Wacana pembentukan Badan Gizi Nasional oleh Menko Kesra Agung Laksono, beberapa waktu lalu, makin menegaskan urgensi penyelesaian masalah gizi buruk di negeri ini. Menilik namanya, tampaknya pemerintah berupaya lebih serius menangani persoalan gizi buruk, sebagaimana keseriusan pemerintah menangani masalah penyalahgunaan narkotik dengan membentuk Badan Narkotika Nasional. Dari sisi dampak, masalah penyalahgunaan narkotik dan gizi buruk memang memiliki kemiripan. Keduanya sama-sama berpotensi menyebabkan hilangnya sebuah generasi (lost generation).
Secara medis, kekurangan gizi yang terjadi berkepanjangan akan mengakibatkan kerusakan permanen pada beberapa organ, meski telah dilakukan upaya penyelamatan. Penderita gizi buruk juga rentan terhadap infeksi dan mengalami gangguan fungsi seperti pembengkakan hati, pengecilan otot, dan peradangan kulit. Tentu saja jika tidak ditangani dengan baik, risiko kematian menjadi sangat besar.
Dampak gizi buruk yang bersifat permanen sangat dimungkinkan terjadi pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Kekurangan gizi pada masa ini, terlebih masa golden period (0-3 tahun), tidak hanya menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan fisik, tetapi juga perkembangan mental dan intelektual sang anak akan mengalami gangguan serius. Efeknya terlihat dari rendahnya tingkat kecerdasan, rentan terhadap penyakit, gangguan dalam pemusatan perhatian, lambatnya perkembangan kemampuan kognitif, dan berbagai gangguan lain yang berdampak pada rendahnya kualitas manusia secara umum.
Dampak menakutkan dari gizi buruk ini sebenarnya sudah dipahami sejak lama. Tak mengherankan jika berpuluh tahun lalu upaya pengentasan gizi buruk ini sudah dilakukan. Pembentukan Lembaga Makanan Rakyat (LMR) yang digagas Bapak Gizi Indonesia Dr Poorwo Soedarmo pada tahun 1950 adalah salah satu tonggak upaya perbaikan gizi masyarakat secara nasional. Sejak saat itu pula semboyan "empat sehat lima sempurna" begitu akrab di telinga masyarakat.
Meski telah banyak kemajuan yang telah dicapai dalam upaya penyelesaian gizi buruk, namun hingga kini masih banyak masyarakat yang menderita gizi buruk. Riset kesehatan dasar (riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional gizi buruk pada anak balita mencapai 5,4 persen dan gizi kurang sebesar 13 persen. Dari data yang sama juga diketahui bahwa sebesar 13,3 persen anak laki-laki dan 10,9 persen anak perempuan usia sekolah (6-14 tahun) terkategori kurus berdasarkan perbandingan berat/tinggi badan.
Lebih jauh, hasil riskesdas tersebut mencatat sebanyak 21 provinsi dan 216 kabupaten/kota memiliki prevalensi gizi buruk di atas rata-rata nasional (5,4 persen). Sedangkan berdasarkan gabungan hasil pengukuran gizi buruk dan gizi kurang, ditemukan sebanyak 19 provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas rata-rata nasional atau di atas 18,4 persen.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masa depan bangsa ini masih dalam kondisi terancam kehilangan generasi yang berkualitas. Generasi yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi kurang gizi atau gizi buruk akan sulit bersaing dengan yang lainnya. Pada gilirannya mereka akan tersisih dan berpotensi menjadi mata rantai penyebab gizi buruk generasi berikutnya.
Tentu saja hal tersebut tak boleh terjadi. Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Salah satu bentuk perlindungan kepada bangsa ini adalah upaya perlindungan dari bahaya laten kehilangan generasi yang diakibatkan gizi buruk.
Secara khusus pelaksanaannya bisa mengacu pada UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau (pasal 141 ayat 3). Bahkan, pemerintah harus bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam kondisi darurat (pasal 142 ayat 30). Lebih jauh lagi, pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi (pasal 143).
Program Prioritas
Atas dasar hal tersebut, maka penanganan gizi buruk haruslah menjadi prioritas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penanganannya tidak hanya sebatas menyediakan sumber makanan yang memenuhi unsur kecukupan gizi, tapi lebih dari itu, upaya peningkatan pengetahuan masyarakat menjadi poin penting yang juga harus dipenuhi. Mengapa? Soalnya, penyebab gizi buruk di masyarakat tidak semata-mata disebabkan oleh keterbatasan akses masyarakat terhadap produk pangan yang berkualitas sebagai akibat dari kemiskinan. Faktor rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap masalah gizi dan kesehatan, pola konsumsi yang tidak tepat, adanya adat dan kebiasaan yang kurang baik, serta gangguan organ tertentu yang membuat serapan terhadap zat-zat gizi tidak bisa optimal juga dapat menjadi penyebab.
Kondisi ini mendorong upaya penyelesaian kasus gizi buruk harus digarap secara multisektoral. Kegiatan promosi dan edukasi terhadap masyarakat tentang gizi harus mendapat perhatian serius. Promosi masalah pengelolaan gizi harus dilakukan secara masif, sehingga informasi tentang bahan makanan bergizi, pengolahan yang tepat, pola konsumsi yang baik serta hal-hal yang berkaitan dengan penanggulangan gizi buruk bisa diperoleh dengan mudah oleh masyarakat, tersebar secara luas dan dilakukan secara terus-menerus.
Kegiatan promosi akan sangat berpengaruh jika memanfaatkan seluruh saluran komunikasi secara optimal, seperti pemanfaatan sarana periklanan yang sekarang ini biasa dipakai baik yang termasuk above the line advertising media seperti, iklan layanan masyarakat di media massa maupun yang dikategorikan below the line advertising media dengan mengemas pesan pada barang-barang (merchandise) yang biasa dipergunakan seperti payung, muk dan lain-lain. Model promosi gizi seperti ini bisa melibatkan banyak pihak seperti kalangan dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Selain itu, upaya promosi secara tradisional pemanfaatan sarana-sarana komunikasi di masyarakat juga harus ditingkatkan intensitasnya. Pada sisi ini, para tokoh agama, adat dan masyarakat memiliki peran penting dalam menyukseskan perubahan pengetahuan dan perilaku masyarakat terkait peningkatan status gizi masyarakat.
Secara umum, penanganan masalah gizi buruk tidak bisa dilakukan secara sporadis. Penanggulangan gizi buruk harus dilakukan secara terencana dan terarah dengan baik. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu membuat model penyelesaian masalah ini mulai A hingga Z secara tuntas, terutama untuk daerah-daerah yang memiliki prevalensi gizi buruk tinggi.
Jika upaya-upaya tersebut sudah dilakukan dengan tulus dan ikhlas disertai rasa tanggung jawab, bukan asal terlaksana, maka itulah yang dinamakan sebuah upaya yang serius. Tak salah kiranya jika keseriusan ini bisa dilihat dari apakah realisasi wacana pembentukan Badan Gizi Nasional ini mampu mengatasi kendala sektoral yang sekarang dihadapi atau malah sebaliknya. Mungkin kita harus bergegas secara optimal merealisasikannya, karena waktu tak pernah menunggu, sebagaimana bergantungnya masa depan pada generasi yang akan datang. ***
Opini Suara Karya, Senin 8 Februari 2010