Rabu, 29 September 2010

Zuber Safawi, Sisi Lain Anggota DPR …

Dibalik derasnya kritikan terhadap anggota DPR dan institusinya, Gedung DPR ternyata menyisakan ragam cerita unik tentang sosok anggota dewan yang patut diapresiasi publik. Zuber Safawi, salah satunya. Anggota DPR asal Semarang, Jateng ini dikenal memiliki kinerja bagus di kalangan anggota Dewan sejak kali pertama berkprah di Senayan sejak 2004 lalu. Sebelum dipindah ke komisi IV Agustus lalu, Zuber lama malang melintang di komisi IX yang mengurusi masalah tenaga kerja, kesehatan, BNP2TKI, dan BKKBN. Beragam opininya sering dijadikan rujukan kalangan media terutama terkait masalah TKI, jaminan sosial, asuransi kesehatan dan sebagainya. Sebelumnya dia pernah diamanahkan menjadi ketua Komisi X DPR yang mengurusi masalah pendidikan.



Dibalik derasnya kritikan terhadap anggota DPR dan institusinya, Gedung DPR ternyata menyisakan ragam cerita unik tentang sosok anggota dewan yang patut diapresiasi publik. Zuber Safawi, salah satunya. Anggota DPR asal Semarang, Jateng ini dikenal memiliki kinerja bagus di kalangan anggota Dewan sejak kali pertama berkprah di Senayan sejak 2004 lalu. Sebelum dipindah ke komisi IV Agustus lalu, Zuber lama malang melintang di komisi IX yang mengurusi masalah tenaga kerja, kesehatan, BNP2TKI, dan BKKBN. Beragam opininya sering dijadikan rujukan kalangan media terutama terkait masalah TKI, jaminan sosial, asuransi kesehatan dan sebagainya. Sebelumnya dia pernah diamanahkan menjadi ketua Komisi X DPR yang mengurusi masalah pendidikan.

Zuber memang cukup akrab dengan kalangan media. Ia berusaha dekat dan bermitra dengan media, suatu hal yang selalu ia jaga sejak menjadi anggota DPRD Jateng pada 1999-2004. Hubungan dengan media juga diperlihatkan dengan ragam tulisannya yang tersebar di beragam media nasional dan daerah baik cetak maupun online seperti Republika, Suara Karya, Harian Pelita, Harian Terbit, Suara Merdeka, Wawasan, Detik.com, Inilah.com, dan lain-lain. Tak heran bila ia telah menerbitkan dua buah buku hasil tulisannya selama menjadi anggota DPR Pusat. Kedua buku itu berjudul : Ijinkan Kami Bersikap (2008) dan Menata Jalan, Menunaikan Amanah (2009)

Dibalik kekritisannya menyoroti beragam kebijakan pemerintah yang dinilainya tidak aspiratif, Zuber memiliki karakter unik diluar tugasnya sebagai wakil rakyat. Meski sudah menjadi anggota DPR sejak 2004, kesederhanaan tetap menjadi identitasnya. Jangan bayangkan sosok Zuber datang ke kantor DPR dengan mobil Mercy, Camry, Fortuner atau sekelasnya karena selain tidak memiliki mobil, Zuber juga amat menikmati moda Taksi untuk mengantarnya, baik ketika datang ke DPR maupun pulang ke kontrakannya di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan. Mengontrak ? Ya. Karena rumah jabatannya kini dalam masa renovasi.

Zuber juga amat “pelit” dengan penampilannya. Dia lebih suka pakai batik atau kemeja biasa ketika mengikuti sidang-sidang Komisi ataupun paripurna. Ketika hadir dalam reuni alumni aktivis dakwah Semarang di Jakarta awal Agustus 2010 lalu, ia masih memakai baju yang sama persis dengan saat ia hadir dalam reuni tersebut satu tahun lalu. Kesederhanaan itulah yang menjadi daya pikatnya sebagai wakil rakyat. “Saya hanya berusaha mengamalkan arti kesederhanaan, kepedulian dan juga keikhlasan sebagai anggota Dewan. Kerja di DPR adalah amanah bukan untuk bermewah-mewah”, ujarnya menjelaskan.

Zuber juga amat dikenal dekat dengan para staf dan karyawan di lingkaran fraksinya termasuk office boy. Beliau sering dijadikan tempat ‘curhat’ para staf dan koleganya terlebih saat dia diamanahkan sebagai pimpinan fraksi. Zuber juga tidak riskan ketika sering melakukan Adzan Zuhur atau Ashar untuk mengingatkan staf dan karyawan saat di mushola Fraksi PKS lantai 4 gedung Nusantara I. Terkadang, para staf ahli anggota merasa malu ketika Zuber melantunkan Adzan, karena ditengah kesibukannya sebagai anggota Dewan, dia masih sempat menjadi muadzin mengingatkan staf-staf untuk sholat tepat waktu.

Pembelaannya dan kepeduliannya terhadap nasib rakyat seperti guru, perawat, TKI dan buruh tak pernah berhenti. Kini meski dirinya tak lagi di komisi IX, dirinya dipercaya fraksinya menjadi anggota pansus RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Itu karena konsistensinya dalam membela nasib rakyat kecil. Tak ayal, koleganya Mahfudz Siddiq (Ketua Komisi I DPR) mengatakan jika kita ingin belajar bagaimana cara berpolitik yang peduli dan konsisten, belajarlah dari Zuber Safawi.

Begitulah karakter kebersahajaan seorang wakil rakyat. Kita harus yakin masih banyak Zuber-Zuber lain yang mungkin selama ini tertutup dengan ragam kontroversi yang menyelimuti DPR, entah itu proyek gedung baru, absensi Dewan, dana aspirasi, kunker ke luar negeri dan lain sebagainya.

Dan tugas kitalah, rakyat dan konstituen dari wakil rakyat untuk senantiasa mengawal perilaku mereka agar lebih peduli, bersahaja dan berkinerja positif untuk rakyat, bukan menjadi wakil rakyat yang hanya sekedar kerja sambilan dan ambisi pribadi. Mungkin kita dapat belajar dari kesederhanaan seorang Zuber … (Dharma Wijaya)

29 September 2010, Kompasiana.com
Selengkapnya...

Rabu, 22 September 2010

Kemerdekaan Jaminan Sosial

HUT Proklamasi RI ke-65 baru saja kita rayakan dalam suasana keprihatinan publik. Saat ini kenaikan harga-harga sebagai konsekuensi logis dari naiknya tarif dasar listrik (TDL) kian menambah beban bagi sebagian besar masyarakat kita di tengah terbatasnya pendapatan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak sedikit. Padahal, selama ini masih banyak warga negara kita yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.



HUT Proklamasi RI ke-65 baru saja kita rayakan dalam suasana keprihatinan publik. Saat ini kenaikan harga-harga sebagai konsekuensi logis dari naiknya tarif dasar listrik (TDL) kian menambah beban bagi sebagian besar masyarakat kita di tengah terbatasnya pendapatan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak sedikit. Padahal, selama ini masih banyak warga negara kita yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

Tingginya biaya kesehatan dan pendidikan disebut-sebut menjadi faktor rendahnya derajat kesehatan dan tingkat pendidikan negeri ini. Sebagai bukti Indeks Pembangunan Indonesia (IPM) Indonesia yang merupakan gabungan dari indeks daya beli, kesehatan, dan pendidikan masih jauh dari menggembirakan. Laporan UNDP tahun 2009 menempatkan IPM Indonesia pada peringkat 111 dari 182 negara. Lebih rendah dibanding negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 66), Singapura (23), Thailand (87), Filipina (105), dan bahkan Srilanka (102). Padahal pada tahun 2007 IPM Indonesia menempati peringkat 107.

Secara konstitusional penyelenggara negara sebenarnya tidak boleh membiarkan hal semacam ini terjadi. Oleh karenanya secara tegas UUD NKRI 1945 menyebutkan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (pasal 34, ayat 2). Di ayat berikutnya kembali ditegaskan bahwa "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang baik".

Jadi, jika saat ini pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak menyediakan jaminan sosial dan berbagai fasilitas penunjangnya agar masyarakat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka sesungguhnya pemerintah telah lalai untuk memenuhi hak warga negaranya. Dengan kata lain, pemerintah telah gagal menjalankan konstitusi.

Perlu ditegaskan lagi, sebagai warga negara Indonesia, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan", (pasal 28 poin H, ayat 1). Di ayat yang lain (pasal 28 poin H, ayat 3) disebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat".

Dengan demikian, sah kiranya sebagai warga negeri ini turut menuntut pemerintah untuk lebih serius mewujudkan jaminan sosial bagi warganya. Apalagi sudah ada UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam Undang-undang itu disebutkan bahwa "Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak" (pasal 1).

Akselarasi Pembangunan
Di bidang kesehatan misalnya pemerintah harus segera melakukan akselarasi pembangunan di bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Antara lain dengan meningkatkan jumlah fasilitas layanan kesehatan, tenaga kesehatan, dan obat serta pemerataan distribusinya. Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Roadmap Reformasi Kesehatan Masyarakat 2010), hingga tahun 2007 jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih tergolong rendah untuk wilayah ASEAN.

Rasio dokter yang ada di Indonesia baru mencapai 19 per 100 ribu penduduk. Bandingkan dengan Filipina yang rasionya sudah mencapai 58 per 100 ribu penduduk atau Malaysia 70 per 100 ribu penduduk. Tanpa ada percepatan dan upaya yang sungguh-sungguh, upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan takkan mencapai hasil seperti yang diinginkan.

Buktinya dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 disebutkan bahwa capaian peningkatan jumlah tenaga kesehatan hingga tahun 2008 masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Rasio dokter spesialis baru mencapai 7,73 per 100 ribu penduduk (target 9 per 100 ribu penduduk), dokter umum 26,3 per 100 ribu penduduk (target 30 per 100 ribu penduduk). Rasio dokter gigi 7,7 per 100 ribu penduduk (target 11 per 100 ribu penduduk), perawat sebesar 157,75 per 100 ribu penduduk (target 158 per 100 ribu penduduk), dan bidan sebesar 43,75 per 100 ribu penduduk (target 75 per 100 ribu penduduk).

Belum lagi distribusinya yang jauh dari merata. Hingga saat ini sebaran tenaga kesehatan masih di sekitar kota-kota besar saja. Daerah pedesaan khususnya di wilayah perbatasan, terpencil, dan pelosok masih banyak belum memiliki tenaga kesehatan. Sudah bukan rahasia lagi jika di daerah pedesaan tak sedikit puskesmas atau fasilitas layanan kesehatan yang tak memiliki dokter atau tenaga medis lainnya.

Alhasil masyarakat di daerah tersebut memiliki akses yang sangat kecil terhadap layanan kesehatan. Tak heran jika status kesehatan masyarakat di daerah seperti itu masih mengkhawatirkan. Demikian pula dengan ketersedian obat bagi masyarakat.

Pembiayaan pemerintah pusat dan daerah untuk belanja obat pelayanan kesehatan dasar baru mencapai Rp13.000 per kapita per tahun. Padahal, WHO merekomendasikan minimal 2 dolar AS per kapita per tahun (sekitar Rp 18.000 - 20.000).

Jika kondisi ini belum banyak berubah ketika sistem jaminan sosial diterapkan maka efektivitas program tersebut tentunya akan dipertanyakan. Masyarakat akan tetap kesulitan mendapatkan akses layanan kesehatan karena sarana dan prasarananya tidak memadai. Kondisi ini juga bisa memicu rasa diperlakukan tidak adil. Terutama untuk masyarakat di pedesaan dan daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang layak. Masyarakat kota termasuk yang diuntungkan dengan sistem ini karena di kota tersedia fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai.

Sementara di daerah pedesaan daerah pelosok dan terpencil tetap saja sulit mengakses fasilitas kesehatan. Padahal, warga di daerah ini juga membayar iuran yang sama seperti warga kota meski untuk beberapa kondisi (tidak mampu) iurannya dibayarkan oleh negara. Efeknya tentu akan memunculkan disparitas status kesehatan yang makin tinggi antara satu daerah dengan daerah lain. Padahal sudah jelas bahwa "Sistem jaminan sosial diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" (pasal 2 UU No 40/2004).

Dampak Positif
Secara umum sistem jaminan sosial yang coba dikembangkan di negeri ini akan membawa dampak positif. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya lambat laun akan berdampak pada peningkatan taraf kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat.

Selain itu dana sosial yang dihimpun melalui program asuransi jaminan sosial tidak hanya bisa menjadi dana cadangan negara. Namun, bisa dialokasikan untuk pengembangan ekonomi masyarakat dan ekspansi bisnis. Sebagai gambaran dana yang berhasil dikumpulkan jaminan sosial untuk para pekerja di Malaysia mencapai nilai lebih dari 1.000 triliun rupiah. Hampir sama dengan total APBN Indonesia. Dengan dana sebesar itu tentu banyak hal yang bisa dilakukan khususnya untuk meningkatkan kemakmuran bangsa.

Dari beberapa catatan saat ini masyarakat Indonesia yang terlindungi jaminan sosial melalui asuransi jumlahnya masih minim. Hanya sekitar 16 juta pekerja dari 101 juta pekerja yang dilindungi program jaminan yang disediakan Taspen, Asabri, dan Jamsostek. Asuransi kesehatan lewat skema publik yang disediakan Askes diperkirakan hanya mencakup 13,8 juta (plus 1,4 juta anggota skema asuransi komersial), dan lewat program asuransi kesehatan Jamsostek 2,7 orang (1,5 di antaranya adalah pekerja).

Dengan demikian hanya sekitar 18 juta rakyat Indonesia yang dilindungi oleh skema formal asuransi kesehatan. Ditambah dengan mereka yang dilindungi oleh asuransi swasta atau yang dibiayai pemsahaan maka diperkirakan hanya 30 juta dari 230 juta lebih penduduk Indonesia yang dijamin oleh satu atau lebih program jaminan sosial.

Sebagai hak dasar warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah sudah sewajarnya berupaya dengan segenap kemampuan yang ada untuk mewujudkannya. Bukan hanya sekadar catatan di atas kertas. Seperti terlambatnya pelaksanaan jaminan sosial akibat RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai panduan bagi pengelola jaminan sosial yang tak kunjung diajukan ke DPR untuk dibahas.

Kini setelah DPR mengambil inisiatif untuk membentuk pansus RUU ini maka sekali lagi dituntut keseriusan pemerintah untuk bekerja sama menuntaskan penyusunannya. Seiring dengan itu pemerintah khususnya sektor terkait harus berupaya keras mempersiapakan sarana dan prasarana pendukung. Agar ketika pembahasannya selesai jaminan sosial bisa segera dilaksanakan. Inilah kemerdekaan jaminan sosial yang didambakan rakyat Indonesia saat ini.

Kamis 2 September 2010, Opini Detik.com

Selengkapnya...

Kamis, 02 September 2010

DPR Sahkan RUU BPJS Jadi RUU Inisiatif

Jakarta-Harian PELITA - Draf Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) disetujui oleh seluruh fraksi di DPR menjadi RUU inisiatif DPR. RUU ini kemudian akan diserahkan kepada presiden untuk ditindaklanjuti.

"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga pernyataan dari semua fraksi yang menyatakan setuju dengan RUU BPJS," kata Pimpinan Sidang, Priyo Budi Santoso, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/7).

Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU BPJS Komisi IX DPR Zuber Safawi mengaku senang RUU BPJS akhirnya disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. Pasalnya, kata dia, RUU ini sangat dibutuhkan seluruh rakyat Indonesia, terutama terkait jaminan kesehatan.

Politisi F-PKS ini berharap, pembahasan RUU ini bisa cepat selesai, sehingga bisa disahkan tepat waktu dan bisa diimplementasikan pada 2011. "PKS berkomitmen, pembahasan RUU agar bisa cepat selesai, meski ada titik-titik krusial, namun semoga saja bisa disahkan Desember 2010, sehingga 2011 BPJS bisa berjalan," tutur dia.

Hal sama diutarakan anggota Panja RUU BPJS Komisi IX lainnya, Budi Supriyanto. Politisi F-PG ini berharap pembahasan RUU BPJS bisa diselesaikan tahun ini. Ia juga berharap BPJS akan menjadi badan yang mampu meng-cover seluruh kesehatan rakyat Indonesia tanpa memandang kaya atau miskin. "Golkar menegaskan, negara harus mampu melakukan itu," tegas dia.

Sedangkan anggota Panja RUU BPJS Komisi IX dari F-PD Nova Riyanti Yusuf mengatakan tugas DPR dan pemerintah ke depan adalah bagaimana membuat RUU BPJS menjadi lebih detail yang mengatur semua hal secara komprehensif. Ia tidak ingin dalam RUU BPJS nanti ada celah yang dimanfaatkan pihak tertentu untuk kepentingan pribadi.

Tak hanya itu, dalam implementasi dan pengawasannya pun harus dibuat jelas dan detail pula. "Bagaimana teknis detail pelaksanaannya harus tertera, pun demikian pengawasannya. Misalnya, fasilitas rumah sakit, dokter, pencatatan administrasi, investasi dan keuntungan dari nominal dana yang terkumpul di BPJS," urai dia.

Sementara itu aktivis Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) Said Iqbal mengungkapkan dengan pengesahan ini DPR sudah berusaha memenuhi target prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) di 2010. Di sisi lain, kata dia, pemerintah harus siap membahas RUU itu dengan DPR.

"Di samping itu, pemerintah harus segera menyiapkan RPP dan Perpres terkait jaminan sosial yang sesuai dengan UU SJSN dan RUU BPJS. Agar saat RUU BPJS disahkan, PP dan Perpres sudah ada, sehingga BPJS bisa dilaksanakan pada 2011," ungkap dia.

Pemerintah juga, tutur dia, mulai sekarang harus menyiapkan infrastruktur pendukung dan bagaimana melaksanakan jaminan sosial secara bertahap, misalnya menyiapkan infrastruktur dan pelaksanaan program jaminan kesehatan seumur hidup kepada seluruh rakyat Indonesia.

"Harapannya, program jaminan kesehatan menjadi rule model bagi pentahapan program jaminan sosial selanjutnya," pungkas dia.

RUU BPJS adalah badan penyelenggara sistem jaminan sosial yang dikelola negara dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Program ini merupakan pengembangan dari sistem jaminan sosial yang ada di Indonesia, seperti Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri.

Selama ini sistem jaminan sosial itu dikritik terlalu diskriminatif dan terbatas dalam penyakit tertentu saja. Dalam konsep BPJS, obyek yang ternaungi adalah seluruh rakyat Indonesia. Serta, tidak ada plafon maksimal bagi penyakit-penyakit tertentu. Pengelola BPJS pun hanya satu lembaga berbadan hukum bersifat nirlaba, yang hingga saat ini belum dibentuk. (cr-14)

Harian Pelita, Kamis 29 Juli 2010
Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda