Jumat, 19 September 2008

Reformasi Pelayanan Rumah Sakit

Alam kemerdekaan Indonesia yang sudah berusia 63 tahun tidak selalu dinikmati oleh anak bangsa khusus para pasien miskin di tanah air. Beragam kasus penolakan pasien miskin oleh Rumah Sakit (RS) masih sering terjadi. Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan telantarnya puluhan pasien program Jamkesmas di RSCM Jakarta. Ini tentu memprihatinkan kita semua karena hal itu menggores rasa kemanusiaan kita sebagai anak bangsa. Betapa tidak, karena alasan ketidakmampuan ekonomi, pasien miskin yang pada saat itu sangat membutuhkan layanan kesehatan harus rela menerima penolakan dari pihak RS dengan beragam alasan.

Kejadian seperti ini, apalagi sudah berulang kali terjadi, menjadi gambaran bagaimana pengelola rumah sakit memandang calon pasiennya. Sisi kemanusiaan, yang ditandai dengan keinginan menolong orang lain lepas dari penderitaan, dikalahkan keinginan memperoleh penghasilan (bayaran). Sederhananya, rumah sakit memandang pasiennya dalam hubungan eksploitatif. Hubungan yang didasarkan pada pertimbangan untung rugi. Pasien dipandang sebagai pihak yang harus mendatangkan keuntungan bagi RS. Jika tidak, maka lebih baik pasien itu ditolak.

Sejatinya pasien juga manusia, yang secara fitrah sama dengan dokter, perawat, paramedis dan pengelola RS lainnya. Sudah selayaknya hubungan yang terjadi adalah hubungan manusiawi. Para pengelola rumah sakit (dokter, perawat dan paramedis) harus mendahulukan upaya pelayanan kesehatan bagi pasiennya. Sehingga selain kesembuhan pasien, kepuasan atas layanan rumah sakit menjadi hasil nyata yang bisa diperoleh.

Pola hubungan seperti ini juga menuntut pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tidak diskriminatif. Adanya pembagian kelas di RS bukan untuk membedakan kualitas layanan. Pasien kelas III (yang mayoritas masyarakat miskin) harus mendapat layanan kesehatan dengan standar sama dengan kelas-kelas di atasnya (VVIP, VIP, kelas I dan kelas II). Yang membedakannya cukup fasilitas tambahan dalam ruang perawatannya, seperti AC, televisi, lemari pendingin, meja dan kursi tamu. Sehingga layanan kesehatan yang layak bisa dirasakan pula oleh orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung. Namun tentu saja keberadaan dan pengelolaan RS butuh biaya yang tidak sedikit. Karena pada dasarnya rumah sakit adalah industri kesehatan yang padat modal, padat teknologi dan padat karya. Apalagi sebagian besar RS di Indonesia dikelola pihak swasta yang tidak mendapatkan alokasi pendanaan dari pemerintah. Sehingga aspek bisnis menjadi hal yang tak bisa dipisahkan dari pengelolaan rumah sakit.

Data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menunjukkan bahwa rumah sakit yang dikelola pihak swasta pada tahun 2005 berjumlah 626 unit atau 49,4 persen dari keseluruhan rumah sakit yang ada di Indonesia. Sementara rumah sakit yang dikelola pemerintah (Depkes dan Pemda) jumlahnya hanya 452 unit. RS yang dikelola TNI dan Polri lebih sedikit lagi, hanya 112 unit, dan RS yang dikelola BUMN dan departemen lain berjumlah 78 unit. Kenyataannya memang pengelolaan RS lebih cenderung menganut mekanisme pasar. Buktinya jumlah rumah sakit di kota-kota besar yang notabene penghasilan penduduknya tinggi lebih banyak dibanding daerah-daerah yang penduduknya berpenghasilan rendah.

Dualisme Kepentingan
Sayangnya mekanisme pasar tersebut tidak disertai aturan dan pengawasan yang memadai. Enam rumah sakit yang terbukti menolak pasien miskin pada tahun 2005 hanya dikenai teguran dan peringatan. Sanksi ini tidak menunjukkan ketegasan pemerintah menjamin warga negara untuk memperoleh haknya. Bukankah kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia dan pemerintah –sesuai amanat UUD 1945—harus menjamin setiap warga negara mendapatkan layanan kesehatan yang layak.

Ketika ada warga negara yang tak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak maka secara langsung pemerintah telah melanggar konstitusi. Sehingga pemerintah harus memfasilitasi agar semua warga bisa mendapatkan layanan kesehatan yang layak, tanpa harus melihat status sosialnya terlebih dahulu. Oleh karena itu harus ada aturan yang jelas disertai sanksi yang tegas agar kejadian warga miskin yang ditolak rumah sakit tak terjadi lagi.

Faktanya, rumah sakit memang dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda. Di satu sisi, sebagai sebuah badan usaha rumah sakit dituntut untuk memperoleh keuntungan dari segala aktivitas yang dilaksanakannya. Dokter, perawat, para medis dan pengelola rumah sakit lainnya harus mampu berperan sebagai revenue center (pusat penghasilan) untuk menjaga keberlangsungan hidup rumah sakit. Inilah yang sering mendorong pola hubungan eksploitatif dikembangkan rumah sakit terhadap pasien.

Di sisi lain, tuntutan etis untuk tidak menjadikan kesehatan sebagai komoditas ekonomi juga begitu kuat. Kesehatan sebagai hak dasar manusia terlalu sakral untuk diperdagangkan. Sehingga dalam perspektif ini pelayanan kesehatan harus diselenggarakan berdasarkan prinsip sosial kemanusiaan. Layanan kesehatan ada untuk menolong manusia lain, bukan untuk mencari bayaran, apalagi keuntungan.

Tentu saja tanpa aturan yang jelas, tarik menarik kepentingan tersebut akan berakibat fatal. Akan ada yang menjadi korban. Jika sepenuhnya mengacu pada mekanisme pasar, maka akan semakin banyak warga yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan. Namun bila seluruhnya didasarkan pada prinsip sosial, tanpa sumber pendanaan yang jelas, akan berefek pada ketahanan rumah sakit dalam memberikan layanan kesehatan. Bisa jadi tak ada orang atau pihak yang mau menyelenggarakan layanan kesehatan. Dua-duanya mengakibatkan rakyat sulit mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Bila hal ini tidak teratasi, pemerintah sebagai penyelenggara pengelolaan negara dianggap gagal menjalankan amanat UUD 45 terutama pasal 34 ayat 3, yakni “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Untuk menjamin kepastian keberlangsungan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang berkualitas di RS maka pemerintah perlu memikirkan kemungkinan pemberian subsidi atau paket-paket kebijakan yang meringankan pembiayaan dalam pengelolaan RS apapun bentuknya terutama bagi kelompok RS swasta serta memberikan pembiayaan yang cukup dalam APBN maupun APBD bagi RS Pemerintah dan RS Daerah. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan RS bisa survive dalam memberikan pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas.

Reformasi Rumah Sakit
Meski dinilai terlambat oleh banyak pihak, saat ini DPR dan pemerintah sedang menggodok RUU RS. Maklum pengelolaan RS selama ini yang didasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 59b/Menkes/PER/II/1988 belum mampu mengakomodir beragam kepentingan yang ada dan memberi arahan yang jelas seperti apa RS di Indonesia harus beroperasi.Bahkan sejak diberlakukannyaUU No. 10/2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, praktis RS tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Karena berdasarkan UU tersebut, peraturan menteri tidak lagi masuk ke dalam hirarki perundangan yang ada di Indonesia. Cukup ironis memang, RS yang jumlahnya 1.268 unit dan melayani juataan warga tak dilengkapi dasar pijakan hukum yang kuat. Padahal BUMN yang jumlahnya hanya 260-an saja sudah diatur dengan Undang-undang. Sehingga dipndang perlu adanya upaya reformasi pelayanan RS ini melalui regulasi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Selain itu, beragamnya bentuk tata kelola rumah sakit selama ini, membuat orientasi pelayanan kesehatan pun memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Misalnya rumah sakit yang berstatus milik pemerintah lebih mengacu pada PP No. 23/2005 tentang Badan Layanan Umum. Sementara rumah sakit yang berstatus badan hukum komersial mengacu pada UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, sedangkan yang berstatus yayasan jelas berpedoman kepada UU No. 28/2004 tentang Yayasan. Perbedaan tersebut menyebabkan sulitnya pengaturan pengelolaan rumah sakit yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan. Jika ditilik lebih jauh, tidak rasional kiranya jika untuk produk layanan yang sama, yaitu kesehatan, ada dasar aturan yang berbeda. Apalagi satu dan lainnya sama sekali bertolak belakang sehingga reformasi pengaturan peran RS ini sudah sangat mendesak.

Diharapkan lahirnya undang-undang yang mengatur pengelolaan rumah sakit akan memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan secara layak dan profesional tanpa ada pihak yang harus dikorbankan. Di sinilah pemerintah menjalankan perannya memberikan landasan yang kuat menjamin masyarakat untuk mendapatkan haknya memperoleh layanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau, dan disaat yang sama RS juga mendapat jaminan untuk menjalankan fungsi bisnisnya.

Idealnya, pembahasan RUU tentang pengelolaan rumah sakit ini bisa melibatkan seluruh lapisan masyarakat, sehingga masukan tentang bagaimana rumah sakit ini akan dikelola menjadi lebih komprehensif. Untuk itu, pembahasan RUU tersebut baik Pemerintah maupun DPR melalui sekretariatnya.masing-masing harus mensosialisasikan draf RUU tersebut ke publik. Harapannya adalah agar masyarakat tahu dan berpartisipasi dengan menyampaikan aspirasinya melalui saluran-saluran yang sudah tersedia. Sehingga aturan reformasi pelayanan RS ini dapat berjalan sesuai dengan harapan pemerinta, DPR dan masyarakat.

Memang ini bukan pekerjaan mudah, namun untuk sebuah hasil yang mulia dan bermanfaat bagi masyarakat banyak sudah selayaknya hal ini dilakukan. Sehingga dengan adanya reformasi dan regulasi yang baru, RS menjadi tempat yang nyaman dan bersahabat khususnya bagi warga miskin. Sehingga institusi RS tidak semata-mata untuk mencari keuntungan bisnis belaka tetapi memiliki misi sosial bagi kesejahteraan anak bangsa. Wallahu a’lam bishawwab (*)

Sumber : Harian terbit, kamis, 18 September 2008