Rabu, 18 Februari 2009

Mewujudkan Pendidikan Sekolah Murah

LONJAKAN pengeluaran di bulan Juli dan Agustus ini kerap menjadi bahan obrolan. Bukan hanya naiknya harga sembako yang membuat pengeluaran meningkat tajam, tetapi munculnya pos pengeluaran baru, biaya pendidikan. Maklum, bulan Juli hingga Agustus adalah tahun ajaran baru bagi para pelajar di Indonesia.
Pada bulan tersebut para orang tua harus mengeluarkan biaya untuk memasukkan anaknya ke sekolah, daftar ulang, juga membeli kebutuhan penunjang pendidikan. Jumlahnya tidak sedikit. Sehingga tak jarang obrolan yang berkembang di kalangan orang tua berujung pada keluhan.

Di satu sisi, banyaknya keluhan tentang biaya pendidikan ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat tentang pendidikan. Kesadaran ini memunculkan persepsi bahwa pendidikan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Masyarakat sudah tidak lagi menganggap pendidikan sebagai kebutuhan bangsa lain. Sehingga menyekolahkan anak adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Ini cukup menggembirakan, karena pada masa lampau tak sedikit orang tua yang tak peduli dengan pendidikan putra-putrinya. Sekolah dan pendidikan formal menjadi hak segelintir elit masyarakat. Pada masa kini obrolan tentang sekolah atau biaya pendidikan adalah hal yang teramat langka.Di sisi lain, keluhan tentang mahalnya biaya pendidikan ini memberikan gambaran betapa sebagian besar masyarakat kita sangat terbebani dengan hal tersebut. Tak dapat disangkal memang, untuk menyelenggarakan pendidikan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi jika mengharapkan pendidikan tersebut benar-benar berkualitas.

Wajar kiranya, jika para orang tua mengharapkan pendidikan yang berkualitas namun biayanya murah. Kenyataannya, dari tahun ke tahun biaya pendidikan relatif mengalami kenaikan. Meski tak semuanya biaya pendidikan itu bersumber dari pungutan langsung dari sekolah, tetapi kenaikan harga kebutuhan penunjang pendidikan juga menjadi faktor meningkatnya biaya pendidikan.

Padahal, peningkatan biaya pendidikan ini belum sepenuhnya sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan. Lihat saja laporan Badan PBB untuk urusan pendidikan, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang menempatkan Indonesia pada peringkat 62 dari 130 negara dalam daftar tingkat pendidikan yang dikeluarkan September 2007. Angka ini menunjukkan penurunan peringkat dari tahun sebelumnya yang berada pada posisi 58. Berdasarkan data tersebut, educational development index (EDI) Indonesia tercatat hanya sebesar 0,935, lebih rendah dari Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965).

Ironis memang. Di tengah banyaknya fundamen negara yang kental dengan tujuan pendidikan, kualitas pendidikannya malah semakin melorot. Ini mengindikasikan adanya ketidaksinkronan antara tujuan dan ide pendidikan dengan upaya pelaksanaannya. Jika kita lihat kembali pembukaan UUD 1945, jelas sekali di sana disebutkan salah satu tujuan pembentukan negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi pelaksanaannya belum mencerminakan upaya pemenuhan tujuan tersebut. Akses anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas masih sangat terbatas, salah satunya terkendala oleh tingginya biaya pendidikan.

Jika mengacu pada konsep pendidikan untuk semua (education for all) yang dicetuskan di Bangkok, Thailand pada tahun 1990, pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan orang tua. Pendidikan adalah kewajiban bersama bukan hanya jadi tanggung jawab pemerintah saja, orang tua saja, atau masyarakat saja. Tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan telah jelas dijabarkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (2), "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal tersebut diperkuat lagi melalui titah UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Kemudian dalam pasal 11 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Keluhan para orang tua tentang tingginya biaya pendidikan adalah bukti jika pemerintah belum mampu melaksanakan titah undang-undang tersebut. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen untuk pendidikan belum sepenuhnya terlaksana. Layanan dan kemudahan di bidang pendidikan yang seharusnya sudah dinikmati warga, juga belum terselenggara. Biaya pendidikan masih saja dirasakan tinggi oleh sebagian besar masyarakat.

Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas yang dilakukan pada tahun 2003, porsi biaya pendidikan yang ditanggung oleh orang tua siswa masih lebih besar dari porsi yang disediakan oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua siswa). Orang tua siswa setidaknya menanggung 53,74-73,87 persen dari biaya pendidikan total (BPT). Sementara pemerintah hanya menanggung 26,13-46,26 persen dari BPT.

Hingga kini nampaknya proporsi tersebut belum banyak berubah, mengingat realisasi 20 persen anggaran untuk pendidikan masih sebatas rencana dalam tumpukan kertas kerja. Pembebasan biaya SPP (sekolah gratis) yang telah berhasil dilakukan di beberapa daerah, tidak serta merta membuat orang tua terbebas dari kewajiban mengeluarkan biaya pendidikan. Kewajiban anak untuk membeli buku yang disediakan sekolah, seragam olah raga, batik, seragam pramuka, seragam sekolah, hingga pungutan administrasi dan uang pendaftaran menjadi daftar biaya yang harus dibayar orang tua, meski semestinya hal tersebut tak lagi memberatkan orang tua.

Lha, kapan sekolah bisa murah? Pertanyaan ini sulit dijawab. Tapi sekiranya ada beberapa hal yang bisa diupayakan untuk menekan tingginya biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua. Pertama, harus dimunculkan paradigma bahwa pendidikan itu bukanlah ladang untuk mencari keuntungan, melainkan ladang pengabdian dan pengorbanan. Dengan demikian, pendidikan tidak lagi dijadikan lahan bisnis untuk mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan, tapi sebagai lahan sosial yang meminimalisasi pengambilan keuntungan yang berlebih.

Jika hal tersebut terwujud, maka pendidikan menjadi persembahan dari satu generasi agar generasi setelahnya menjadi lebih baik dan siap melanjutkan apa yang dicita-citakan oleh generasi sebelum mereka.

Kedua, harus ada paket kebijakan dari pemerintah yang mendukung terselenggaranya pendidikan yang murah dan berkualitas. Kalau sebelumnya penyelenggaraan pendidikan hanya menjadi domain Depdiknas (ditambah beberapa departemen yang menyelenggarakan pendidikan khusus), maka paket kebijakan tersebut harus melibatkan banyak pihak.

Misalnya paket kebijakan pengurangan pajak bangunan bagi sekolah dan alat-alat serta industri penunjang pendidikan. Sehingga diharapkan sekolah tak lagi harus melakukan pungutan uang bangunan, juga harga-harga kebutuhan penunjang pendidikan bisa semakin terjangkau.

Kebijakan lain yang bisa dikeluarkan pemerintah adalah membuka akses bagi sekolah untuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Sekolah tidak lagi harus menjadi tempat ekslusif milik pemerintah yang mengandalkan pendanaan dari pemerintah dan orang tua siswa, tapi bisa bekerja sama dengan pihak swasta untuk menyelenggarakan pendidikan yang murah dan berkualitas. Jelas ini butuh tekanan dan aturan dari pemerintah untuk mengarahkan pihak perusahaan-perusahaan agar memiliki keterlibatan dalam membantu pelaksanaan pendidikan di negeri ini.

Ketiga, harus ada intensifikasi pemanfaatan dana-dana dari masyarakat untuk penyelenggaraan pendidikan. Misalnya melalui paguyuban alumni sekolah, kelompok-kelompok pecinta pendidikan dan lain-lain. Jika langkah-langkah tersebut bisa dilaksanakan secara baik, sekolah murah dan berkualitas bukan lagi sebatas impian. Tentu ini membutuhkan kesadaran dan kerja keras dari kita semua agar anak-anak negeri ini mendapatkan hak-hak pendidikan secara optimal. (*)

Sumber : Harian TERBIT, 13 Agustus 2008