Jumat, 19 September 2008

Menanti Janji Program Puskesmas Gratis

Ada hal menarik dalam Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 15 Agustus lalu. Pertama, dalam pidatonya di hadapan Sidang Paripurna DPR/MPR tersebut, presiden memenuhi tuntutan anggaran 20 persen untuk pendidikan. Ini sebuah kemajuan, meski harus melalui “ancaman” dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelumnya (13/8) MK memutuskan bahwa UU No.16/2008 (UU APBN 2008) bertentangan dengan UUD 1945. Dalam UU tersebut, anggaran pendidikan baru mencapai sekitar 15,6 persen dari APBN. Padahal dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945, pemerintah harus menganggarkan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan. Oleh karena itu MK meminta pemerintah untuk memenuhinya, meski tak harus dilakukan seketika.

Kedua, SBY juga mengungkapkan rencana untuk menggratiskan layanan dasar di Puskesmas. Layanan kesehatan gratis ini juga berlaku di kelas III rumah sakit, tapi hanya untuk warga tidak mampu. Sungguh ini sebuah program populis yang telah lama ditunggu warga.

Tapi mengapa baru sekarang? Apakah ada kaitannya dengan kampanye politik? Tentu banyak orang berpikir demikian, maklum masa kampanye untuk Pemilu 2009 telah dimulai sejak awal Juli lalu. Dan tidak salah pula jika muncul pertanyaan seperti itu, karena sudah jadi rahasia umum jika menjelang berakhirnya masa jabatan atau mendekati periode pemilihan berikutnya, para pejabat sering jor-joran mengumbar program-program yang sifatnya populis.

Namun, terlepas dari politis atau bukan, kampanye atau tidak, sesungguhnya apa yang dicanangkan Presiden SBY adalah sebuah langkah maju di bidang kesehatan. Tentu saja jika hal tersebut diimbangi dengan implementasi yang serius. Bukan sebatas basa-basi politis untuk mendongkrak popularitas saja.

Nah, untuk mengurai agar program tersebut tak hanya sebatas wacana, ada beberapa hal yang nampaknya layak untuk dilihat kembali. Berdasarkan pengalaman, penggratisan layanan di puskesmas akan mengakibatkan melonjaknya jumlah pasien di puskesmas. Sebagai perbandingan, mari kita lihat data pemanfaatan layanan kesehatan yang dihimpun oleh PT Askes. Ada lonjakan jumlah pasien ketika layanan kesehatan untuk masyarakat kurang mampu digratiskan lewat Program Asuransi Kesehatan untuk Warga Miskin (Askeskin).

Tahun 2005, jumlah pasien rawat jalan berjumlah 1,45 juta orang, meningkat menjadi 3,85 juta orang di tahun berikutnya, dan menjadi 5,96 juta orang pada tahun 2007. Hal serupa juga terjadi pada jumlah pasien rawat inap yang memanfaatkan fasilitas askes. Tahun 2005 jumlahnya sebanyak 562 ribu orang, tahun 2006 menjadi 1,58 juta, dan tahun 2007 meningkat menjadi 1,91 juta pasien.

Tentu saja lonjakan jumlah pasien di puskesmas tidak semata-mata disebabkan penggratisan layanan, meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan juga bisa menjadi faktor pemicunya. Namun tak dapat disangkal, layanan gratis ini akan menarik warga untuk datang.

Jika lonjakan jumlah pasien ini tidak diikuti dengan peningkatan kualitas layanan, tambahan fasilitas pendukung, penambahan tenaga pengelola puskesmas dan peningkatan keterampilan, maka program ini akan menjadi blunder besar. Puskesmas akan overload, sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya secara optimal. Ujung-ujungnya layanan kesehatan di puskesmas jadi amburadul.

Dalam kondisi ini, ada kecenderungan pihak puskesmas langsung merujuk pasiennya ke rumah sakit. Apalagi sistem kapitasi yang selama ini diterapkan memberikan remunerasi bukan atas dasar volume kerja yang dilakukan. Banyak sedikitnya volume pekerjaan tak mempengaruhi nominal remunerasi yang didapatkan pengelola puskesmas. Jadi wajar jika pengelola puskesmas lebih suka merujuk ke rumah sakit dibanding melayani pasien.

Hal tersebut tentu saja akan mengubah wajah rumah sakit menjadi “puskesmas besar”. Rumah sakit akan kebanjiran pasien yang membutuhkan layanan kesehatan dasar yang sebenarnya bisa dilakukan di tingkat puskesmas. Jika kondisi ini berlanjut, maka pembagian peran antara rumah sakit dan unit-unit layanan kesehatan di bawahnya tak akan berjalan. Penumpukan pasien akan terjadi di rumah sakit, sehingga layanan kesehatan tak bisa dilakukan semestinya. Sekarang saja, masih sering terjadi pasien yang tidak terlayani karena terbatasnya fasilitas dan SDM yang ada.

Selain itu, rujukan ke rumah sakit bisa memunculkan mispersepsi ketika warga yang tak termasuk golongan tidak mampu dikenakan ongkos atas layanan kesehatan yang diterimanya. Pasalnya, layanan kesehatan gratis di rumah sakit hanya berlaku untuk masyarakat kurang mampu, itu pun hanya untuk kelas III.

Di beberapa daerah yang telah berhasil menggratiskan layanan kesehatan di tingkat puskesmas, permasalahan seperti ini sering terjadi. Standar pelayanan kesehatan yang tadinya sudah berjalan cukup baik, lambat laun semakin turun, dan menjauhi standar yang seharusnya.

Di sisi lain, efektivitas kebijakan seperti ini ternyata dirasakan sangat kurang. Sebenarnya sebagian besar masyarakat terhitung mampu untuk membayar ongkos layanan dasar di puskesmas yang memang tidak seberapa mahal. Hanya orang-orang yang benar-benar miskinlah yang tak mampu menjangkaunya. Yang dirasakan berat oleh masyarakat adalah biaya layanan kesehatan lanjutan yang biasanya dilakukan rumah sakit.

Dari sisi anggaran, kebijakan menggratiskan layanan kesehatan bagi seluruh warga di puskesmas ini harus sejalan dengan upaya antisipasi melonjaknya jumlah pasien. Jangan sampai estimasi pembiayaannya tak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Jika ini terjadi, yang dirugikan adalah pasien yang tak mendapat layanan dengan alasan anggarannya tak mencukupi. Sebagai contoh, bisa kita lihat pengalaman Program Askeskin. Program ini mandeg karena ketidaksesuaian antara anggaran dan realisasi di lapangan, juga terjadinya keterlambatan dropping dana kepada pihak provider (rumah sakit).

Hilangnya pemasukan puskesmas dari pengguna layanan kesehatan (pasien yang tidak miskin) juga berpengaruh terhadap operasional lembaga kesehatan ini. Biasanya dana tersebut dijadikan sebagai tambahan biaya operasional puskesmas.

Namun, jika pemerintah benar-benar ingin menyaksikan program ini tak hanya manis ketika didengar, rapi di konsep, tapi berantakan di lapangan, ada baiknya melihat kembali langkah-langkah persiapannya. Ada langkah-langkah strategis yang harus ditempuh. Pertama, kesiapan SDM harus benar-benar dipastikan mamadai, baik dari segi jumlah, maupun kualifikasinya. Lonjakan jumlah pasien harus diimbangi dengan penambahan tenaga pengelola kesehatan di puskesmas berikut peningkatan keterampilannya. Sehingga layanan kesehatan tetap bisa dilakukan sesuai standar yang telah ditetapkan.

Kedua, perlu dihitung ulang kebutuhan riil puskesmas untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien. Kebutuhan riil ini tidak hanya terkait dengan kebutuhan anggaran untuk melakukan layanan kesehatan. Tapi menyangkut pula jumlah sarana dan fasilitas penunjang yang ada. Apakah jumlah puskesmas yang ada sudah mencukupi, sebandingkah dengan kepadatan penduduk di daerah tersebut, bagaimana dengan luas area jangkauannya? Itulah sebagian pertanyaan yang harus dipastikan jawabannya, YA! Artinya sudah tak ada masalah.

Ketiga, harus ada regulasi yang jelas dan detail tentang rujukan pasien. Dalam kondisi seperti apa saja pasien bisa dirujuk ke rumah sakit dan mana yang harus dilayani di puskesmas. Hal ini untuk meminimalisir praktik asal rujuk. Jika hal ini berlaku, rumah sakit tak akan berubah menjadi “puskesmas besar” dan pembagian porsi layanan kesehatan tetap berjalan secara wajar.

Keempat, perlu ada informasi yang transparan kepada masyarakat mengenai jenis layanan kesehatan apa saja yang bisa dilakukan puskesmas. Jangan sampai muncul persepsi bahwa seluruh penyakit bisa ditangani puskesmas. Sehingga ketika dirujuk ke rumah sakit dan harus membayar layanan kesehatan di sana (karena bukan masyarakat miskin), ia tidak merasa tertipu. Ia sudah memahaminya sejak awal.

Kelima dan yang terpenting, pengawasan dan evaluasi. Ini yang biasanya lemah. Sehingga sudah jadi rahasia umum, jika sebagian program yang ada hanya bagus dikonsep, tapi lemah implementasinya karena pengawasan dan evaluasinya tidak jalan.

Mudah-mudahan jika langkah-langkah persiapan dan disertai ketulusan niat untuk mengabdi, program puskesmas gratis dan layanan kesehatan gratis untuk warga miskin di rumah sakit bukan sekadar basa-basi politik menjelang pemilu. Tapi sebuah upaya terpuji pemerintah untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelayan bagi rakyatnya.

Sumber : Harian Republika, kamis, 18 September 2008