Rabu, 17 September 2008

Daging Glonggongan Marak di Pasar

INILAH.COM, Jakarta – Kasus penjualan daging glonggongan kembali marak. Harga daging yang mahal serta permintaan yang tinggi di saat puasa dan jelang Lebaran menjadi pemicunya. Namun berhati-hatilah, selain haram, 40%-nya hanya berisi air.

Sejak beberapa tahun lalu daging glonggongan sudah banyak beredar di wilayah Solo dan kota sekitarnya. Kabupaten Boyolali disinyalir sebagai pusat peredaran daging sapi jenis ini.

Akhir Agustus lalu, daging glonggongan kembali ditemukan. Ratusan kilogram daging sapi glonggongan ditemukan tim gabungan dari aparat Pemda Sukoharjo, Jawa Tengah saat melakukan inspeksi mendadak (sidak).

Di kota lain juga ditemukan hal serupa. Bahkan di Jakarta, kabarnya sudah mulai beredar, termasuk daging ayam glonggongan. Perdagangan jenis daging ini makin marak menjelang puasa dan bisa terus berlanjut hingga Lebaran mendatang jika tidak ada penanganan intensif dari pemerintah.

Ketua Harian Pusat Data dan Informasi (Pinsar) Unggas, Hartono mengungkapkan, kasus daging glonggongan sebenarnya tidak hanya terjadi saat bulan puasa, tetapi juga pada bulan-bulan lain.

"Untuk kasus ayam, biasanya air ada di bawah lapisan kulit ayam. Cara untuk memastikan apakah itu ayam glonggongan atau tidak, coba daging ayam dipencet agar air keluar," ujar dia. Untuk daging ayam glonggongan biasanya air disuntikkan ke tubuh ayam sehingga timbangannya menjadi lebih berat.

Sementara kasus daging sapi, biasanya glonggongan dilakukan dengan cara memasukkan air lewat selang melalui mulut. Tubuh sapi terpaksa meminum air berlebihan dan kemudian mati. Baru kemudian sapi disembelih dan dipotong-potong.

Pada Februari 2006, MUI Jateng telah mengeluarkan fatwa bahwa daging glonggongan dinyatakan haram. Karena daging tersebut biasanya berasal dari hewan yang telah mati sebelum disembelih.

Ciri-ciri daging glonggongan antara lain warnanya sudah pucat dan berair. Tak heran bila pedagang daging jenis ini tidak menggantung daging dagangannya di kios miliknya, tapi meletakkan di meja atau panci.

Meski dijual dengan harga lebih murah, sebenarnya harganya bisa lebih mahal dari daging segar. Karena, sekitar 30-40% dari berat daging adalah air. Jika membeli daging satu kilogram berarti berat sebenarnya adalah sekitar 6 atau 7 ons saja.

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi meminta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta instansi terkait lainnya untuk melakukan pengawasan terpadu terhadap produk makanan, minuman dan daging pada Ramadan dan menjelang Lebaran 2008 ini.

“Berdasarkan pengalaman tahun lalu sering kali ditemukan produk-produk makanan dan daging yang tidak layak dikomsumsi masyarakat,” papar anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR itu.

BPOM, lanjutnya, harus proaktif melakukan serangkaian pengecekan, pengawasan dan sidak ke lokasi-lokasi seperti pasar, mal dan tempat pemotongan hewan untuk menjamin keamanan produk makanan dan daging sehingga masyarakat dapat aman mengkomsusinya.

Penjualan daging glonggongan terus terjadi akibat jagal sapi yang tidak mengindahkan aturan berlaku, penegakan hukum lemah, dan adanya permintaan pasar. Selama ini payung hukum yang digunakan biasanya berupa peraturan daerah (perda).

Padahal pelakunya bisa juga dijerat dengan UU No 23/1992 tentang Kesehatan, UU No 7/1996 tentang Pangan, dan UU No 8/199 tentang Perlindungan Konsumen. Penanganan dari pemerintah dan penegak hukum menjadi kunci agar praktik penggelonggongan yang berjalan puluhan tahun bisa berhenti. [I4]

Sumber : inilah.com, Ahad, 7 September 2008