Rabu, 18 Februari 2009

Jaminan Sosial Keluarga Miskin

Terusirnya 26 pasien pemegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta beberapa hari lalu, menunjukkan amburadulnya mekanisme pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Para pasien yang mendapat rujukan dari beberapa RS di luar Jakarta tersebut, tak bisa dirawat inap dengan alasan terbatasnya kapasitas RS sehingga mereka akhirnya menempati ruang kosong di lantai dasar gedung IRNA B RSCM. Sebuah ruang yang sangat tak layak ditempati pasien yang butuh perawatan, tak ada tempat tempat tidur atau fasilitas penunjang lain.

Parahnya, para pasien yang berasal dari kalangan masyarakat kurang mampu ini, juga harus terusir dari tempat itu karena ruangan yang mereka jadikan tempat bernaung hendak dibongkar pihak RSCM. Mereka terusir tanpa ada solusi yang ditawarkan pihak rumah sakit. Sebuah kondisi ironis yang sebenarnya tidak harus terjadi jika sistem jaminan sosial (termasuk kesehatan) di negeri ini dilaksanakan semestinya. Beruntunglah LBH Jakarta dan seorang dermawan bersedia menampung mereka untuk sementara waktu.

Jaminan sosial ini memang harus ada karena tingkat kemakmuran sebagian besar penduduk belum memungkinkan masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan secara memadai karena mahalnya biaya pengobatan. Sedangkan pelayanan kesehatan bagi anggota masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan adalah mutlak adanya. Sangat tidak manusiawi kiranya jika orang yang sakit dibiarkan begitu saja tanpa mendapat pelayanan kesehatan karena secara ekonomi ia tak mampu membayar biaya tersebut.

Dalam kondisi seperti ini maka pemerintah berkewajiban memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan yang semestinya. Pelayanan kesehatan ini harus dilaksanakan tanpa melihat status ekonominya karena sejatinya “health is a fundamental human rights” (kesehatan adalah hak asasi manusia yang paling dasar) seperti yang tercantum dalam deklarasi hak asasi manusia internasional. Jika ia tergolong masyarakat yang mampu, maka ia harus membayar ongkos layanan kesehatan. Namun jika ia tak mampu, maka pemerintah berkewajiban menanggung biaya tersebut.

Namun hingga kini jaminan pelayanan kesehatan oleh pemerintah belum terlaksana sesuai harapan. Program Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (askeskin) yang dijalankan pemerintah sejak tahun 2005 menuai banyak kendala. Masih banyak masyarakat miskin yang belum terjaring program ini. Padahal sejatinya program ini diluncurkan untuk memperbaiki sistem bantuan pemerintah yang diberikan kepada pemegang kartu Keluarga Miskin (Gakin).

Dalam salah satu media nasional di Jakarta, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia yang juga salah seorang perumus UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Hasbullah Thabrany mengungkapkan bahwa jumlah pemegang kartu Gakin yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum (RSU) kurang dari 5 persen dari keseluruhan pasien. Ini bukan berarti bahwa sebagian besar pasien rawat inap mampu membayar layanan kesehatan (ability to pay). Tapi mereka terpaksa untuk membayar (forced to pay), karena tidak ada pilihan lain.

Fakta inilah yang menjadi salah satu dasar pelaksanaan program askeskin. Perluasan layanan yang diharapkan terwujud melalui program ini justru memunculkan masalah baru, mulai dari data yang kurang akurat sehingga menyebabkan banyak anggota masyarakat miskin tidak terdaftar sebagai peserta askeskin, hingga keterlambatan pembayaran klaim kepada pihak provider (Rumah Sakit) oleh PT Askes yang menjadi penyelenggara program ini. Bahkan, pada akhir Januari 2008, PT Askes masih berhutang sebesar Rp. 1,145 triliun kepada beberapa RS yang menjadi provider layanan kesehatan untuk peserta Askeskin.

Program Jamkesmas
Sebagaimana yang kita ketahui, Departemen Kesehatan meluncurkan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sebagai pengganti program Askeskin pada awal Maret lalu. Menurut Menkes Siti Fadillah Supari, program ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan sskeskin. Sasarannya tetap masyarakat miskin dan hampir miskin, namun ada sedikit perbedaan dalam pengelolaannya. Jika dalam program Askeskin, PT Askes bertindak sebagai pengelola dari sisi manajemen kepesertaan, verifikasi klaim hingga pengelolaan keuangan, maka dalam program Jamkesmas PT Askes hanya menangani masalah manajemen kepesertaan, sementara verifikasi klaim akan dilakukan verifikator independen dan untuk masalah pembayaran langsung dibayarkan ke rekening RS pelaksana program.

Namun, program yang dijadwalkan efektif berlaku Juli 2008 ini tak sepenuhnya siap dilaksanakan. Bahkan beberapa pihak meminta program ini ditunda pelaksanaannya hingga benar-benar siap dijalankan. Setidaknya ada dua masalah besar yang menyebabkan program ini belum siap untuk diaplikasikan.

Pertama, masalah teknis yang meliputi masalah kepesertaan, besaran premi, dan verifikasi kelayakan data dan klaim. Hingga kini pemerintah (Depkes) hanya memperkirakan bahwa jumlah peserta Jamkesmas (masyarakat miskin dan mendekati miskin) berjumlah 76,4 juta jiwa atau 19,1 juta keluarga. Namun akurasi data ini masih dipertanyakan karena tak ada data yang jelas siapa saja masyarakat miskin tersebut. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jelas sudah tidak valid lagi, karena sudah kadaluarsa, sementara pendataan yang melibatkan pihak Pemerintah Daerah belum juga terlaksana dengan baik.

Masalah besaran premi juga masih menjadi bahan perdebatan. Untuk pelaksanaan Jamkesmas, pemerintah menganggarkan premi sebesar Rp 5.000/kepala tiap bulan. Anggaran ini dinilai tidak realistis karena belum didasarkan kajian yang mendalam terkait kebutuhan pendanaan riil di lapangan.

Masalah ini belum mendapatkan solusinya karena pihak yang berwenang menentukan mekanisme pelaksana program sesuai UU No.40/2004 yaitu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) belum terbentuk. Padahal kabarnya Perpres tentang DJSN ini sudah dikeluarkan, namun tak bisa diterapkan karena orang-orang yang tercantum dalam Perpres itu sudah melewati batas umur sehingga harus menunggu adanya rekrutmen baru. Hal yang sama juga terjadi terhadap tim verifikator yang seharusnya sudah mulai melakukan tugasnya. Tim ini sampai hari belum terbentuk sehingga, proses verifikasi data dan klaim tidak bisa dilaksanakan.

Kedua adalah masalah yuridis. Jamkesmas yang diprogramkan Departemen Kesehatan belum sepenuhnya mengacu kepada UU No. 40/2004. Padahal Jamkesmas merupakan salah satu embrio dari Sistem Jaminan Sosial Nasional yang khusus menggarap masyarakat miskin dan mendekati miskin pada aspek kesehatan.

Berdasarkan undang-undang ini, jaminan sosial kepada kepada seluruh Warga Negara Indonesia diwujudkan dalam bentuk asuransi. Sedangkan penyelenggaraan asuransi sosial menurut UU No. 2/1992 tentang Asuransi pada pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh BUMN. Sehingga BPJS menurut undang-undang ini mestinya berbentuk BUMN.

Masalahnya adalah, prinsip BPJS dalam UU No. 40/2004 bersifat nirlaba sedangkan menurut UU No. 19/2003 tentang BUMN disebutkan bahwa BUMN bersifat mencari keuntungan (pasal 1 ayat 2). Sehingga harus ada perubahan atau revisi diantara undang-undang tersebut agar maksud baik untuk memberikan jaminan sosial tidak harus bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keseriusan Pemerintah
Masalah lainnya adalah landasan pembentukan BPJS sendiri yang hingga kini masih belum jelas arahnya. Padahal jika mengacu pada UU No.40/2004, BPJS ini harus dibentuk berdasarkan undang-undang paling lambat tahun 2009. Namun hingga kini belum ada usulan pembentukan undang-undang terkait BPJS. Apakah ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah melaksanakan amanat undang-undang?

Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diatur dengan UU No.40/2004 sesungguhnya merupakan upaya memberikan jaminan sosial kepada seluruh warga negara Indonesia dalam bentuk asuransi. Diharapkan secara bertahap seluruh masyarakat Indonesia nantinya terjamin dalam sistem jaminan sosial yang terselenggara dengan baik sesuai amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 2: ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Namun jika melihat pelaksanaan jaminan sosial bagi masyarakat yang lemah dan tidak mampu seperti yang diprogramkan pemerintah lewat Jamkesmas, nampaknya implementasi UU No.40/2004 ini masih jauh dari harapan. Perlu keseriusan dari semua pihak, baik pemerintah, DPR, dan pihak rumah sakit untuk mempersiapkan segala perangkat pendukung agar SJSN bisa terlaksana. Karena keseriusan ini dapat menjadi bukti pemerintah telah berupaya menjalankan tugasnya, memberikan jaminan sosial bagi setiap warganya. Sehingga diharapkan tak ada lagi kisah pilu yang dialami oleh rakyat miskin karena tidak mendapat layanan kesehatan secara manusiawi. (*)

Sumber : Harian SUARA MERDEKA, 9 Agustus 2008