Rabu, 25 Februari 2009

Desa Siaga, Antara Harapan Dan Kenyataan

Dalam rangka mewujudkan visi "Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat" dengan misi "Membuat Rakyat Sehat", Departemen Kesehatan telah membuat kebijakan "Pengembangan Desa Siaga" melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 546/Menkes/SK/VIII/2006 tanggal 2 Agustus 2006.

Diharapkan pada akhir tahun 2008, lebih kurang 70.000 desa di Indonesia telah menjadi desa siaga. Untuk tahun 2006 ditarget sebanyak 12 ribu telah menjadi desa siaga. Realistiskah kebijakan tersebut ? Ada beberapa hal yang harus dikritisi mengenai pengembangan desa siaga ini :
  1. Kriteria suatu desa telah menjadi desa siaga adalah sekurang-kurangnya desa tersebut telah memiliki Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Tidak jelas apakah cukup keberadaan sarana fisik (bangunan dan alat kesehatan) saja sehingga desa tersebut sudah masuk kategori desa siaga atau tidak hanya cukup keberadaan sarana fisik saja tetapi juga kegiatannya berjalan dengan baik baru desa tersebut dikategorikan desa siaga.
  2. Jika hanya sarana fisik yang menjadi indikator, maka cukup beralasan jika depkes menetapkan target desa siaga untuk 2006 adalah 12.000 desa telah menjadi desa siaga, karena salah satu alternatif pembangunan sarana fisik poskesdes adalah mengembangkan Pondok Bersalin Desa (Polindes) yang telah ada menjadi poskesdes. Menurut data BPS hasil Susenas 2005 bahwa dari 69.957 desa ada 26.455 desa (38%) yang telah memiliki polindes. Artinya secara fisik target tersebut telah dilampaui. Namun sayangnya tidak ada data dari jumlah polindes yang ada tersebut bagaimana kondisi bangunannya, apakah rusak berat, rusak ringan, bagaimana peralatannya, bagaimana keberadaan bidannya, padahal justru informasi ini yang sangat penting untuk diketahui agar perencanaan desa siaga benar-benar akurat. Apalagi jika penilaian indicator desa siaga mencakup berfungsi tidaknya poskesdes (indikator input + indikator proses), maka target tersebut sulit tercapai.
  3. Jika melihat tenaga kesehatan yang akan menyelenggarakan poskesdes yaitu bidan, tampaknya pelayanan kuratif akan tetap mengambil porsi yang lebih besar dari pada promotif dan preventif karena bidan diberikan wewenang untuk melaksanakan pelayanan medis dasar di poskesdes. Disisi lain, jika merujuk kepada UU No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Indonesia pasal 73 :
1) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

2) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.Artinya tenaga kesehatan (bidan atau perawat) diberikan kewenangan untuk melaksanakan pelayanan medis dasar namun peraturan perundangannya belum ada.

4). Jika fungsi poskesdes lebih diprioritaskan untuk peningkatan upaya promotif dan preventif serta membangun kemandirian masyarakat maka tidak cukup dengan tenaga seorang bidan saja untuk menghadle kegiatan-kegiatan poskesdes, tetapi harus melibatkan ahli gizi, kesehatan masyarakat, sanitarian yang langsung terjun ke masyarakat.

5). Untuk memandirikan masyarakat agar hidup sehat tergantung sejauh mana petugas kesehatan berinteraksi langsung dengan masyarakat atau lebih dikenal kunjungan rumah. Kegiatan kunjungan rumah sebenarnya sudah ada di puskesmas, tetapi selama ini kegiatan puskesmas lebih difokuskan kepada pelayanan dalam gedung saja.

6). Revitalisasi puskesmas maupun posyandu yang sudah digulirkan dua tahun belakangan ini hendaknya tidak hanya memperbaiki atau membangun gedung puskesmas serta peningkatan alat kesehatannya, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana program-program puskesmas tersebut bisa berjalan dengan baik. Artinya sejauh mana pemerintah konsen terhadap peningkatan kinerja tenaga kesehatan mulai dari pusat sampai puskesmas.

Agar pengembangan desa siaga dapat berjalan efisien dan efektif, maka ada beberapa hal yang penting dilakukan oleh depkes, antara lain :
  1. Membenahi / updating data kondisi polindes, posyandu beserta peralatannya termasuk keberadaan tenaga kesehatannya. Dari data tersebut diharapkan akan ada informasi berapa polindes yang sarana fisiknya masih baik, berapa yang rusak berat atau rusak ringan, berapa polindes yang masih ada bidannya, dan seterusnya sehingga ketika merencanakan anggarannya pun mempunyai dasar yang jelas.
  2. Pemerintah seharusnya sudah membuat peraturan perundangan yang memberikan kewenangan kepada tenaga kesehatan (bidan dan perawat) untuk melaksanakan pelayanan medis dasar.
  3. Agar pelayanan promotif dan preventif lebih diprioritaskan dengan tidak mengabaikan pelayanan kuratif, maka diperlukan tenaga ahli kesehatan masyarakat (SKM) untuk me-menej pos kesehatan desa agar berfungsi dengan baik disamping tenaga bidan atau perawat.
http://fpks-dpr.or.id/main.php?op=isi&id=2445&kunci=40
tanggal 12 Desember 2006