Selasa, 15 Juni 2010

Pasien Miskin dan Jaminan Sosial

Meski sudah banyak aturan dan anjuran agar fasilitas kesehatan mendahulukan pertolongan kepada pasien, namun penolakan layanan kepada pasien dengan alasan ekonomi masih kerap terjadi. Kasus penolakan terhadap Elsa Ainurohmah, bayi berusia enam bulan, putri pasangan Paidi (34) dan Septi Nuraini (30) oleh RS Sari Asih, Karawaci Tangerang, beberapa waktu lalu, misalnya, menambah panjang catatan hitam kasus serupa di Tanah Air.

Bayi mungil itu tidak mendapatkan layanan medis semestinya karena orangtuanya tak mampu menyanggupi uang muka Rp 10 juta yang diminta pihak rumah sakit. Akhirnya, orangtuanya memutuskan untuk memindahkan Elsa ke RSU Tangerang. Namun, akibat terlambat mendapatkan layanan medis, Elsa meninggal sebelum tiba di RSU Tangerang.
Tentu sangat miris rasanya jika peristiwa seperti ini terus terjadi secara berulang.

Padahal, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mewajibkan fasilitas layanan kesehatan agar mendahulukan upaya penyelamatan pasien. Pada pasal 32 ayat (1) undang-undang ini disebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Demikian pula UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam pasal 29 ayat (1) huruf f undang-undang itu secara tegas dinyatakan rumah sakit wajib melaksanakan fungsi sosial, antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi kemanusiaan.

Tapi, realitasnya berkata lain. Kasus Elsa menunjukkan hal yang sebaliknya. Rumah sakit menolak pasien yang tak bisa menyediakan uang muka sebagai jaminan pembiayaan. Masalah ketersediaan uang muka atau jaminan pembiayaan memang sering menjadi titik pangkal persoalan dalam layanan kesehatan. Ketika tidak ada jaminan pembiayaan, seperti kasus di atas, maka sulit bagi warga masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan.

Fenomena ini menunjukkan lemahnya implementasi aturan yang ada. Untuk itu, harus ada upaya keras dari pemerintah sebagai regulator untuk menindak pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Selain itu, perlu ada upaya yang komprehensif untuk merapikan sistem sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan aturan-aturan tersebut, termasuk masalah jaminan pembiayaan.

Sebagai fasilitas yang padat modal, padat karya, dan padat teknologi, fasilitas layanan kesehatan, khususnya rumah sakit, memang dihadapkan pada tuntutan akan adanya jaminan pembiayaan yang memadai. Tanpa itu, rumah sakit tak mungkin bisa menjalankan fungsinya. Apalagi, rumah sakit swasta yang dituntut menjadi revenue center (pusat penghasilan) yang harus membawa keuntungan bagi pemilik dan pengelolanya.

Inilah salah satu dilema yang dihadapi rumah sakit dalam melakukan layanan kesehatan bagi warga tidak mampu. Jika melayani warga yang tak mampu membayar, tentu rumah sakit akan kehilangan penghasilan. Dan, ini akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan operasional RS itu sendiri.

Di sisi lain, program terobosan pemerintah tampaknya belum sepenuhnya efektif. Pemberian SKTM (surat keterangan tidak mampu) dan program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan jaminan pembiayaan kesehatan bagi warga miskin belum sepenuhnya menjadi solusi. Cakupan yang terbatas, birokrasi yang lambat dan bertele-tele, dan informasi yang tidak tersebar dengan baik, menjadi titik lemah program yang menyebabkan warga tidak mampu menjadi korban.

Fakta lain, tidak sedikit warga miskin peserta Jamkesmas, yang seyogianya mendapat jaminan pembiayaan dari negara, tetap tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan. Terbatasnya fasilitas layanan untuk pasien Jamkesmas adalah alasannya. Jamkesmas memang hanya menjamin fasilitas layanan untuk kelas III rumah sakit. Sedangkan untuk mengejar keuntungan, rumah sakit lebih banyak menyediakan kelas II, I, VIP, dan bahkan VVIP ketimbang kelas III yang minim keuntungan.

Dalam UU No 44 Tahun 2009 disebutkan, rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan antidiskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial (pasal 2). Jika melihat penjelasan dari pasal tersebut, prinsip-prinsip yang tertuang dalam pasal itu mengarahkan pada pengutamaan layanan kesehatan dan penghilangan diskriminasi baik karena perbedaan, agama, ras, maupun strata ekonomi. Misalnya, nilai kemanusiaan dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyelenggaraan rumah sakit dilakukan dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras.

Adapun yang dimaksud dengan nilai keadilan adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya terjangkau oleh masyarakat dan pelayanan yang bermutu. Sedangkan fungsi sosial rumah sakit, dijelaskan sebagai bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien, khususnya yang kurang/tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.

Jadi, secara prinsip dan aturan, tak ada alasan bagi rumah sakit untuk mengabaikan pasien tidak mampu. Namun, mari kita kembali pada realitas yang ada. Penerapan aturan tersebut harus diikuti dengan solusi sistemik terkait masalah jaminan pembiayaan yang sering dikeluhkan pihak penyelenggara layanan kesehatan. UU Kesehatan dan UU Rumah Sakit memberi jaminan kepada seluruh warga, termasuk warga miskin, untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Tentu, UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) seharusnya menjadi jawabannya. Undang-undang ini mengatur tentang perlindungan sosial bagi masyarakat Indonesia agar bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Di dalamnya termasuk jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian berdasarkan prinsip asuransi. Khusus untuk masyarakat miskin, preminya dibayar oleh pemerintah.

Apabila UU ini berhasil dijalankan sepenuhnya, maka pembiayaan kesehatan-seperti yang sekarang ini sering dikeluhkan-bukan lagi masalah. Sebab, setiap warga negara Indonesia memiliki jaminan pembiayaan kesehatan. Hanya saja, aturan-aturan turunan dari Undang-Undang SJSN belum sepenuhnya terselesaikan. Salah satu yang krusial adalah aturan tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).

Opini Suara Karya, Senin 7 Juni 2010