Rabu, 18 Februari 2009

Membebaskan Negeri dari Malaria

Kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diambil pemerintah menyusul harga kenaikan minyak di pasaran dunia, membawa dampak negatif bagi masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Tingginya harga bahan kebutuhan pokok dan ongkos yang harus dikeluarkan, membuat masyarakat terancam tak mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar sekalipun. Pola konsumsi kebutuhan pokok pun berubah, orang yang biasanya makan tiga kali sehari berubah menjadi dua atau bahkan hanya sekali sehari. Demikian juga dengan jenis makanan yang disantap, dari yang biasanya makan nasi lengkap dengan lauk pauknya, berubah menjadi nasi aking.

Hal tersebut tentu saja berdampak pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Daya tahan masyarakat terhadap penyakit juga menjadi lemah. Sementara akses untuk mendapatkan layanan kesehatan menjadi kian sulit, selain karena kenaikan ongkos layanan kesehatan, keuangan yang dimiliki sudah habis tersedot untuk kebutuhan lain. Akibatnya, masyarakat Indonesia (mungkin) akan menjadi masyarakat yang tidak sehat.

Padahal kualitas kesehatan masyarakat yang prima adalah salah satu tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan. Ini sudah menjadi standar yang telah ditentukan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui UNDP (United Nations Development Programme) dalam bentuk Human Development Index (HDI) atau di Indonesia lebih dikenal dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Sebenarnya standar kesehatan yang dijadikan patokan dalam IPM ini hanyalah prasyarat minimal, namun pada kenyataannya kita masih kerepotan untuk memenuhi standar tersebut, apalagi kini setelah kenaikan harga BBM.

Angka harapan hidup yang menjadi patokan dalam IPM masih sulit untuk dicapai. Tingginya angka kematian yang diakibatkan wabah penyakit menjadi salah satu penyebabnya. Dan hingga kini penyakit malaria masih menjadi penyumbang angka kematian yang cukup tinggi di Indonesia. Bahkan penyakit yang diakibatkan oleh gigitan nyamuk Anopheles sp ini menyebabkan pemerintah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk beberapa daerah yang terkena wabah.

Pada peringatan Hari Malaria Sedunia yang dilaksanakan awal Mei lalu, Menteri Kesehatan Fadilah Supari memberikan penghargaan kepada Propinsi Jawa Tengah yang dinilai berhasil dalam penanganan malaria. Bersama dengan DKI Jakarta dan Yogyakarta, Jawa Tengah dinyatakan sudah bebas malaria. Sebuah prestasi yang patut mendapat apresiasi positif dari kita semua.

Namun demikian, penanganan malaria tidaklah cukup hanya dengan selebrasi pemberian penghargaan kepada daerah yang dianggap berhasil, tapi butuh sebuah strategi nasional yang terarah untuk memberantas penyakit ini. Mengapa? Karena apa yang dicapai sekarang ini, masih jauh dari menyelesaikan masalah.

Data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan jumlah penderita malaria klinis di seluruh Indonesia mencapai 15 juta orang dan 43 ribu diantaranya meninggal. Dari data-data yang lain, jumlah penderita malaria cenderung mengalami kenaikan pertahunnya. Tahun 2006, wabah malaria dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di 7 provinsi, 7 kabupaten, 7 kecamatan dan 10 desa dengan jumlah penderita mencapai 1.107 orang, 23 diantaranya meninggal. Tahun berikutnya (2007) KLB terjadi di 8 provinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan dan 30 desa, dengan jumlah penderita mencapai 1.256 orang dan mengakibatkan 74 penderitanya meninggal dunia.

Menteri Kesehatan sendiri mengakui bahwa saat ini masih ada sekitar 107 juta penduduk Indonesia yang terancam jiwanya karena hidup di daerah endemik malaria. Mereka tersebar di 310 kabupaten yang ada di 32 provinsi di negeri ini. Artinya 70,3 persen dari total kabupaten dan kota yang ada di Indonesia masih merupakan daerah endemik malaria.

Mengapa pemberantasan malaria masih belum membuahkan hasil yang memuaskan? Padahal pemberantasan penyakit ini telah dimulai sejak era pemerintahan Presiden Soekarno, yaitu sejak 12 November 1959. Mungkin keseriusan dan upaya yang sungguh-sungguh untuk memberantas penyakit ini yang harus terus dipupuk. Selain itu penanganan yang tuntas dan menyeluruh bisa menjadi salah satu kata kuncinya.

Sudah sewajarnya jika pemerintah tidak lagi menganggap malaria hanya sebuah penyakit saja. Artinya baru bertindak jika ada orang yang sudah terkena penyakit. Namun, malaria harus dipandang sebagai sebuah ancaman yang sangat membahayakan bagi kelangsungan bangsa ini. Dengan demikian penanganan malaria bisa disejajarkan dengan penanganan masalah yang sangat serius, semisal ancaman invasi dari luar atau ancaman flu burung yang menghebohkan.

Dengan demikian, pemerintah tidak lagi boleh melakukan penanganan malaria secara sektoral. Karena pada hakikatnya, masih banyaknya wilayah yang menjadi daerah endemik malaria disebabkan oleh banyak faktor. Ada faktor perubahan lingkungan yang memicu melonjaknya jumlah populasi nyamuk penyebar malaria. Ada faktor kebiasaan hidup dan sosial budaya masyarakat, faktor biologis yang membuat penyakit restisten terhadap obat, juga faktor jangkauan layanan kesehatan yang belum memadai.

Jika penanganannya masih bersifat sektoral yang hanya melibatkan aspek medis dan teknis, maka tidak mustahil jika penyakit ini akan menjadi wabah abadi di negeri ini. Pemerintah harus berani menangani masalah ini sampai pada tingkat keseriusan paling tinggi. Pemerintah --jika perlu—harus membuat pilot project penanganan malaria secara tuntas dan menyeluruh, yang melibatkan banyak sektor. Selesaikan hingga tuntas berapa pun anggarannya. Dengan demikian, akan terukur berapa anggaran yang dibutuhkan, juga akan terpetakan langkah-langkah paling efektif untuk mengatasi ancaman wabah malaria. Hasilnya nanti digunakan sebagai pola untuk memberantas perkembangan penyakit malaria di daerah-daerah endemik lain. Ini akan efektif dibandingkan dengan penanganan malaria secara sporadis dan temporer.

Jika pemerintah mencanangkan tahun 2010 Indonesia sudah bebas malaria, maka dengan pola ini hal tersebut akan memungkinkan untuk bisa dicapai. Sehingga di masa mendatang tidak terjadi lagi --meminjam ungkapan Menkes Fadilah Supari— ”masa presidennya sudah gonta ganti terus, malaria masih ada”.

Keberhasilan membebaskan negeri ini dari penyakit malaria adalah sebuah prestasi besar yang harus dicapai dan pada gilirannya itu akan sangat mempengaruhi capaian keberhasilan pembangunan. Menurunnya tingkat kematian akan berimplikasi pada angka harapan hidup yang makin bertambah. Pada gilirannya standar minimal kesehatan yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan pun akan terlampaui.

Sumber : Harian WAWASAN, 18 Juni 2008