Selasa, 03 Juli 2007

Pengawasan BPOM Lemah - Hanya Periksa 6,5% Sampel

SEMARANG- Kinerja Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terus disorot terkait masih banyak beredarnya makanan, minuman dan obat-obatan yang tak layak dikonsumsi. Anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi saat di Semarang mengungkapkan dalam laporan BPOM di rapat tingkat menteri beberapa waktu lalu, disebutkan instansi itu hanya mampu memeriksa 6,5% sampel dari total produk makanan, minuman dan obat-obatan termasuk bahan kosmetika berizin yang beredar di pasaran. ''Idealnya minimal 10% harus dibeli secara acak di tiap daerah guna dijadikan sampel bagi pengawasan regular,'' kata dia saat di Semarang, Senin (2/7).

Dengan demikian anggota FPKS asal Jateng itu menyatakan masih banyak makanan, minuman dan obat-obatan yang beredar sampai ke masyarakat tanpa pengawasan BPOM. Lemahnya pengawasan itu karena kurang fokusnya badan itu dalam menjalankan tugasnya. Belum lagi koordinasi di tingkat wilayah masih belum selaras dengan instruksi dari pusat. Sesuai dengan Keppres Nomor 166/2000 dan Nomor 103/2001 tentang tugas BPOM yakni memberikan izin dan mengawasi peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. ''Justru yang lebih diminati oleh BPOM adalah memberikan izin daripada pengawasan. Mereka mengaku untuk pengawasan terbentur dengan dana yang terbilang minim, sehingga tidak bisa untuk membeli barang contoh dan operasional penelitian,'' lanjut dia.

Tak Terungkap

Zuber juga menjelaskan, selain pengawasan yang lemah, maraknya berbagai pelanggaran peredaran obat dan makanan disebabkan oleh minimnya tindak lanjut atas kasus yang terungkap. Terbukti dari hasil temuan itu, sedikit sekali yang diajukan ke meja hijau. Sesuai laporan BPOM, selama tahun 2006 dari 699 kasus yang terungkap, ternyata 11 kasus yang diputuskan pengadilan. ''Dengan begitu masih 6% yang bisa ditangani,'' jelasnya. Ke depan, BPOM harus tegas dan terbuka mengenai nama sebuah produk minuman, makanan, suplemen dan kosmetika yang membahayakan masyarakat. ''Jangan hanya sanksi ringan seperti selama ini baru sebatas sanksi administratif, wajib lapor, atau denda yang rendah, Sedangkan sanksi berbentuk kurungan masih sangat sedikit, tegas Zuber.

Sumber: Suara Merdeka, Nasional, 3 Juli 2007