Rabu, 26 Mei 2010

Pemerintah Tidak Serius Lindungi TKI

JAKARTA – Pemerintah dinilai tidak serius dalam memberikan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terutama di Malaysia.

Ketidakseriusan itu terlihat dari isi Nota Kesepahaman tentang TKI yang ditandatangani Indonesia-Malaysia yang lebih mirip dengan surat perjanjian bisnis.

Pernyataan tersebut disampaikan anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka di Jakarta, Rabu (19/5).

Politisi dari Fraksi PDIP ini menilai Nota Kesepakatan tentang perlindungan dan penempatan TKI yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Malaysia kemarin lebih mirip dengan bentuk perjanjian bisnis.

Seperti diberitakan sebelumnya, Nota kesepahaman tentang Tenaga Kerja Indonesia antara Indonesia dan Malaysia akhirnya ditandatangani, Selasa (18/5) di di Kantor Perdana Menteri (PM) Malaysia dia kawasan Putrajaya Malaysia.

Memorandum of Understanding tersebut ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dan Menteri Tenaga Kerja Malaysia Dato Seri Hishammudin Tun Hussein, Selasa (18/5).

Ditandatangani untuk mengakhiri moratorium penempatan TKI informal PRT ke Malaysia sejak 25 Juni 2009.

Tidak Ada

Menurut Rieke, hal itu tecermin dari tidak adanya desakan dari Pemerintah Indonesia kepada Malaysia untuk membuat undang-undang (UU) perlindungan TKI dan pembantu rumah tangga di sana.

Padahal, UU-lah yang dapat menjamin adanya perlindungan tersebut.

Karena itu, ia pesimistis surat perjanjian tersebut akan dapat melindungi TKI sebagaimana yang diharapkan banyak pihak.

“Tapi ya begitu, jangankan di negara penempatan, kita sendiri belum ada UU PRT yang diresmikan,” terang Rieke.

Pendapat senada juga disampaikan anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi.

Menurutnya, perjanjian yang ditandatangani Selasa lalu itu belum menjamin perlindungan bagi para TKI, terutama PRT.

Pasalnya, perjanjian itu hanya melingkupi persoalan yang ada di Malaysia seperti persoalan gaji, libur satu hari, dan paspor yang dapat dipegang oleh TKI.

Lebih lanjut lagi, Zuber mengatakan, pemerintah seharusnya menegaskan mengenai pengawasan atau law enforcement di Malaysia, yaitu jika ada penganiayaan terhadap TKI bagaimana mekanisme hukuman bagi majikan.

“Jika kesemuanya belum diatasi maka MoU itu akan menjadi kehilangan maknanya,” pungkasnya.
cit/N-1

Kamis 20 Mei 2010, Koran JAKARTA Selengkapnya...

Perlindungan bagi TKI Disepakati

JAKARTA – Nota kesepahaman (MoU) tenaga kerja Indonesia (TKI) antara pemerintah Indonesia dan Malaysia ditandatangani, Selasa (18/5).

Nota kesepahaman tersebut ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia Muhaimin Iskandar dan Menteri Tenaga Kerja Malaysia Dato Seri Hishammudin Tun Hussein di Kantor Perdana Menteri (PM) Malaysia Putrajaya, Malaysia.

Penandatanganan yang disaksikan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu diharapkan dapat menjadi lang kah awal Indonesia meningkatkan perlindu ngan terhadap TKI.

“Khu susnya untuk perlindungan pekerja di sektor domestik,” kata Muhaimin dalam siaran pers.

Berdasarkan perjanjian itu, ada empat poin penting yang dijadikan dasar pemberian jaminan dan hak-hak para TKI.

Empat poin itu adalah libur satu hari dalam sepekan untuk pekerja yang bekerja di rumah tangga, gaji yang akan diterima TKI, paspor penata laksana rumah tangga (PLRT) dipegang yang bersangkutan, dan biaya penempatan PLRT disepakati kedua negara.

Tetap Diawasi

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi menyambut baik ke sepakatan itu.Namun, dia mengingatkan pemerintah untuk tetap menertibkan seluruh proses penempatan dan perlindungan TKI.

“Karena kesepakatan hanya terbatas pada TKI yang legal dan memenuhi syarat, sedangkan yang ilegal karena pemalsuan umur dan tes kesehatan yang palsu, tetap berangkat karena pengawasan lemah,” tutur anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

Senada dengan Zuber, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah berpendapat pemerintah harus meminta Malaysia mengevaluasi total situasi dan penempatan PRT ilegal ke Malaysia pada masa moratorium diberlakukan sejak 26 Juni 2009.

“Angka kematian TKI di Malaysia pada 2009 yang mencapai 687 orang harus dijelaskan oleh pemerintah Malaysia,” katanya.
cit/S-2

Koran JAKARTA, Rabu 19 Mei 2010 Selengkapnya...

Rabu, 19 Mei 2010

Perlindungan TKI Diperbaiki

KUALA LUMPUR (SI) – Indonesia dan Malaysia kemarin menandatangani letter of intent(LoI) sebagai langkah awal memperbaharui nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) tentang perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI).

Penandatanganan LoI dilakukan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Malaysia Datuk Seri Hishammuddin Tun Hussein. LoI untuk penyempurnaan MoU perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) pada 2006 itu merupakan hasil kesepakatan pembicaraan bilateral antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Mohd Najib Tun Abdul Razak di Kantor PM Malaysia, Putrajaya, kemarin. Kesepakatan tentang tenaga kerja merupakan salah satu agenda penting yang dibawa Presiden dalam pertemuan konsultasi tahunan Indonesia-Malaysia.

Pertemuan yang merupakan forum bilateral tertinggi antara dua negara akan membahas segala tantangan dan peluang bagi pengembangan dan peningkatan hubungan bilateral yang saling menguntungkan dengan semangat penuh keterbukaan dan persahabatan. Sejak diselenggarakan pada 2006, forum rutin tersebut digelar setahun sekali antara Indonesia dan Malaysia guna membahas segala persoalan dalam hubungan bilateral kedua negara tetangga. Selain membahas tenaga kerja, kedua kepala negara ini juga membahas hubungan ekonomi, investasi, perdagangan,serta pariwisata.

Selama di negeri serumpun itu Presiden SBY juga dijadwalkan menerima kunjungan kehormatan Ketua World Islamic Forum (WIEF) yang juga mantan PM Malaysia, Tun Musa Hitam.Di Malaysia pada Rabu 19 Mei 2010 Presiden diagendakan menyampaikan pidato pada WIEF VI bertema ‘’Gearing for Economic Resurgence’’. WIEF VI diselenggarakan di Kuala Lumpur Convention Center akan dihadiri delapan kepala negara/pemerintahan di antaranya Presiden Senegal, Presiden Maladewa,Presiden Kosovo, Perdana Menteri Bangladesh, serta Wakil PM Kazakhstan. Presiden Yudhoyono juga dijadwalkan bertemu kalangan pebisnis Malaysia pada Selasa,18 Mei 2010 di hotel tempat rombongan Presiden menginap, JW Marriott.

Kunjungan ke Malaysia ini merupakan rangkaian lawatan ke negara tetangga setelah sebelumnya (17/05) mengunjungi Singapura. Menakertrans Muhaimin Iskandar mengungkapkan, LoI memuat tiga persoalan yang tidak diatur dalam MoU sebelumnya yaitu paspor harus dibawa bekerja oleh TKI, satu hari libur dalam sepekan, serta pembicaraan lebih detil mengenai struktur proses pemberangkatan karena masingmasing embarkasi masih memberlakukan pengaturan berbeda. Dengan LoI ini, masing-masing negara berkewajiban mengawasi upah minimum para TKI melalui kontrak kerja yang dibuat oleh penyedia jasa TKI. Jika ada TKI tidak diberi upah minimal sesuai kesepakatan atau tidak mendapatkan hari libur sesuai aturan, Pemerintah Malaysia akan menindak majikan TKI.

Menurutnya, untuk pengawasan implementasi LoI di lapangan, Indonesia dan Malaysia akan mengefektifkan gugus tugas yang telah dibentuk demi perlindungan para TKI di Malaysia. Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini memaparkan, LoI yang baru ditandatangani itu akan disempurnakan menjadi MoU baru setelah Indonesia dan Malaysia masing-masing membawa hasil kesepakatan tersebut ke dalam sidang kabinet paripurna. Ia berharap MoU itu dalam dua bulan ke depan sudah bisa disiapkan. Namun,menurut mantan Wakil Ketua DPR ini, kesepakatan tertuang dalam LoI sebenarnya sudah bisa berlaku apabila Indonesia sudah siap dengan sistem yang akan diterapkan sesuai aturan yang telah disepakati.

Indonesia masih membutuhkan waktu sekitar dua bulan guna menyempurnakan sistem sehingga bisa membuka kembali pengiriman TKI ke Malaysia yang sudah dibekukan sejak Juli 2009. Untuk itu, pemerintah perlu mengadakan sosialisasi kepada PJTKI dan juga dinas-dinas tenaga kerja di daerah agar semua pihak memahami LoI yang baru saja ditandatangani dengan Malaysia. “Kita bikin edaran, panggil dinasdinas, kita bikin iklan, sosialisasikan ke masyarakat bahwa siapa pun orang yang tidak siap kerja ke luar negeri dilarang keras kecuali tahu hak dan kewajibannya. Kita terus sosialisasi, panggil mereka, kasih tahu mekanismenya,’’ ucap Muhaimin.

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi menyambut baik kesepakatan tersebut. Namun, dia mengingatkan, pada saat yang sama pemerintah harus menertibkan seluruh proses penempatan dan perlindungan TKI. “Karena kesepakatan itu terbatas pada TKI yang legal dan memenuhi syarat,sedangkan yang ilegal karena pemalsuan umur dan tes kesehatan yang aspal tetap berangkat karena pengawasan yang lemah,” ungkap politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menandaskan, selain LoI TKI, pemerintah termasuk Presiden pun harus meminta kepada Pemerintah Malaysia untuk mengevaluasi secara total mengenai situasi dan penempatan domestic workers secara ilegal ke Malaysia pada masa moratorium diberlakukan sejak 26 Juni 2009. “Angka kematian TKI di Malaysia pada 2009 yang mencapai 687 orang harus dijelaskan oleh Pemerintah Malaysia,”tandasnya. Alumnus Universitas Jember ini menambahkan, Pemerintah Malaysia juga harus memberikan penjelasan terutama untuk kasuskasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) migran Indonesia di Malaysia yang cenderung memakan waktu cukup panjang dan berlarut-larut seperti kasus Siti Hajar, Munti Bt Bani, Ceriyati, Kunarsih, Parsiti, dan Darnis.

Berdasarkan data, TKI merupakan pekerja terbesar di Malaysia, dengan jumlah mencapai 90% dari total tenaga kerja atau sekitar 250.000 orang.Sisanya dari Kamboja, Thailand, Bangladesh, dan Filipina. (neneng zubaidah/ant)

Harian Seputar Indonesia, Rabu 19 Mei 2010 Selengkapnya...

Senin, 10 Mei 2010

Negara dan Jaminan Sosial

MESKI sudah banyak aturan dan anjuran agar fasilitas kesehatan mendahulukan pertolongan kepada pasien, namun penolakan layanan kepada pasien dengan alasan ekonomi masih kerap terjadi. Kasus penolakan terhadap Elsa Ainurohmah, bayi berusia enam bulan, putri pasangan Paidi (34) dan Septi Nuraini (30) oleh RS Sari Asih, Karawaci, Tangerang beberapa waktu lalu misalnya menambah panjang catatan hitam kasus serupa di tanah air.

Bayi mungil itu tak mendapatkan layanan medis semestinya karena orang tuanya tak mampu menyanggupi uang muka sebesar 10 juta rupiah yang diminta pihak rumah sakit. Akhirnya, orang tuanya memutuskan untuk memindahkan Elsa ke RSU Tangerang. Namun, akibat terlambat mendapatkan layanan medis, Elsa meninggal sebelum tiba di RSU Tangerang.

Tentu sangat miris rasanya, jika peristiwa seperti ini terus terjadi secara berulang. Padahal UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan telah mewajibkan fasilitas layanan kesehatan agar mendahulukan upaya penyelamatan pasiennya. Pada pasal 32 ayat (1) Undang-Undang ini disebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Fungsi Sosial

Demikian pula UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Dalam pasal 29 ayat (1) huruf f, secara tegas undang-undang ini mewajibkan rumah sakit untuk melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi kemanusiaan.

Tapi, realitasnya berkata lain. Kasus Elsa menunjukkan hal yang sebaliknya, rumah sakit menolaknya karena tak bisa menyediakan uang muka sebagai jaminan pembiayaan. Masalah ketersediaan uang muka atau jaminan pembiayaan memang sering menjadi titik pangkal persoalan dalam layanan kesehatan. Ketika tidak ada jaminan pembiayaan, seperti kasus di atas, maka sulit bagi warga masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan.

Fenomena ini menunjukkan lemahnya implementasi dari aturan yang ada. Untuk itu harus ada upaya keras dari pemerintah sebagai regulator untuk menindak pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Selain itu, perlu ada upaya yang komprehensif untuk merapikan sistem sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan aturan-aturan tersebut, salah satunya adalah masalah jaminan pembiayaan..

Sebagai fasilitas yang padat modal, padat karya dan padat teknologi, fasilitas layanan kesehatan, khususnya rumah sakit memang dihadapkan pada tuntutan akan adanya jaminan pembiayaan yang memadai. Tanpa itu, rumah sakit tak mungkin bisa menjalankan fungsinya. Apalagi rumah sakit swasta yang dituntut menjadi revenue center (pusat penghasilan) yang harus membawa keuntungan bagi pemilik dan pengelolanya. Inilah salah satu dilema yang dihadapi rumah sakit dalam melakukan layanan kesehatan bagi warga tidak mampu. Jika melayani warga yang tak mampu membayar, tentu rumah sakit akan kehilangan penghasilannya. Ini akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan operasional RS itu sendiri.

Di sisi lain, program terobosan pemerintah nampaknya belum sepenuhnya efektif. Pemberian SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan jaminan pembiayaan kesehatan bagi warga miskin belum sepenuhnya menjadi solusi. Coverage yang terbatas, birokrasi yang lambat dan bertele-tele, dan informasi yang tidak tersebar dengan baik menjadi titik lemah program yang menyebabkan warga yang tidak mampu menjadi korbannya.

Kasus yang menimpa Istiqomah, warga Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, pada awal Februari lalu menjadi salah satu contohnya. Ia terpaksa harus merelakan anaknya, Nur Jamilah (2 tahun) menghadap Yang Maha Kuasa, setelah ditolak oleh RSU Persahabatan, Rawamangun dengan alasan ketidaklengkapan dokumen. Pihak rumah sakit tidak bisa merawat Nur Jamilah, karena surat keterangan tidak mampu dari RW yang dilampirkan tidak berstempel.

Persyaratan untuk mendapatkan layanan kesehatan bagi warga miskin seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Keterangan Tidak Mampu dari RT/RW dan lurah setempat, serta surat rujukan dari Puskesmas seringkali menjadi sandungan warga untuk mendapatkan layanan, bahkan dalam keadaaan darurat sekalipun.

Fakta lain, tak sedikit warga miskin peserta Jamkesmas, yang seyogyanya mendapat jaminan pembiayaan dari negara tetap tak bisa mendapatkan layanan kesehatan. Terbatasnya fasilitas layanan untuk pasien Jamkesmas adalah alasannya. Jamkesmas memang hanya menjamin fasilitas layanan untuk di kelas III rumah sakit. Sedangkan, untuk mengejar keuntungan, rumah sakit lebih banyak menyediakan kelas II, I, VIP dan bahkan VVIP, ketimbang kelas III yang minim keuntungan.

Ambil saja contoh kasus yang menimpa keluarga Nasarudin. Warga Desa Sukamulya, Cikupa, Tangerang ini kehilangan satu dari tiga bayi kembarnya karena kurangnya perawatan medis. (Penulis adalah anggota Komisi IX DPR RI)

Harian TERBIT, Kamis 6 Mei 2010 Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda