wallahu a’lam bishawab


Sumber : Harian JAWA POS, 25 Juni 2008