Rabu, 22 September 2010

Kemerdekaan Jaminan Sosial

HUT Proklamasi RI ke-65 baru saja kita rayakan dalam suasana keprihatinan publik. Saat ini kenaikan harga-harga sebagai konsekuensi logis dari naiknya tarif dasar listrik (TDL) kian menambah beban bagi sebagian besar masyarakat kita di tengah terbatasnya pendapatan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak sedikit. Padahal, selama ini masih banyak warga negara kita yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.



HUT Proklamasi RI ke-65 baru saja kita rayakan dalam suasana keprihatinan publik. Saat ini kenaikan harga-harga sebagai konsekuensi logis dari naiknya tarif dasar listrik (TDL) kian menambah beban bagi sebagian besar masyarakat kita di tengah terbatasnya pendapatan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak sedikit. Padahal, selama ini masih banyak warga negara kita yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

Tingginya biaya kesehatan dan pendidikan disebut-sebut menjadi faktor rendahnya derajat kesehatan dan tingkat pendidikan negeri ini. Sebagai bukti Indeks Pembangunan Indonesia (IPM) Indonesia yang merupakan gabungan dari indeks daya beli, kesehatan, dan pendidikan masih jauh dari menggembirakan. Laporan UNDP tahun 2009 menempatkan IPM Indonesia pada peringkat 111 dari 182 negara. Lebih rendah dibanding negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 66), Singapura (23), Thailand (87), Filipina (105), dan bahkan Srilanka (102). Padahal pada tahun 2007 IPM Indonesia menempati peringkat 107.

Secara konstitusional penyelenggara negara sebenarnya tidak boleh membiarkan hal semacam ini terjadi. Oleh karenanya secara tegas UUD NKRI 1945 menyebutkan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (pasal 34, ayat 2). Di ayat berikutnya kembali ditegaskan bahwa "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang baik".

Jadi, jika saat ini pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak menyediakan jaminan sosial dan berbagai fasilitas penunjangnya agar masyarakat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka sesungguhnya pemerintah telah lalai untuk memenuhi hak warga negaranya. Dengan kata lain, pemerintah telah gagal menjalankan konstitusi.

Perlu ditegaskan lagi, sebagai warga negara Indonesia, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan", (pasal 28 poin H, ayat 1). Di ayat yang lain (pasal 28 poin H, ayat 3) disebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat".

Dengan demikian, sah kiranya sebagai warga negeri ini turut menuntut pemerintah untuk lebih serius mewujudkan jaminan sosial bagi warganya. Apalagi sudah ada UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam Undang-undang itu disebutkan bahwa "Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak" (pasal 1).

Akselarasi Pembangunan
Di bidang kesehatan misalnya pemerintah harus segera melakukan akselarasi pembangunan di bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Antara lain dengan meningkatkan jumlah fasilitas layanan kesehatan, tenaga kesehatan, dan obat serta pemerataan distribusinya. Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Roadmap Reformasi Kesehatan Masyarakat 2010), hingga tahun 2007 jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih tergolong rendah untuk wilayah ASEAN.

Rasio dokter yang ada di Indonesia baru mencapai 19 per 100 ribu penduduk. Bandingkan dengan Filipina yang rasionya sudah mencapai 58 per 100 ribu penduduk atau Malaysia 70 per 100 ribu penduduk. Tanpa ada percepatan dan upaya yang sungguh-sungguh, upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan takkan mencapai hasil seperti yang diinginkan.

Buktinya dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 disebutkan bahwa capaian peningkatan jumlah tenaga kesehatan hingga tahun 2008 masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Rasio dokter spesialis baru mencapai 7,73 per 100 ribu penduduk (target 9 per 100 ribu penduduk), dokter umum 26,3 per 100 ribu penduduk (target 30 per 100 ribu penduduk). Rasio dokter gigi 7,7 per 100 ribu penduduk (target 11 per 100 ribu penduduk), perawat sebesar 157,75 per 100 ribu penduduk (target 158 per 100 ribu penduduk), dan bidan sebesar 43,75 per 100 ribu penduduk (target 75 per 100 ribu penduduk).

Belum lagi distribusinya yang jauh dari merata. Hingga saat ini sebaran tenaga kesehatan masih di sekitar kota-kota besar saja. Daerah pedesaan khususnya di wilayah perbatasan, terpencil, dan pelosok masih banyak belum memiliki tenaga kesehatan. Sudah bukan rahasia lagi jika di daerah pedesaan tak sedikit puskesmas atau fasilitas layanan kesehatan yang tak memiliki dokter atau tenaga medis lainnya.

Alhasil masyarakat di daerah tersebut memiliki akses yang sangat kecil terhadap layanan kesehatan. Tak heran jika status kesehatan masyarakat di daerah seperti itu masih mengkhawatirkan. Demikian pula dengan ketersedian obat bagi masyarakat.

Pembiayaan pemerintah pusat dan daerah untuk belanja obat pelayanan kesehatan dasar baru mencapai Rp13.000 per kapita per tahun. Padahal, WHO merekomendasikan minimal 2 dolar AS per kapita per tahun (sekitar Rp 18.000 - 20.000).

Jika kondisi ini belum banyak berubah ketika sistem jaminan sosial diterapkan maka efektivitas program tersebut tentunya akan dipertanyakan. Masyarakat akan tetap kesulitan mendapatkan akses layanan kesehatan karena sarana dan prasarananya tidak memadai. Kondisi ini juga bisa memicu rasa diperlakukan tidak adil. Terutama untuk masyarakat di pedesaan dan daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang layak. Masyarakat kota termasuk yang diuntungkan dengan sistem ini karena di kota tersedia fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai.

Sementara di daerah pedesaan daerah pelosok dan terpencil tetap saja sulit mengakses fasilitas kesehatan. Padahal, warga di daerah ini juga membayar iuran yang sama seperti warga kota meski untuk beberapa kondisi (tidak mampu) iurannya dibayarkan oleh negara. Efeknya tentu akan memunculkan disparitas status kesehatan yang makin tinggi antara satu daerah dengan daerah lain. Padahal sudah jelas bahwa "Sistem jaminan sosial diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" (pasal 2 UU No 40/2004).

Dampak Positif
Secara umum sistem jaminan sosial yang coba dikembangkan di negeri ini akan membawa dampak positif. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya lambat laun akan berdampak pada peningkatan taraf kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat.

Selain itu dana sosial yang dihimpun melalui program asuransi jaminan sosial tidak hanya bisa menjadi dana cadangan negara. Namun, bisa dialokasikan untuk pengembangan ekonomi masyarakat dan ekspansi bisnis. Sebagai gambaran dana yang berhasil dikumpulkan jaminan sosial untuk para pekerja di Malaysia mencapai nilai lebih dari 1.000 triliun rupiah. Hampir sama dengan total APBN Indonesia. Dengan dana sebesar itu tentu banyak hal yang bisa dilakukan khususnya untuk meningkatkan kemakmuran bangsa.

Dari beberapa catatan saat ini masyarakat Indonesia yang terlindungi jaminan sosial melalui asuransi jumlahnya masih minim. Hanya sekitar 16 juta pekerja dari 101 juta pekerja yang dilindungi program jaminan yang disediakan Taspen, Asabri, dan Jamsostek. Asuransi kesehatan lewat skema publik yang disediakan Askes diperkirakan hanya mencakup 13,8 juta (plus 1,4 juta anggota skema asuransi komersial), dan lewat program asuransi kesehatan Jamsostek 2,7 orang (1,5 di antaranya adalah pekerja).

Dengan demikian hanya sekitar 18 juta rakyat Indonesia yang dilindungi oleh skema formal asuransi kesehatan. Ditambah dengan mereka yang dilindungi oleh asuransi swasta atau yang dibiayai pemsahaan maka diperkirakan hanya 30 juta dari 230 juta lebih penduduk Indonesia yang dijamin oleh satu atau lebih program jaminan sosial.

Sebagai hak dasar warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah sudah sewajarnya berupaya dengan segenap kemampuan yang ada untuk mewujudkannya. Bukan hanya sekadar catatan di atas kertas. Seperti terlambatnya pelaksanaan jaminan sosial akibat RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai panduan bagi pengelola jaminan sosial yang tak kunjung diajukan ke DPR untuk dibahas.

Kini setelah DPR mengambil inisiatif untuk membentuk pansus RUU ini maka sekali lagi dituntut keseriusan pemerintah untuk bekerja sama menuntaskan penyusunannya. Seiring dengan itu pemerintah khususnya sektor terkait harus berupaya keras mempersiapakan sarana dan prasarana pendukung. Agar ketika pembahasannya selesai jaminan sosial bisa segera dilaksanakan. Inilah kemerdekaan jaminan sosial yang didambakan rakyat Indonesia saat ini.

Kamis 2 September 2010, Opini Detik.com