Rabu, 18 Februari 2009

Hikmah Kasus Susu Melamin

Beberapa hari menjelang Idul Fitri kemarin, kita dikejutkan oleh penemuan kasus susu mengandung melamin asal China. Ibarat pepatah, karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga. Demikian pulalah yang terjadi di negeri tirai bambu itu. Susu yang umumnya memiliki manfaat yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan berubah menjadi penyebab penyakit. Tak kurang dari 10.000 bayi dan anak-anak di China mengalami sakit dan menjalani perawatan medis akibat minum susu yang mengandung nila alias melamin itu. Sungguh mengenaskan.

Melamin, zat yang biasa digunakan sebagai bahan pembuat plastik, pupuk dan pembersih ini yang ditambahkan sebagai pengental dan penambah kadar protein pada produk susu. Penambahan melamin ini dipercaya akan meningkatkan kadar nitrogen dalam susu yang menjadi indikator kandungan protein dalam produk makanan.

Pencampuran susu dengan melamin ini berakibat fatal. Diperkirakan saat ini, ribuan bayi yang mengonsumsi susu bermelamin menderita gagal ginjal akut. Beberapa di antaranya dilaporkan meninggal dunia. Kandungan melamin yang termasuk kategori logam berat dalam konsentrasi tertentu menyebabkan zat ini tidak bisa diuraikan oleh tubuh. Akibatnya terjadi penumpukan di ginjal yang kemudian menyebabkan terbentuknya batu ginjal dan kerusakan fungsi organ tubuh lainnya.

Masalahnya susu melamin ini menjadi semakin besar karena produk susu China dan produk turunannya tersebut tersebar pula ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia. Tentu, jika produk tersebut dikonsumsi bayi-bayi di Indonesia, maka peristiwa seperti di negeri tirai bambu pun berpotensi terjadi di Indonesia. Apalagi, beberapa produk makanan yang berbahan susu dan produk turunan dari China tersebut cukup familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Produk-produk makanan tersebut masuk melalui jalur impor resmi, tapi tak sedikit pula yang tak jelas prosedurnya. Yang jelas produk tersebut telah beredar luas, baik di pasar tradisional maupun di gerai-gerai belanja modern.

Seperti juga negara lain, pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) dan Depertemen Kesehatan mengumumkan 28 jenis produk yang mengandung susu dari China. Produk-produk tersebut mulai ditarik dari peredaran. Pemerintah juga menganjurkan kepada masyarakat untuk mengonsumsi produk makanan berkode MD (makanan produksi dalam negeri). Sementara makanan berkode ML (makanan luar), apa lagi yang berasal dari China, harus dihentikan peredarannya.

Tapi apakah ada jaminan makanan berkode MD lebih aman? Masih belum lepas dari ingatan kita ketika terjadi kasus susu formula yang tercemar bakteri Entero sakazakii beberapa waktu lalu. Belum lagi, kasus tahu dan ikan yang diawetkan dengan menggunakan formalin yang sering kali terjadi. Atau kasus makanan kadaluarsa dan daur ulang dari bahan yang tak layak untuk dikonsumsi.

Dari kasus-kasus tersebut, kesimpulan yang bisa kita ambil pun kemungkinan takkan jauh berbeda. Tidak ada jaminan bahwa makanan produksi dalam negeri lebih aman. Laporan dari Balai POM Semarang pada Bulan Juli 2007 menyebutkan 28,15 persen dari 1.600 sampel makanan yang ada di Semarang tidak layak untuk dikonsumsi. Makanan-makanan tersebut mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan.

Standar Kesehatan Minim
Tingginya angka makanan yang tidak layak konsumsi ini berkait erat dengan minimnya penerapan standar kesehatan produk pangan yang telah diatur oleh pemerintah sesuai Undang-undang no. 7/1996 tentang Perindungan Pangan. Hal ini ada hubungannya dengan perkembangan industri rumah tangga beberapa waktu terakhir ini. Beberapa di antaranya memang sama sekali tak menerapkan standar sesuai aturan yang berlaku. Namun, bukan berarti industri makanan skala besar bebas dari hal semacam ini. Meski pengawasannya lebih ketat, ada saja produk makanan dari perusahaan besar yang setelah diteliti ulang ternyata tidak layak untuk dikonsumsi.

Seringkali para produsen pangan itu berdalih dengan alasan tuntutan ekonomi. Produsen tahu dan ikan menggunakan formalin agar produknya lebih awet. Di samping penggunaan formalin bisa menghemat biaya jika dibandingkan jika ia harus menggunakan es untuk mengawetkannya. Prinsip ekonomi berlaku di sini. Semakin rendah biaya produksi bisa ditekan, maka itu akan semakin baik karena keuntungan yang bisa diperoleh pun akan semakin banyak.

Tak heran, jika kasus produk pangan yang bermasalah ini sering muncul pada momen peningkatan angka konsumsi, misalnya pada bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, natal dan tahun baru, juga pada momen-momen perayaan lainnya. Tapi tidak berarti pula di luar momen-momen tersebut, produk-produk yang beredar di pasaran semuanya aman untuk dikonsumsi. Faktanya sering ditemui produk pangan yang sudah kadaluarsa masih dijajakan penjual. Tidak hanya di pasar tradisional, di gerai-gerai perbelanjaan modern yang seharusnya lebih ketat dalam pengawasan dan standar keamanan, hal ini sering terjadi.

Edukasi Pangan
Ini semua menjadi indikator bahwa tingkat keamanan produk pangan di Indonesia masih rendah sehingga perlu ada upaya-upaya serius untuk menjamin makanan yang kita konsumsi aman dan menyehatkan. Lebih jauh lagi, makanan yang halalan thayyiban, makanan yang halal lagi baik.

Upaya ini harus melibatkan banyak pihak, mulai dari Departemen Kesehatan (Depkes), Balai POM, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag), Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga masyarakat itu sendiri. Masing-masing pihak menjalankan perannya sesuai dengan fungsinya masing-masing tapi dengan satu tujuan: menyelenggarakan perlindungan kepada masyarakat dari produk-produk yang tak layak konsumsi, sebagaimanan tercantum dalam pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No.32 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa, “Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan”.

Peran ini harus dijalankan secara sinergis di antara unsur yang ada. Depkes harus secara aktif melakukan edukasi dan penanaman arti penting kesehatan kepada masyarakat, baik konsumen maupun yang bertindak sebagai produsen. Sehingga muncul kesadaran untuk tidak mengejar keuntungan ekonomi dengan mengorbankan kesehatan sebagian anggota masyarakat yang lain.

Sebab, disadari atau tidak, maraknya produk makanan yang tak layak konsumsi selain disebabkan oleh ketidaktahuan untuk mengolah makanan sehat, faktor ketidakpedulian terhadap dampak akibat tindakan untuk memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kesehatan orang lain pun cukup dominan. Hal ini harus diikuti oleh langkah-langkah penegakan hukum (law enforcement) bagi para pelaku dengan mempertimbangkan efek jera dan unsur pendidikan. Sehingga para pelaku tak akan mengulangi perbuatannya.

Di sisi lain Balai POM harus aktif melakukan pengawasan dan pengujian terhadap produk-produk makanan yang beredar, termasuk yang berasal dari luar negeri. Kerja sama dengan Deperindag, untuk memantau produk-produk impor termasuk standar komposisi bahan pembuat produk menjadi sangat penting. Jangan sampai produk makanan sudah lebih dulu beredar tanpa melalui proses pengujian dan rekomendasi dari dua badan ini.

MUI sebagai otoritas yang bisa memberika fatwa halal dan haram, juga harus aktif bekerja sama mengawasi produk-produk pangan yang ada. Agar makanan yang beredar tak hanya memenuhi kriteria kesehatan jasmani saja, kesehatan rohani pun perlu dengan adanya jaminan kehalalan produk. Makanan-makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat umum harus didorong untuk lolos uji kehalalan yang ditandai dengan sertifikat halal.

Dan terakhir, masyarakat sebagai pengguna akhir produk pangan, dituntut untuk bersikap kritis terhadap produk makanan yang ada. Daftar kandungan bahan makanan seperti yang disyaratkan bukan sekadar penghias kemasan, tapi sebagai bahan acuan untuk memilih makanan. Jika ada yang tak sesuai, atau ada kandungan yang membahayakan, maka secara aktif masyarakat harus menyampaikannya baik kepada produsen, penjual, pemerintah, maupaun ke lembaga-lembaga konsumen.

Hal ini harus diimbangi dengan keterbukaan pihak produsen atau penjual terhadap komplain atau masukan terhadap produknya. Inilah yang nampaknya yang masih jarang di negeri ini, bahkan cenderung sebaliknya. Lihat saja bon belanja dari toko-toko yang sering menuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan lagi”. Mungkin harus ada aturan yang menjamin konsumen dari hal-hal semacam ini.

Akhirnya, semuanya akan kembali kepada kita semua. Apabila kita serius dengan diri kita untuk mengawasi produk pangan yang bermutu, mengajak orang lain dan menuntut lembaga-lembaga berwenang untuk melaksanakan fungsinya, insya Allah negeri ini akan terhindar dari produk-produk pangan yang membahayakan. Semoga kasus susu China ini menjadi hikmah besar bagi bangsa ini untuk meningkatkan awarness terhadap keamanan produk pangan tanpa kecuali. Jangan sampai ada lagi racun dalam setiap teguk susu yang dikonsumsi khususnya oleh anak-anak dan cucu kita.

Wallahu a’lam bisshawab.

Sumber : Harian TERBIT, 15 Oktober 2008