Kamis, 11 September 2008

Penguatan Ketahanan Keluarga

Kita baru saja memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-15 pada 29 Juni lalu di Jambi. Peringatan Harganas kali ini menjadi penting dan memunculkan pertanyaan di hati kita tentang bagaimana kondisi keluarga Indonesia kini? Kita sangat menyadari keluarga adalah pilar bangsa. Ungkapan ini mengandung makna betapa sentralnya peran keluarga dalam pembentukan karakter bangsa. Semua kepribadian dan karakter anak-anak negeri ini terbangun dari pola keluarga sebagai unit pendidikan pertama yang memberikan dasar-dasar kepribadian seperti kejujuran, solidaritas, kecerdasan, dan karakter positif lainya. Keluarga inti yang terdiri dari ayah,ibu dan anak adalah kumpulan sosial terkecil yang mampu dan menjadi faktor penting dalam memberikan warna perjalanan bangsa di masa yang akan datang.

Namun hari ini, kita melihat beragam kemuraman yang menyelimuti keluarga Indonesia. Tengoklah beragam kasus keluarga merebak luas mulai dari fenomena broken home, aksi pembunuhan antar anggota keluarga, penggunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa, kekerasan pelajar dan lainnya. Kita patut bertanya apakah masih ada peran keluarga dalam menanggulangi krisis sosial ini? Apakah keluarga tak lagi seharmonis dulu, sehingga melahirkan beragam keprihatinan ini?

Peran Pemerintah
Berkurangnya ketahanan keluarga belakangan ini tidak luput dari kurangnya perhatian pemerintah dalam mengedukasi dan mendorong optimalisasi masyarakat untuk mewujudkan keluarga sehat. Peran pemerintah, dalam hal ini Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang terlihat belum mampu mewujudkan sebuah tatanan dan model keluarga sehat dan sejahtera secara aplikatif. Sehingga target BKKBN selama ini juga amat kuantitatif dan belum menyentuh kepada akar permasalahan yakni bagaimana menciptakan ketahanan keluarga sehat dan sejahtera secara utuh.

Sebagai lembaga yang diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi penguatan ketahanan keluarga, BKKBN seharusnya mampu membuat cetak biru keluarga di Indonesia. Sehingga kita dapat melihat dan mengukur berapa banyak populasi keluarga yang telah mandiri baik secara mental maupun materi, yang tentunya tidak hanya sekedar dilihat dari jumlah anak yang dimilikinya. Ini penting mengingat masalah ketahanan keluarga tidak hanya dikarenakan jumlah anak yang dimiliki saja, tapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana orang tua berperan dalam mengasuh, membina dan mendidik anggota keluarga secara optimal.

BKKBN selama ini juga diakui telah memiliki serangkaian program ketahanan dan pemberdayaan keluarga. Namun titik tekan dari program ini hanya pada ketahanan dan pemberdayaan ekonomi, kurang menyentuh pada aspek-aspek yang memfasilitasi dalam pembentkan keluarga yang berkarakter. Bisa jadi kondisi ini dikarenakan adanya banyak institusi yang menangani keluarga namun miskin koordinasi dan berkomunikasi.

Pada saat yang sama, BKKBN mengalami beragam kendala seiring dengan perubahan sosial politik dalam negeri, diantaranya perubahan dari pola sentralisasi menjadi desentralisasi dimana Pemerintah Kabupaten dan Kota kini diberi kewenangan dalam menjalankan program Keluarga Berencana (KB). Sehingga keberhasilan program ketahanan keluarga sangat bergantung sejauh mana komitmen Kepala Daerah dan DPRD bersangkutan dalam melaksanakan program ini. Jika Bupati, Walikota dan legislatif daerah tidak menjalankan program ketahanan keluarga ini sebagai priorotas, maka tugas BKKBN boleh jadi hanya tinggal cerita.

Keluarga Sehat
Selain itu faktor yang menyebabkan memudarnya ketahanan keluarga adalah melemahnya nilai-nilai keteladanan dan moralitas.. Faktor ini menyebabkan suasana keluarga tidak memberikan harapan positif bagi perilaku anggota keluarga. Faktor keteladanan dan moralitas ini menjadi penting karena faktanya meski sebuah keluarga secara ekonomi cukup mampu namun perilaku kehidupan anggota keluarganya ada yang mengalami disharmoni sosial yang akut. Begitu pula perubahan pola hidup, serbuan globalisasi dan efek media massa telah turut andil memperlemah ketahanan keluarga saat ini.

Berbicara ketahanan keluarga tentu tak luput dari peranan keluarga yang sehat dan produktif. Sehat tentunya tak hanya dalam hal terpenuhinya kebutuhan ekonomi secara cukup namun lebih dari sekedar itu. Keluarga sehat adalah gambaran ideal dimana semua anggota unit keluarga mampu memberikan pengaruh positif baik ke dalam keluarga sendiri maupun lingkungan sekitar. Dalam ajaran agama kita mengenal slogan ”baiti jannati” sebagai refleksi betapa rumah harus dijadikan arena positif untuk menumbuhkembangkan dan penyalurkan potensi setiap anggota keluarga. Interaksi keluarga dikelola sehingga melahirkan manajemen solidaritas yang kokoh sehingga mampu mengikis benih-benih keretakan keluarga.

Tentu tidak mudah membentuk profil keluarga sehat seperti ini ditengah kondisi sosial dan tekanan ekonomi yang luar biasa. Karakter keluarga sehat setidaknya dapat diwujudkan melalui interaksi keteladanan, kepercayaaan an komunikasi yang baik didalam maupun diluar lingkungan keluarga itu. Intinya, keluarga ini mampu eksis dan memberikan pengaruh timbal balik bagi pembentukan karakter ideal anggota keluarga dan lingkungannya. Agama juga mengajarkan kita untuk menjadikan profil keluarga sebagai unit sosial yang dapat bermanfaat bagi anggota keluarga dan orang lain sehingga akan memunculkan wibawa dan peran keluarga dalam tatanan sosial masyarakat. Jika profil keluarga ideal ini diwujudkan oleh keluarga-keluarga inti maka fenomena penyakit sosial yang nampak di Indonesia sangat mungkin akan berkurang.

Solusi Penguatan Kelurga
Kesadaran akan pentingnya keluarga sehat dan produktif menuntun kita untuk melakukan langkah-langkah strategis guna mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Pertama, pemerintah harus melakukan reorientasi pembangunan keluarga dengan memperjelas cetak biru profil keluarga Indonesia sehat dan produktif, yang memperhatikan keseimbangan antara faktor religiusitas, mental ekonomi dan sosial. Sekali lagi hal ini menjadi penting karena rentannya disharmoni keluarga Indonesia tidak semata-mata disebabkan faktor ekonomi tetapi akibat dari problem-problem yang sangat kompleks.

Kedua, memperjelas pembagian tugas, wewenang dan fungsi lembaga-lembaga terkait yang muara programnya pada pembangunan keluarga. Setiap lembaga boleh saja memiliki program, anggaran dan personal, namun yang tidak kalah penting adalah koordinasi antar lembaga tersebut, karenanya diperlukan penunjukkan salah satu lembaga sebagai koordinator untuk mengkoordinasikan program ini agar tidak terjadi tumpang tindih maupun saling lepas tangan dalam pelaksanaannyat.

Ketiga, melakukan penguatan otonomi daerah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan sumber daya lainnya sehingga diharapkan pelaksanaan otonomi daerah semakin berkualitas yang dilandasi pemahaman yang lebih komprehensif dan substantif tentang makna otonomi daerah. Pada saat yang sama pemerintah Pusat dituntut untuk bisa meyakinkan pada pemerintah Daerah bahwa program ketahanan dan pemberdayaan keluarga adalah investasi jangka panjang yang strategis dan bernilai bagi kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Kita berharap solusi penguatan ketahanan keluarga ini menjadi isu nasional sehingga semua pihak mampu terlibat secara dinamis dan konstruktif sebagai upaya mewujudkan keluarga Indonesia yang lebih berkulitas dan maju. Keluarga yang penuh dengan kasih sayang, solidaritas, produktif dan religius ini diharapkan mampu menangkal problem akut institusi keluarga sehingga dapat membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Sumber : Harian Terbit, Kamis 17 Juli 2008