Senin, 02 Juli 2007

Toko dan Swalayan Perlu Diawasi

SEMARANG- Komisi E DPRD Jateng mendesak Balai POM Semarang merazia toko obat, jamu, swalayan, dan tempat penjualan obat atau kosmetika yang dicurigai menjual barang di luar ketentuan pemerintah. Anggota Komisi E DPRD Jateng Sarwono menduga, dari 26.644 dus, 1.850 renteng, dan ribuan bungkus obat dan jamu palsu yang disita di Kota Tegal bisa jadi sebagian sudah telanjur beredar di wilayah lain Jateng, termasuk Semarang.

"Kami minta BPOM mengoperasi toko obat, swalayan, dan toko kecil lain. Sebab, kemungkinan peredaran kosmetika atau obat dan jamu palsu sudah sampai ke masyarakat dan jumlahnya sangat besar. Tujuan kami bukan mempersulit penjual, produsen maupun pelaku usaha, tapi semata-mata untuk melindungi masyarakat,'' katanya, kemarin. Politikus dari PDI-P itu menga takan, adanya temuan obat/jamu palsu atau yang mengandung bahan kimia berbahaya di Kota Tegal, pekan lalu, bukan kejadian kali pertama di Jateng. Sebelumnya, hal serupa pernah terjadi di Cilacap.Berdasarkan pengamatannya, saat ini banyak beredar kosmetika yang diragukan keasliannya dan bahkan mengandung zat yang membahayakan konsumen. Sarwono meminta ada ketegasan dari pihak BPOM untuk menindak penjual, pengedar, dan produsen obat, jamu, dan kosmetika berbahaya itu.

Suara Merdeka juga mencatat, pada awal Juni 2007 lalu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Jakarta telah meminta 30 produsen obat tradisional di Jateng agar menarik produknya karena mengandung bahan kimia yang merugikan. Anggota Komisi IX DPR-RI Zuber Safawi merinci bahwa dari 30 produsen obat tradisional itu, sebanyak 21 produsen berada di daerah Cilacap. Adapun sisanya tersebar di sejumlah kabupaten/kota. Zuber memperkirakan, peredaran obat-obatan tradisional yang mengandung bahan kimia itu tidak tersebar jauh dari wilayah Jawa Tengah. Sebab rata-rata produsen merupakan industri kecil dan menengah.

Diumumkan
Sarwono mengatakan, selama ini BPOM enggan mengumumkan kepada masyarakat nama atau merek obat, jamu, dan kosmetika berbahaya. Alasannya, harus lapor dulu ke Jakarta, sehingga pihak pusatlah yang membeberkan, termasuk menindaklanjuti. Menurut dia, mekanisme semacam itu terlalu berbelit. Padahal konsumenlah yang terkena imbas langsung. ''Semestinya, kalau sudah melalui uji laborat dan ditemukan ada pelanggaran, ya dibeberkan saja. Keberadaan obat semacam itu jelas merusak organ tubuh. Kalaupun harus melaporkan ke pusat, kami minta waktunya jangan terlalu lama,'' katanya.