Selasa, 15 Juni 2010

Pasien Miskin dan Jaminan Sosial

Meski sudah banyak aturan dan anjuran agar fasilitas kesehatan mendahulukan pertolongan kepada pasien, namun penolakan layanan kepada pasien dengan alasan ekonomi masih kerap terjadi. Kasus penolakan terhadap Elsa Ainurohmah, bayi berusia enam bulan, putri pasangan Paidi (34) dan Septi Nuraini (30) oleh RS Sari Asih, Karawaci Tangerang, beberapa waktu lalu, misalnya, menambah panjang catatan hitam kasus serupa di Tanah Air.

Bayi mungil itu tidak mendapatkan layanan medis semestinya karena orangtuanya tak mampu menyanggupi uang muka Rp 10 juta yang diminta pihak rumah sakit. Akhirnya, orangtuanya memutuskan untuk memindahkan Elsa ke RSU Tangerang. Namun, akibat terlambat mendapatkan layanan medis, Elsa meninggal sebelum tiba di RSU Tangerang.
Tentu sangat miris rasanya jika peristiwa seperti ini terus terjadi secara berulang.

Padahal, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mewajibkan fasilitas layanan kesehatan agar mendahulukan upaya penyelamatan pasien. Pada pasal 32 ayat (1) undang-undang ini disebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Demikian pula UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam pasal 29 ayat (1) huruf f undang-undang itu secara tegas dinyatakan rumah sakit wajib melaksanakan fungsi sosial, antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi kemanusiaan.

Tapi, realitasnya berkata lain. Kasus Elsa menunjukkan hal yang sebaliknya. Rumah sakit menolak pasien yang tak bisa menyediakan uang muka sebagai jaminan pembiayaan. Masalah ketersediaan uang muka atau jaminan pembiayaan memang sering menjadi titik pangkal persoalan dalam layanan kesehatan. Ketika tidak ada jaminan pembiayaan, seperti kasus di atas, maka sulit bagi warga masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan.

Fenomena ini menunjukkan lemahnya implementasi aturan yang ada. Untuk itu, harus ada upaya keras dari pemerintah sebagai regulator untuk menindak pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Selain itu, perlu ada upaya yang komprehensif untuk merapikan sistem sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan aturan-aturan tersebut, termasuk masalah jaminan pembiayaan.

Sebagai fasilitas yang padat modal, padat karya, dan padat teknologi, fasilitas layanan kesehatan, khususnya rumah sakit, memang dihadapkan pada tuntutan akan adanya jaminan pembiayaan yang memadai. Tanpa itu, rumah sakit tak mungkin bisa menjalankan fungsinya. Apalagi, rumah sakit swasta yang dituntut menjadi revenue center (pusat penghasilan) yang harus membawa keuntungan bagi pemilik dan pengelolanya.

Inilah salah satu dilema yang dihadapi rumah sakit dalam melakukan layanan kesehatan bagi warga tidak mampu. Jika melayani warga yang tak mampu membayar, tentu rumah sakit akan kehilangan penghasilan. Dan, ini akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan operasional RS itu sendiri.

Di sisi lain, program terobosan pemerintah tampaknya belum sepenuhnya efektif. Pemberian SKTM (surat keterangan tidak mampu) dan program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan jaminan pembiayaan kesehatan bagi warga miskin belum sepenuhnya menjadi solusi. Cakupan yang terbatas, birokrasi yang lambat dan bertele-tele, dan informasi yang tidak tersebar dengan baik, menjadi titik lemah program yang menyebabkan warga tidak mampu menjadi korban.

Fakta lain, tidak sedikit warga miskin peserta Jamkesmas, yang seyogianya mendapat jaminan pembiayaan dari negara, tetap tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan. Terbatasnya fasilitas layanan untuk pasien Jamkesmas adalah alasannya. Jamkesmas memang hanya menjamin fasilitas layanan untuk kelas III rumah sakit. Sedangkan untuk mengejar keuntungan, rumah sakit lebih banyak menyediakan kelas II, I, VIP, dan bahkan VVIP ketimbang kelas III yang minim keuntungan.

Dalam UU No 44 Tahun 2009 disebutkan, rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan antidiskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial (pasal 2). Jika melihat penjelasan dari pasal tersebut, prinsip-prinsip yang tertuang dalam pasal itu mengarahkan pada pengutamaan layanan kesehatan dan penghilangan diskriminasi baik karena perbedaan, agama, ras, maupun strata ekonomi. Misalnya, nilai kemanusiaan dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyelenggaraan rumah sakit dilakukan dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras.

Adapun yang dimaksud dengan nilai keadilan adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya terjangkau oleh masyarakat dan pelayanan yang bermutu. Sedangkan fungsi sosial rumah sakit, dijelaskan sebagai bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien, khususnya yang kurang/tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.

Jadi, secara prinsip dan aturan, tak ada alasan bagi rumah sakit untuk mengabaikan pasien tidak mampu. Namun, mari kita kembali pada realitas yang ada. Penerapan aturan tersebut harus diikuti dengan solusi sistemik terkait masalah jaminan pembiayaan yang sering dikeluhkan pihak penyelenggara layanan kesehatan. UU Kesehatan dan UU Rumah Sakit memberi jaminan kepada seluruh warga, termasuk warga miskin, untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Tentu, UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) seharusnya menjadi jawabannya. Undang-undang ini mengatur tentang perlindungan sosial bagi masyarakat Indonesia agar bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Di dalamnya termasuk jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian berdasarkan prinsip asuransi. Khusus untuk masyarakat miskin, preminya dibayar oleh pemerintah.

Apabila UU ini berhasil dijalankan sepenuhnya, maka pembiayaan kesehatan-seperti yang sekarang ini sering dikeluhkan-bukan lagi masalah. Sebab, setiap warga negara Indonesia memiliki jaminan pembiayaan kesehatan. Hanya saja, aturan-aturan turunan dari Undang-Undang SJSN belum sepenuhnya terselesaikan. Salah satu yang krusial adalah aturan tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).

Opini Suara Karya, Senin 7 Juni 2010
Selengkapnya...

Senin, 14 Juni 2010

Mencari Bentuk Ideal BPJS, Tunggal atau Multi?

Badan Penyelenggara JaminanSosial (BPJS) merupakan lembaga publik yang dibentuk dengan UUSistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyelenggarakan sistemproteksi dasar bagi seluruh rakyat Indonesia yang sesuai dengan UU,termasuk pelayanan umum oleh instansi pemerintah.

Hal itu dikemukakan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)Bambang Purwaka dalam seminar Menentukan Bentuk BPJS Tunggal atauMulti di Jakarta, Rabu (9/6). Menurutnya, alasan perlunya perubahan bentuk badan hukum privat(BUMN Persero) menjadi badan hukum publik yang semi otonom adalahatas dasar pertimbangan kewenangan penyelenggaraan SJSN sebagaiprogram negara.

Semi otonom artinya institusi yang independen dan mempunyai hakdan kewajiban konstitusional untuk menyelenggarakan program negaraseperti jaminan sosial dan bantuan sosial, katanya. Selain itu, katanya, perubahan bentuk badan hukum dari BUMNPersero ke badan hukum publik semi otonom hanya terkait denganperubahan orientasi dari laba ke nirlaba.Dalam perubahan tersebut, katanya, nantinya dinyatakan bahwaseluruh karyawan aset BUMN Persero dengan sendirinya merupakan karyawan BPJS.

BPJS diberikan kewenangan khusus untuk mengatur sendiri mengenaiperekrutan karyawan, jenjang karir dan pola penggajian, sepertihalnya Bank Indonesia, kata Bambang.
Sebelumnya di tempat sama, anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi mengatakan, arah pengaturan RUBPJS di antaranya adalah membentuk struktur organisasi BPJS yang efisien dan kaya fungsi yang sesuai dengan prinsip nirlaba, kehati-hatian, good governance, akuntabeldan independen.

Selain itu RUU BPJS juga harus mengarah pada pengaturanmekanisme penyelenggaraan jaminan sosial dan tata kerja BPJS yangdapat memberikan peluang bagi ke empat persero, yakni Askes,Taspen, Jamsostek dan Asabri untuk mengintegrasikan diri,katanya.

Menurut Zuber, dalam RUU BPJS harus ditetapkan mekanismepengawasan pelaksanaan program jaminan sosial, kedudukan DJSN danpengawasan internal BPJS, serta mengatur manajemen sistem informasi BPJS, organisasi dan juga manajemen sumberdaya manusianya.Ia menjelaskan bahwa saat ini untuk menentukan bentuk BPJS masih sulit karena adanya dua wacana bentuk BPJS, yakni BPJS Tunggal atau Multi.

Kelebihan BPJS Tunggal, dalam pengelolaan organisasi BPJS danpenyelenggara jaminan sosial, maka proses, prosedur dan mekanisme pelayanan kepada setiap peserta dipastikan sama, katanya. Selain itu, akses kepesertaan hanya dari satu penyelenggara, dan peserta hanya membayar premi asuransi sosial untuk mendapatkan kelima manfaat program, serta satu peserta hanya memiliki satu nomor identitas, dan data kepesertaannya hanya dikeluarkan olehsatu badan.

Kemudian, kata dia, antara satu program dengan yang lainnyaberada dalam satu koordinasi, sehingga mudah memperbaiki jikaterjadi kesalahan, penanganan keluhan juga menjadi lebih cepatserta biaya operasional menjadi lebih efisien.
Namun ada kekurangan BPJS Tunggal, di antaranya dalam menyatukanpenyelenggaranya menjadi satu dibutuhkan komitmen politik yanglebih kuat, hal lain yang harus juga diperhatikan yakni dalampengelolaan dana yang harus lebih diawasi, katanya.

Meski demikian, jika BPJS berbentuk multi, peserta harusmembayar lima premi asuransi untuk lima manfaat secara sukarela,kemudian prosedur, proses dan mekanisme klaim berbeda antarpenyelenggara, serta tidak adanya koordinasi dan keadilanantar-program, katanya. (T.Jul/ysoel)

Hukumonline.com, Rabu 9 Juni 2010
Selengkapnya...

BPJS Tunggal Sulit Satukan Penyelenggara

Pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) dengan sistem tunggal masih kesulitan menyatukan penyelenggaraan menjadi satu, sehingga dibutuhkan komitmen politik yang lebih kuat.

Bahkan, dalam penyelenggaraan BPJS sistem tunggal membuat terlalu besar wewenang direksi, sehingga pengelolaan dana harus lebih diawasi.Namun, menurut Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Zuber Safawi, bentuk BPJS dengan sistem tunggal memiliki kelebihan dalam hal pengelolaan organisasi dan penyelenggaraan jaminan sosial.

Selain itu, lanjutnya, kelebihan lainnya adalah efektivitas mekanisme koordinasi dan juga pendanaan yang terkumpul relatif banyak, sedangkan biaya operasionalnya menjadi lebih efisien dan mudah memperbaiki jika terjadi kesalahan.

"Yang menjadi permasalahan disini bukan masalah bentuk BPJS multi atau tunggal melainkan inisiatif pemerintah lemah atau lamban dan sebagian program semisal jaminan sosial yang sudah berjalan," tuturnya dalam seminar mencari Bentuk Ideal BPJS di DPR, hari ini.

Zuber menambahkan masalah yang lebih rumit lagi adalah lembaga yang ada belum sesuai dengan UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Sementara itu, Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial Said Iqbal menuturkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertanggung jawab terhadap belum dilaksanakannya UU SJSN hingga saat ini.

"Sebenarnya, tidak hanya presiden sebagai kepala negara yang bersalah karena tidak menjalankan jaminan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia, juga ketua DPR, wakil presiden, Menkokesra, Menko Perekonomian, Menkeu, Menkum dan HAM, Menkes, Mensos, Menakertrans dan Menteri Pertahanan," jelasnya.

Said dalam kesempatan yang sama menilai dengan tidak menjalankan UU SJSN, akibatnya sama dengan sekitar 240 juta jiwa warga negara Indonesia kehilangan haknya atas pemenuhan jaminan sosial tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.(yn)

Bisnis Indonesia.Com, Rabu 9 Juni 2010
Selengkapnya...

BPJS Lembaga Publik Yang Proteksi Rakyat Sesuai UU

Badan Penyelenggara JaminanSosial (BPJS) merupakan lembaga publik yang dibentuk dengan UUSistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyelenggarakan sistemproteksi dasar bagi seluruh rakyat Indonesia yang sesuai dengan UU,termasuk pelayanan umum oleh instansi pemerintah.

Hal itu dikemukakan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)Bambang Purwaka dalam seminar Menentukan Bentuk BPJS Tunggal atauMulti di Jakarta, Rabu (9/6). Menurutnya, alasan perlunya perubahan bentuk badan hukum privat(BUMN Persero) menjadi badan hukum publik yang semi otonom adalah atas dasar pertimbangan kewenangan penyelenggaraan SJSN sebagai program negara.

Semi otonom artinya institusi yang independen dan mempunyai hakdan kewajiban konstitusional untuk menyelenggarakan program negaraseperti jaminan sosial dan bantuan sosial, katanya. Selain itu, katanya, perubahan bentuk badan hukum dari BUMNPersero ke badan hukum publik semi otonom hanya terkait denganperubahan orientasi dari laba ke nirlaba.

Dalam perubahan tersebut, katanya, nantinya dinyatakan bahwaseluruh karyawan aset BUMN Persero dengan sendirinya merupakan karyawan BPJS. BPJS diberikan kewenangan khusus untuk mengatur sendiri mengenai perekrutan karyawan, jenjang karir dan pola penggajian, sepertihalnya Bank Indonesia, kata Bambang.

Sebelumnya di tempat sama, anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawimengatakan, arah pengaturan RUBPJS di antaranya adalah membentuk struktur organisasi BPJS yang efisien dan kaya fungsi yang sesuai dengan prinsip nirlaba, kehati-hatian, good governance, akuntabel dan independen.Selain itu RUU BPJS juga harus mengarah pada pengaturanmekanisme penyelenggaraan jaminan sosial dan tata kerja BPJS yangdapat memberikan peluang bagi ke empat persero, yakni Askes,Taspen, Jamsostek dan Asabri untuk mengintegrasikan diri,katanya.

Menurut Zuber, dalam RUU BPJS harus ditetapkan mekanismepengawasan pelaksanaan program jaminan sosial, kedudukan DJSN danpengawasan internal BPJS, serta mengatur manajemen sistem informasi BPJS, organisasi dan juga manajemen sumberdaya manusianya.Ia menjelaskan bahwa saat ini untuk menentukan bentuk BPJS masihsulit karena adanya dua wacana bentuk BPJS, yakni BPJS Tunggal atau Multi.

Kelebihan BPJS Tunggal, dalam pengelolaan organisasi BPJS danpenyelenggara jaminan sosial, maka proses, prosedur dan mekanismepelayanan kepada setiap peserta dipastikan sama, katanya.

Selain itu, akses kepesertaan hanya dari satu penyelenggara, dan peserta hanya membayar premi asuransi sosial untuk mendapatkankelima manfaat program, serta satu peserta hanya memiliki satunomor identitas, dan data kepesertaannya hanya dikeluarkan olehsatu badan.

Kemudian, kata dia, antara satu program dengan yang lainnya berada dalam satu koordinasi, sehingga mudah memperbaiki jikaterjadi kesalahan, penanganan keluhan juga menjadi lebih cepatserta biaya operasional menjadi lebih efisien.
Namun ada kekurangan BPJS Tunggal, di antaranya dalam menyatukanpenyelenggaranya menjadi satu dibutuhkan komitmen politik yanglebih kuat, hal lain yang harus juga diperhatikan yakni dalampengelolaan dana yang harus lebih diawasi, katanya.

Meski demikian, jika BPJS berbentuk multi, peserta harusmembayar lima premi asuransi untuk lima manfaat secara sukarela,kemudian prosedur, proses dan mekanisme klaim berbeda antarpenyelenggara, serta tidak adanya koordinasi dan keadilanantar-program, katanya.

Kominfo Newsroom, Rabu 9 Juni 2010
Selengkapnya...

Selasa, 01 Juni 2010

DPR Prioritaskan RUU BPJS

JAKARTA(SI) – Komisi IX DPR menargetkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) selesai pada pertengahan Juni 2010.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz menuturkan, saat ini pembahasan RUU BPJS memasuki proses penyaringan tanggapan dan aspirasi masyarakat. Komisi IX terus berkeliling ke daerah untuk meminta masukan dan aspirasi, yakni ke Makassar, Balikpapan, dan Surabaya. Irgan menegaskan, RUU ini penting dibahas karena memberikan jaminan kepada masyarakat dalam hal kesehatan, kecelakaan kerja, pensiun, hari tua, dan jaminan kematian.

“Jaminan kesehatan merupakan RUU yang diprioritaskan untuk dibahas,” tandasnya di Jakarta kemarin. Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengungkapkan, jika RUU ini sudah disahkan, maka seluruh penduduk Indonesia akan mendapatkan jaminan.

Selain masyarakat, badan hukum publik dan wali amanah juga bisa mendapatkan jaminan sosial tersebut. Nantinya,BPJS tidak akan mencari keuntungan (nirlaba) dan tetap berkeadilan serta independen. Dia memaparkan, struktur organisasi badan hukum penyelenggara program jaminan sosial ini nantinya tetap terpusat dan berskala nasional. Sementara perusahaan asuransi yang masih ada saat ini seperti PT Askes, Taspen, Jamsostek, dan PT Asari, akan menjadi perusahaan pendukung BPJS.

“Mereka akan menjadi supporting system BPJS,”urainya. RUU BPJS ini merupakan salah satu RUU hasil inisiatif DPR.RUU ini diajukan untuk memenuhi amanat Undang-Undang (UU) No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Wakil Ketua Komisi IX DPR Sumarjati Arjoso mengungkapkan, kemungkinan besar pembahasan RUU BPJS sudah mencapai keputusannya pada Senin (31/5) ini. Hasil keputusan tersebut akan dikirimkan ke Badan Legislasi (Baleg) pada 1 Juni 2010 untuk harmonisasi. Proses yang akan berlangsung di Baleg diperkirakan memakan waktu hingga sepuluh hari.“Kami harap, keputusan akhir dapat diumumkan pada sidang paripurna 15 Juni 2010,”paparnya.

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi mendesak pemerintah melakukan akselerasi pembangunan di bidang kesehatan sebagai persiapan pelaksanaan SJSN.Akselerasi itu mencakup pembangunan fasilitas kesehatan, distribusi tenaga kesehatan,dan perbaikan manajemen pengelolaan fasilitas kesehatan. Fakta yang ada saat ini menggambarkan bahwa tidak sedikit pos pelayanan kesehatan di pedesaan yang memberikan pelayanan minimal karena kurangnya tenaga kesehatan dan fasilitas pendukung.

“Belum lagi manajemen pengelolaannya yang masih bermasalah dan kedisiplinan petugas yang rendah sehingga menyebabkan antrean pasien yang panjang,”tegasnya.Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini menuturkan, jika tidak didukung dengan akselerasi tersebut, maka jaminan sosial yang sudah dirancang dengan baik itu hanya akan dinikmati masyarakat perkotaan.

Sementara masyarakat di pedesaan tetap kesulitan mengakses jaminan tersebut. Zuber juga mengungkapkan, sebenarnya hakikat dasar program SJSN adalah untuk mempermudah masyarakat dalam memperoleh akses layanan kesehatan dan bukan untuk memunculkan perlakuan tidak adil di masyarakat.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih berharap agar DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU BPJS. Meski belum selesai dibahas, Menkes menyatakan, pemerintah tetap akan menjalankan pelayanan yang men-cover seluruh penduduk.

Harian Seputar Indonesia, Senin 31 Mei 2010 Selengkapnya...

Pemerintah Diminta Lakukan Akselerasi Kesehatan

Jogjakarta(KR) - Anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi mendesak pemerintah untuk melakukan akselerasi pembangunan di bidang kesehatan, sebagai persiapan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pemerintah juga diingatkan agar segera membangun fasilitas kesehatan di daerah pedesaan.

Zuber Syafawi mengatakan hal ini kepada KR di Semarang Sabtu (29/5), terkait dengan kebijakan pemerintah yang akan menggunakan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk menjamin kesehatan masyarakat yang kurang mampu. Zuber Syafawi berharap pemerintah melakukan percepatan pemerataan distribusi tenaga kesehatan dan perbaikan manajeman pengelolaan fasilitas kesehatan, sehingga program SJSN bisa dilaksanakan secara adil.

Menurut Zuber, akselerasi bidang kesehatan mutlak dibutuhkan, karena jika tidak dilakukan akselerasi dikhawatirkan yang menikmati program SJSN hanya sebagian masyarakat saja, utamanya masyarakat di kota yang sudah memiliki fasilitas kesehatan. Sedangkan masyarakat yang berada di pedesaan akan sulit menikmati jaminan yang diselenggarakan pemerintah, karena kesulitan untuk bisa mengakses fasilitas kesehatan yang ada.

“Masih jarangnya pos pelayanan kesehatan ditambah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata, akan membuat warga di pedesaan merasa dianaktirikan. Banyak pos pelayanan kesehatan di pedesaan tak bisa memberikan pelayanan secara optimal karena kurangnya tenaga kesehatan dan fasilitas pendukung,” tutur Zuber.

Kendala tersebut menurut Zuber dari FPKS DPR RI ini, masih ditambah lemahnya manajemen pengelolaan, dan tingkat kedisiplinan petugas kesehatan di pedesaan yang masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari seringnya dijumpai tenaga kesehatan yang datang terlambat sehingga menyebabkan antrean pasien yang panjang.

“Saat ini komisi IX DPR RI dan Pemerintah sedang membahas pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai tindaklanjut dari amanat UU Nomor 40/2004 tentang SJSN. Diharapkan saat UU BPJS terbentuk, pemerintah sudah siap dengan fasilitas pelayanan dan SDM kesehatan yang merata," tegas Zuber Syafawi.

Kedaulatan Rakyat Minggu 30 Mei 2010 Selengkapnya...

Pemerintah Harus Lakukan Akselerasi Pembangunan Kesehatan

Anggota Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi mendesak pemerintah untuk melakukan akselerasi pembangunan di bidang kesehatan sebagai persiapan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

"Selain pembangunan fasilitas kesehatan di daerah pedesaan, pemerintah harus mempercepat pemerataan distribusi tenaga kesehatan dan perbaikan manajeman pengelolaan fasilitas kesehatan. Hal ini untuk menjamin agar SJSN terselenggara secara adil," ungkap Zuber dalam siaran persnya yang dikirim ke redaksi Suara Merdeka CyberNews.

Jika tidak, tambah Zuber, maka yang menikmati jaminan kesehatan, sebagai bagian dari SJSN, hanya sebagian masyarakat saja, utamanya masyarakat di kota yang sudah memiliki fasilitas kesehatan. "Masyarakat yang berada di pedesaan akan sulit menikmati jaminan yang diselenggarakan pemerintah, bukan karena tidak mau, tapi sulit mendapat akses fasilitas kesehatan," lanjut sekretaris Fraksi PKS ini.

Masih jarangnya pos pelayanan kesehatan ditambah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata hanya akan membuat warga di daerah pedesaan merasa dianaktirikan. Hingga saat ini tak sedikit pos pelayanan kesehatan yang ada di daerah pedesaan tak bisa memberikan pelayanan secara optimal karena kurangnya tenaga kesehatan dan fasilitas pendukung.

"Belum lagi manajemen pengelolaannya yang masih bermasalah, kedisiplinan petugas perlu ditingkatkan karena masih sering dijumpai tenaga kesehatan yang datang terlambat sehingga menyebabkan antrian pasien yang sangat panjang," tambahnya.

"Saat ini, komisi IX DPR dan Pemerintah sedang membahas pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai tindak lanjut dari amanat UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sehingga diharapkan saat UU BPJS terbentuk, pemerintah juga sudah siap dengan fasilitas pelayanan dan SDM kesehatan yang merata," ungkapnya.

"Hakikat SJSN seharusnya mempermudah masyarakat dalam memperoleh akses layanan kesehatan, bukan untuk memunculkan rasa diperlakukan tidak adil di kalangan masyarakat," tandas Zuber.

Berdasarkan UU SJSN, pemerintah akan memberikan jaminan sosial kepada masyarakat Indonesia berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Saat ini program tersebut masih menunggu disahkannya UU BPJS.

Kamis 27 Mei 2010, Suara Merdeka Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda