Kamis, 27 Januari 2011

Pembahasan RUU PRT Belum Jadi Prioritas DPR

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepertinya masih menunggu waktu untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang Pembantu Rumah Tangga (RUU PRT) yang telah masuk program legislasi nasional (pro-legnas)2010.

Anggota Komisi LX DPR Zuber Syafawi mengatakan, pihaknya masih memprioritaskan pembahasan perundanngan yang mendesak. Di antaranya RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan revisi UU Jamsostek. Namun, DPR tetap berkomitmen untuk segera membahasnya. "Memang tidak dalam waktu dekat. Tetapi, kita tetap berkomitmen untuk segera membahasnya, terutama penyusunan naskah akademiknya terlebih dahulu," katanya ketika dihubungi harian Seputar Indonesia (SI) kemarin.

Menurut Zuber, sebelum penyusunan naskah akademik, anggota Dewan juga perlu melakukan sosialisasi sejauh mana perlindungan terhadap hak-hak PRT menjadi demikian mendesaknya. "Perlu juga dukungan publik soal permasalahan ini," tandasnya.
Dia berharap jika UU PRT nanti benar-benar disahkan, perlindungan PRT di Indonesia akan semakin baik, terutama hak-hak yang harus diberikan seperti gaji, waktu cuti.

"Perlindungan PRT nantinya akan semakin tinggi.Kita setuju soal itu," terangnya.
Sebelumnya, Jaringan Nasional Advokasi untuk Perlindungan PRT (Jala PRT) mendesak Komisi IX DPR untuk segera melakukan pembahasan RUU PRT. Koordinator Jala PRT Lita Anggraini mengatakan, PRT rentan berbagai kekerasan dari fisik, psikis, ekonomi hingga sosial. PRT juga ber ada dalam situasi hidup dan kerja yang tidak layak, situasi perbudakan. Bahkan, PRT mengalami pelanggaran hak-haknya, misalnya upah yang sangat rendah ataupun tidak dibayar."Tidak ada batasan beban kerja yang j elas dan layak sehingga semua beban kerja domestik bisa ditimpakan kepada PRT. Tidak mengherankan, jam kerja PRT rata-rata panjang," katanya.

Lita mengatakan, PRT tidak diakui sebagai'pekerja karena pekerjaan rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan yang sesungguhnya dan mengalami diskriminasi terhadap mereka sebagai perempuan, migran, pekerja rumah tangga dan anak-anak. "Dikotomi antara PRT baik domestik maupun migran dengan buruh domestik dan migran pada sektor yang lain sering mengakibatkan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif bagi PRT domestik dan migran," terangnya.

Sementara di sisi lain, lanjut dia, perlindungan hukum baik di level lokal, nasional maupun internasional tidak melindungi PRT. Kondisi ini yang semakin memberi ruang sistematis bagi pelanggaran hak-hak PRT. "Berangkat dari situasi tidak layak seperti perbudakan dan peristiwa penganiayaan inilah kami mengajukan kepada DPR untuk segera mewujudkan UU PRT pada tahun 2010," tutur Lita.

SelainDPR,kataLita,pihaknya juga mendesak Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menaker-trans) Muhaimin Iskandar dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Patrialis Akbar untuk berkoordinasi dalam pembahasan UU PRT.