Kamis, 25 Februari 2010

Reformasi DPR Perlu Dilembagakan

Langkah Ketua DPR Marzuki Alie yang akan melakukan transparansi anggaran anggota Dewan disambut positif. Hanya, langkah tersebut harus dibarengi dengan penyiapan secara kelembagaan.

Peneliti bidang politik dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmi Badoh menilai, reformasi DPR itu perlu diterapkan dalam aturan-aturan yang jelas sehinggalebihprogresif.Aturanitu akan memaksa agenda reformasi ini dijalankan, bukan hanya didasarkan atas kesepakatan.

"Soal tidak boleh ada proyek titipan misalnya. Itu harus disebutkan jelas dalam aturan, apa sanksinya? Kalau tidak ada dalam aturan ya, publik akan menilai ini hanya slogan saja," tegasnya.

Sebelumnya, Ketua DPR Mar-zuki Alie saat melakukan diskusi dengan jajaran redaksi harian Seputar Indonesia menyampaikan berbagai rencana perbaikan lembaga parlemen. Langkah tersebut untuk meningkatkan kembali citra DPR di mata konstituennya. Salah satunya menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).Menurut Fahmi, kerja sama dengan BPKB itu bisa dirilis ke publik terkait laporan akuntabilitas kinerja DPR dengan anggaran yang diserapnya.

"Publik bisa tahu, adakah korelasi antara anggaran dan kerja DPR? Kalau itu bisa dilakukan, publik tidak akan mudah melontarkan penghakiman kepada DPR," katanya.
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Tjahjo Kumolo mengatakan, dalam hal peningkatan transparansi pada prinsipnya mulai berjalan. Sebab, perencanaan dan pelaksanaan penggunaan anggaran DPR saat ini dikelola BURT DPR yang secara langsung dipegang Ketua DPR.

"Sehingga pelaksanaan program bisa termonitor pimpinan DPR. Soal administrasinya bisa dikelola Sekjen DPR, tetapi soal perencanaan anggaran tidak bisa oleh Sekjen DPR," kata Tjahjo kepada SI kemarin.

Diamendukungreformasi total di lingkungan Sekjen DPR. Bahkan, kata dia, seorang Sekjen DPR harusnya diangkat oleh pimpinan DPR serta diambilkan dari luar jajaran pegawai DPR. Dengan begitu, kata dia; setiap keputusan yang dikeluarkan juga bisa objektif karena bukan orang yang selama ini berada di DPR.

Sementara terkait kerja sama DPR dengan BPKP, menurut Tjahjo, harus detail poin-poin apa saja yang dikerjasamakan. Sebab, bagaimanapun BPKP adalah auditor pengawasan anggaran dan pembangunan internal pemerintah, sementara DPR bukanlah bagian dari pemerintah.

"Kerja sama itu bisa dilaksanakan sepanjang hanya sebatas tukar informasi," ujarnya.
Sekretaris Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN) Viva Yoga Mauladi mengatakan, berhasil atau tidaknya pembenahan di DPR sebenarnya tergantung kemauan politik DPR sendiri. Sebab, dengan sistem yang baru dengan Ketua DPR sekaligus menjadi Ketua BURT, tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk berkilah bahwa tidak ada koordinasi antara DPR dengan pihak Sekretariat Jenderal DPR.

"Jadi kalau ada political will sebenarnya tidak susah untuk melakukan reformasi di lembaga parlemen," ungkapnya. - Terkait keterlibatan BPKP, Viva menilai hal itu suatu kemajuan. Hanya, ke depannya mesti dipikirkan terkait pengawasan sesuai aturan yang berlaku."BPKP tidak masuk di wilayah politik sehingga tidak ada masalah kalaupun bekerja sama dengan BPKP,"ujarnya.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Agung Budi Santoso mengaku bahwa rencana reformasi DPR itu telah sampai kepada fraksinya. Rencana-rencana itu terus dibicarakan dalam fraksi. Meski masih menunggu keputusan final, Agung mengaku secara garis besar fraksinya mendukung rencana reformasiDPRitu.

"Terus kami bicarakan. Kami menilai,rencana-rencanaitu bagus dan perlu didukung. Kami merasa itu penting untuk mendukung itu karena bisa meningkatkan citra DPR dan juga kepercayaan publik kepada lembaga ini," katanya

Meski mendukung, Agung memberikan catatan atas rencana reformasi DPR itu. Menurut dia, perlu ada prioritas atau penekanan dalam agenda itu. Dalam pandangannya, transparansi anggaran harus jadi titik masuk utama.

"DPR itu kan sering disentil publik karena soal anggaran seperti kenaikan gaji, mobil mewah, rumah dinas atau yang lainnya. Ini disebabkan tidak adanya transparansi anggaran. Untuk itu, soal ini harus jadi prioritas," tutur Agung yang juga anggota BURT ini.

Persetujuan anggaran DPR yangharusmelaluiBURT,menurut Agung yang juga anggota KomisiV DPR, merupakan langkah yang strategis. Dengan model ini, anggota DPR ikut menentukan mana anggaran yang diperlukan oleh DPR mana yang tidak?
"Sebelumnya kan kita sering menjadi korban meski sebenarnya fasilitas itu kita perlukan. Ini karena anggaran sepenuhnya di Sekjen. Kita tidak tahu apa-apa. Jadi, kita pusing juga ketika dihantam soal anggaran ini. Dengan model ini, kita semua tahu," ujarnya.

Sekretaris Fraksi PKS Zuber Syaf awi mengusulkan langkah perbaikan lembaga parlemen perlu -dilakukan secara simultan. "Saya kira bisa simultan karena yang satu kan terkait dengan yang lain," katanya.

Selain itu, pimpinan DPR perlu menetapkan parameter-parameter yang jelas terkait reformasi lembaga parlemen. Dengan demikian, sejauh mana agenda ini dilaksanakan bisa diukur dan dievaluasi.

"Siapkan parameter. Kalau transparansi anggaran apa, kalau peningkatan kinerja apa? Ini biar DPR bisa dinilai publik secara objektif, tidak hanya didasarkan pada persepsi dan asumsi," katanya.

Berita SINDO, Jumat 19 Februari 2010 Selengkapnya...

Selasa, 23 Februari 2010

2011, RUU Obat Digodok Dewan

Jakarta, RM. Komisi IX DPR mengusulkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Obat dimasukan dalam Program Legislasi Nasional (Pro-legnas) 2011. Pasalnya, Indonesia belum memiliki payung hukum di bidang obat dan kinerja Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) dikhawatirkan akan mengalami banyak kendala, karena tidak dilindungi undang-undang.

Anggota Komisi IX DPR dan Fraksi PKS, Zuber Safawi mengusulkan agar komisi kesehatan memasukan RUU tentang Obat dalam prolegnas 2011. Soalnya, RUU tersebut belum termasuk dalam RUU prioritas Tahun 2010.

"Kami ingin mendorong teman-teman di Komisi IX uruk RUU Obat ini masuk pembahasan 2011. Undang-undang ini sangat penting untuk melindungi kinerja Badan POM dalam melakukan pengawasan," kata Zuber dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IX dengan Kepala Badan POM Kustantinah di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Hal senada disampaikan anggota Komisi IX dari Fraksi PAN, Sunartoyo. Mcnurut dia, kinerja Badan POM perlu dilindungi undang-undang, karena lembaga tersebut berfungsi untuk melakukan pengawasan.

"Tidak cukup dengan dengan Keputusan Presiden (Kepres). Badan POM harus memiliki undang-undang sendiri dan terlepas dari Departemen Kesehatan (Depkes)." kata Sunartoyo di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Badan POM, lanjut dia, harus berkoordinasi dengan Kementrian Kesehatan untuk mewujudkan payung hukum tersebut. Koordinasi itu, untuk melakukan peninjauan dan sinkronisasi terhadap peraturan yang ada, termasuk peraturan standarisasi dan administrasi.

"Masa lembaga yang bertugas melakukan pengawasan tidak dilundungi undang-undang. Bagaimana mereka bisa mengawasi, kalau kinerja mereka tidak dilindungi," ujar anggota Badan Anggaran DPR ini.Sementara, Kepala Badan POM Kustantinah mengakui, payung hukum keberadaan Badan POM masih lemah.Karena itu, pihaknya meminta Komisi IX DPR agar undang-undang tersebut segera diwujudkan.

"Di prolegnas sudah ada RUU tentang Obat. Karena itu, kami mohon dukungan Komisi IX DPR agar pembahasannya dipercepat. Dengan adanya undang-undang tersebut, kami me-miliki payaung hukum dalam melaksanakan pengawasan," kata Kustantinah.

Berita Rakyat Merdeka, Jumat 29 Januari 2010 Selengkapnya...

PMI Butuh Dana Rp 170 M

JAKARTA,UPEKS--Palang Merah Indonesia (PMI) di bawah kepemimpinan Jusuf Kalla (JK) terus berbenah. Hanya saja program yang menyentuh langsung itu belum maksimal karena PMI masih kekurangan dana.

JK mengatakan tahun lalu anggaran yang diberikan pemerintah hanya Rp40 miliar, dan hanya cukup sterilisasi HIV. Padahal program PMI juga termasuk sterilisasi atau pembersihan darah dari infeksi Hepatitis B, Hepatitis C, dan Sifilis.
"Anggaran pemerintah yang diberikan pada tahun lalu adalah Rp40 miliar, itu hanya bisa mencakup biaya untuk sterilisasi HIV. Sedangkan untuk yang biaya hepatitis B dan hepatitis C serta sifilis itu tidak masuk. Anggaran yang ideal, kita mengharapkan sekitar Rp170 miliar," pinta JK.

Tahun ini, PMI memprogramkan akan membuat 100 gerai atau outlet untuk transfusi darah di beberapa tempat keramaian seperti pusat perbelanjaan dan kampus. Hal tersebut bertujuan memenuhi target jumlah kantong darah untuk rakyat Indonesia.
Dari jumlah rakyat Indonesia sekitar 220 juta jiwa, minimal persediaan darah adalah 2 persen yaitu 4 juta kantong darah. Sedangkan pada tahun lalu, PMI hanya dapat mengumpulkan sebanyak 1,7 juta kantong darah (0,7% dari jumlah penduduk).

"Target tahun ini adalah 3 juta kantong darah. Untuk itu PMI akan membuat 100 gerai donor darah di seluruh Indonesia, yang akan difokuskan di tempat keramaian seperti mal dan kampus," ungkap JK dalam rilis yang diterima Fajar Media Center (FMC), Minggu (21/2).

Dikatakannya, untuk setiap satu buah gerai tersebut membutuhkan dana sekitar Rp 500 juta. Untuk awalnya, pendirian gerai pengambilan darah tersebut akan diuji coba di 5 pusat perbelanjaan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar.
"Kita ingin tingkatkan stok darah dua hari di rumah sakit, sehingga tidak terjadi keterlambatan, Darah adalah emergensi waktu, kita tidak ingin bermain dengan waktu," ujar mantan wakil presiden.

PMI juga akan mendirikan pabrik kantong darah di Indonesia. Tujuan dari mendirikan pabrik kantong darah tersebut adalah untuk menurunkan biaya pelayanan darah serta untuk memenuhi kebutuhan yang tinggi, sekitar 4 juta per tahun.
Selama ini, Indonesia selalu membeli kantong darah dari luar negeri seperti India, China, dan Singapura. "Dengan menyediakan kantong darah dalam negeri, Indonesia dapat menghemat pengeluaran uang negara sekitar USD200-300 juta per tahun," jelasnya.

JK menjelaskan, untuk mendirikan kantong darah tersebut, PMI akan bekerja sama dengan perusahaan profesial untuk mewujudkan rencana tersebut. "Tahun ini dan tahun depan kita rencanakan semuanya dari dalam negeri, kita tidak perlu impor. Kita kerjasama dengan perusahaan professional yang disponsori oleh PMI, dengan tujuan untuk lebih terjamin jumlah dan harganya," ucap JK.
Sementara itu, anggota komisi IX, Nova Riyanti Yusuf mengatakan, persiapan pengadaan darah memang sangat penting, terutama persediaan darah di setiap rumah sakit diharapkan jangan samapi kosong. "Saya setuju jika bank darah ada di setiap rumah sakit," ujar Nova.

Zuber Safawi, anggota komisi IX dari PKS menegaskan, sekarang ini semakin banyak calo darah, padahal dalam undang-undang kesehatan sudah tertera darah tidak diperbolehkan dijual dengan cara apapun. Untuk itu dirinya meminta agar segera dilihangkan para calo tersebut.
"Dalam UU kesehatan, darah tidak boleh diperjual belikan dalam bentuk apapun, sekarang ini semakin banyak calo. caranya dengan meningkatkan persediaan darah," pungkasnya. Selengkapnya...

Senin, 15 Februari 2010

Pemerintah Diminta Perkuat Peran BPOM

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi mengatakan sudah saatnya pemerintah memperkuat peran dan kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar bisa lebih efektif menjalankan tugasnya sebagai pengawas produk obat dan makanan yang beredar di Indonesia.

“Saya melihat BPOM perlu lebih diperkuat baik dari sisi birokrasinya maupun perannya di lapangan agar hasil pengawasan yang dilakukan dapat lebih efektif. Ini mengingat tantangan pengawasan dan tindakan terhadap produk obat dan makanan illegal kian kompleks”, ujar Zuber.

Menurut Zuber, program reformasi ditubuh BPOM perlu segera direalisasi agar badan pengawas ini mampu meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM dan manajemennya.
“Saya berharap dengan reformasi dan penguatan SDM, BPOM mampu membuat sistem yang lebih efektif terutama dalam hal koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam pengasan produk obat dan pangan. Saya juga menyambut positif adanya fakta integritas yang telah dilakukan jajaran eselon I dan II di BPOM”, tandasnya.

Zuber berharap Pemerintah memberi kewenangan kepada BPOM untuk mengawasi titik-titik pintu masuk ke Indonesia sehingga bisa mengantisipasi adanya produk obat dan makanan illegal yang datang dari luar negeri.

“Kita tahu ada ratusan pintu masuk ke Indonesia yang tidak diawasi oleh Bea Cukai sehingga amat rentan untuk diseludupi barang-barang illegal. Di sini harusnya peran BPOM bisa lebih kuat, jadi tidak sekedar mengawasi produk yang beredar di pasaran”, kata Zuber serius.

Minimnya perangkat SDM dan luasnya wilayah yang harus diawasi juga turut mempengaruhi kinerja pengawasan BPOM sehingga pemerintah perlu memikirkan penambahan jumlah SDM di BPOM khususnya pada bagian pengawas lapangan.

“Selama ini kita lihat BPOM harus dibantu oleh pemerintah Kota/Kabupaten untuk mengawasi produk-produk di daerah-daerah. Ke depan, BPOM diharapkan dapat memiliki satgas dalam jumlah yang ideal sehingga peran pengawasan dapat lebih dioptimalkan”, ungkap Zuber.

Berita Okezone Kamis 28 Januari 2010 Selengkapnya...

Penutupan Terminal Khusus TKI Didukung

Lembaga swadaya Masyarakat yang menangani buruh migran (Migrant Care) meminta pemerintah harus segera menutup sepenuhnya terminal khusus Tenaga Kerja Indonesia di Bandara Internasional Soekarno Hatta.

Pemerintah harus radikal, segera tutup sepenuhnya, kalau setengah-tengah saya kira tidak akan membawa perubahan signifikan," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah saat dihubungi, Selasa (26/1).

Sebelumnya, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan sepakat untuk menutup Terminal 4 atau Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) tenaga kerja di Bandara Soekarno-Hatta. Hal itu disampaikan saat rapat kerja dengan Komisi Tenaga Kerja DPR, kemarin.

Dengan penutupan terminal khusus itu, nantinya kepulangan para tenaga kerja dari luar negeri langsung melalui jalur penumpang umum.Namun, pemerintah berencana akan melakukanya secara bertahap. Di tahap awal, sebagai percontohan, akan diberlakukan bagi tenaga kerja yang bekerja di Hongkong dan Taiwan.

Pelaksanaan bertahap dinilai Migrant Care tidak akan efektif. "Bagi kita, hal itu harus dilakukan total, tanpa diskriminasi," kata Anis. Menurutnya hal itu justru hanya menimbulkan diskriminasi baru. Anis menambahkan selama 10 tahun keberadaan terminal khusus, telah menimbulkan kerugian secara masif terhadap buruh migran yang bekerja di luar negeri.

"Tindakan setengah-setengah tidak akan bisa mengganti kerugian yang dialami oleh buruh migran, perubahan ini harus radikal," katanya.Menurutnya, semua buruh migran menginginkan kebebasan dan tidak ada diskriminasi dalam pelayanan di Bandara.

Selain itu, Migrant Care juga meminta pemerintah melakukan berbagai langkah antisipatif dari penutupan terminal tersebut. Diantaranya, menertibkan calo, porter, money changer dan angkutan yang akan bermigrasi dan mengancam keamanan buruh migran

Anggota Komisi Tenaga Kerja DPR, Zuber Safawi meminta pemerintah berhati-hati merealisasi rencana ini agar tak menimbulkan persoalan baru di terminal umum. ” Dulu dibuat terminal TKI karena ada masalah. Kalau mau ditutup, perlu antisipasinya juga,” kata Zuber.

Pemerintah harus dapat memberikan jaminan keamanan kepada tenaga kerja maupun masyarakat yang nantinya akan sama-sama menggunakan terminal umum (*)

Berita Koran TEMPO, Rabu 27 Januari 2010 Selengkapnya...

Anggaran Kesehatan Diupayakan Naik 5 Persen

Kemen-terian Kesehatan berusaha menaikkan alokasi anggaran kesehatan menjadi 5 persen, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tahun 2011.


"Kami berharap paling lambat pada tahun kedua Kabinet Indonesia Bersatu II sudah mulai ada peningkatan berarti menuju alokasi anggaran kesehatan 5 persen," kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih saat melakukan rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Rabu (27/1/2010).
Ia mengatakan, kementerian-nya berusaha mempercepat realisasi peningkatan anggaran kesehatan dengan melakukan advokasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan menteri lain pada penyusunan rencana program kesehatan untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs).
"Kami minta bantuan anggota Dewan untuk ikut aktif mendorong realisasi alokasi anggaran kesehatan 5 persen sesuai hak budget DPR. Namun, kami sadari bahwa prediksi harus selalu dikaitkan dengan kemampuan fiskal negara. Bila pendapatan negara berkurang, kemungkinan reali-sasi lebih lama," katanya.

Program komprehensif
Sebagian anggora Komisi IX DPR menyatakan dukungan terhadap upaya Kementerian Kesehatan untuk menaikkan alokasi anggaran kesehatan menjadi 5 persen. Namun, mereka menuntut kementerian itu menyiapkan program yang komprehensif.
"Saya mendukung realisasi anggaran kesehatan 5 persen. Tapi harus disiapkan program yang jelas supaya nanti kalau benar bisa direalisasikan, bisa dimanfaatkan, tidak kembali lagi ke kas negara. Kalau begitu, sia-sia saja kami mendorong," kata anggota Ko-misi IX DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, Charles J Mesang.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejah-tera, Zuber Safawi, menga-takan, Kementerian Kesehatan harus menyiapkan program terobosan supaya anggaran kesehatan yang nantinya dialokasikan bisa dimanfaatkan secara efisien untuk mening-katkan derajat kesehatan penduduk.
"Supaya nanti tidak bingung kalau alokasi yang diminta bisa direalisasikan, harus ada program-program yang kom-prehensif, jangan hanya meningkatkan volume program yang sudah ada," katanya.
Gandung Pardiman dari Fraksi Partai Golongan Karya menambahkan, Kementerian Kesehatan juga harus membuat analisis perkiraan peningkatan performa kinerja pembangunan kesehatan yang bisa dihasilkan bila alokasi anggaran untuk kesehatan dinaikkan menjadi 5 persen.
"Kalau 5 persen berarti sekitar Rp 50 triliun. Cukup besar. Kita harus tahu dulu kira-kira nanti akan seperti apa peningkatan performanya. Sekarang saja alokasi anggaran kesehatan yang jumlahnya Rp 21 triliun sebagian tersedot untuk Jamkesmas," katanya.
Menurut Zulmiar Yanri dari Fraksi Partai Demokrat dan Endang Agustini Syarwan Hamid dari Fraksi Partai Golongan Karya, Kementerian Kesehatan juga harus terlebih dahulu menyelesaikan refor-masi birokrasi di ling-kungannya.
"Karena, sebagus apa pun program yang dirancang dan siap didanai, tidak akan bisa berjalan dengan baik kalau perangkat yang melaksa-nakannya tidak bagus," katanya.
Menteri Kesehatan menga-takan, pihaknya akan menyiapkan program-program keseha-tan yang akan dilaksanakan bila alokasi anggaran kesehatan bisa dinaikkan menjadi 5 persen.
Dia optimis seluruh anggaran yang dialokasikan bisa terserap untuk membiayai upaya-upaya peningkatan derajat kesehatan penduduk dan memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh penduduk, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
"Untuk Jamkesmas saja butuh sekitar Rp5 triliun. Tahun 2011 nanti paling tidak kami butuh tambahan Rp 5,6 triliun untuk bantuan operasional kesehatan. Kami juga akan butuh dana untuk kegiatan baru yang lain, termasuk pengamanan sediaan darah," ujar Menteri Kesehatan.

Berita Kompas, Senin 28 Januari 2010 Selengkapnya...

Kinerja Menkes dan Revitalisasi Puskesmas

Wajar kiranya jika setiap pergantian apakah itu posisi atau jabatan memunculkan harapan baru. Ada sebuah perbaikan dan kemajuan yang akan terjadi. Demikian pula dengan bidang kesehatan yang kini punya nakhoda baru, Endang Rahayu Sedyaningsih. Terlepas dari segala kontroversi seputar rekam jejaknya, adalah wajar jika saat ini masyarakat membebankan harapan akan adanya perbaikan di sektor kesehatan pada dirinya.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih (ERS) diharapkan mampu meningkatkan derajat kesehatan negeri ini beranjak dari keterpurukan. Salah satunya adalah mewujudkan Visi Indonesia Sehat 2010 dan memenuhi target Millenium Development Goals (MDGs). Percepatan pemenuhan target MDGs ini bahkan dimasukkan dalam Program 100 Hari Menkes. Meski keduanya (Visi Indonesia Sehat 2010 dan MDGs) bukan merupakan tujuan akhir dan hanya kriteria dasar yang harus dipenuhi untuk membangun negeri yang sehat, namun terbukti hal ini bukan pekerjaan mudah. Hingga kini Indonesia masih tertatih-tatih untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) yang menjadi salah satu indikator tingkat kesehatan suatu bangsa.
Meski Indonesia berhasil menurunkan AKI dari 425 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 1992 menjadi 248 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2007 lalu, namun butuh upaya ekstra keras untuk memenuhi target yang dicanangkan pada Visi Indonesia Sehat 2010. Dalam program kesehatan yang dicanangkan sejak era pemerintahan Presiden BJ Habibie tersebut, pada AKB tahun 2010 dipatok tak lebih dari 150 per 100 ribu kelahiran hidup. Mampukah angka itu dicapai dalam kurun waktu hanya beberapa bulan ke depan sebelum berupaya memenuhi target MDGs pada tahun 2015 yang menetapkan AKI sebesar 104 per 100 ribu kelahiran hidup?

Kinerja Kesehatan
Untuk menjawabnya perlu bukti yang merupakan hasil dari kinerja keras yang terencana dengan matang. Konsep kesehatan yang ada sekarang sebenarnya sudah mengarah ke arah yang positif. Konsep pembangunan kesehatan ber-Paradigma Sehat yang merupakan jiwa dari Visi Indonesia Sehat 2010 sangat menekankan pentingnya upaya promotif dan preventif dalam setiap program yang ada, tentu saja tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif. Hal ini dipahami pula oleh para pemangku kepentingan di sektor kesehatan, bahwa pendekatan promotif dan preventif menjadi sangat efektif untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, termasuk memenuhi target-target yang telah ditetapkan, baik target nasional 2010 maupun MDGs 2015. Inilah harapan dan bentuk kinerja kesehatan yang diharapkan masyarakat dari Depkes dibawah pimpinan ERS.
Namun pada praktiknya, seringkali pengelolaan kesehatan selalu bertumpu pada upaya kuratif dan rehabilitatif. Sebagai contoh, upaya penanganan penyakit baru marak ketika sudah terjadi wabah. Demikian pula pembiayaan kesehatan yang dominan diarahkan pada pengobatan dan pemulihan orang sakit, ketimbang upaya pencegahannya. Lihat saja program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dijadikan prioritas pemerintah --termasuk dalam program 100 hari menkes baru—sejatinya adalah pembiayaan terhadap upaya pengobatan masyarakat.
Belum pernah kita dengar di akhir-akhir ini pemerintah menginisiasi program promosi hidup sehat dan pencegahan penyakit semasif dan sebersemangat menjalankan program Jamkesmas yang memang populer di mata masyarakat. Program-program penyuluhan dan promosi hidup sehat langsung di masyarakat akhir-akhir ini terasa kurang greget. Padahal ini menjadi kunci pencapaian peningkatan derajat kesehatan masyarakat seperti yang ditargetkan dalam Visi Indonesia Sehat 2010 dan MDGs.
Target-target yang ada dalam MDGs dan Visi Indonesia Sehat 2010, seperti penurunan AKI, Angka Kematian Bayi (AKB), gizi buruk, wabah penyakit menular sesungguhnya bisa dipenuhi dengan pola-pola pencegahan yang langsung melibatkan masyarakat. Sehingga yang dibutuhkan sekarang adalah memperkuat upaya-upaya tenaga kesehatan yang terjun langsung ke masyarakat. Hal ini akan sulit terwujud jika lembaga kesehatan yang menjadi ujung tombaknya, yaitu puskesmas tak berdaya.

Revitalisasi Puskesmas
Sejalan dengan visi Departemen Kesehatan saat ini yaitu mewujudkan masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat, peran puskesmas seharusnya menjadi sangat dominan. Tiga fungsi puskesmas yang ada yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, dan sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama, mengarah langsung pada pembentukan masyarakat yang secara mandiri berupaya meningkatkan derajat kesehatannya.
Sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, puskesmas ditugasi untuk menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya agar menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan. Termasuk dalam fungsi ini puskesmas harus secara aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari setiap program pembangunan, juga mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan dan pemulihan.
Fungsi puskesmas sebagai pusat pemberdayaan masyarakat membawa puskesmas berupaya agar masyarakat memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat. Puskesmas juga harus berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaan, juga ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan.
Dalam perannya menjalankan fungsi ketiga, yaitu sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama, puskesmas harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan, yang terdiri atas kesehatan perorangan dan kesehatan masyarakat.
Yang dimaksud pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (private health) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah dengan rawat inap.
Sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat adalah yaitu pelayanan yang bersifat public (public health) dengan tujuan memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat itu antara lain berupa promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat, serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.
Melihat dari fungsi dan cakupan kerjanya, puskesmas sebenarnya memiliki peran yang jauh lebih strategis dari rumah sakit dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Perannya bukan seperti rumah sakit yang menunggu pasien yang datang berkunjung, tapi lebih banyak pada peran menjemput bola. Puskesmas harus aktif mendatangi masyarakat untuk menjalankan program-program kesehatannya yang sebagian besar mengajak keterlibatan masyarakat untuk turut serta. Jadi tidak heran jika sebagian besar waktu tenaga kesehatan puskesmas seharusnya dihabiskan pada layananan kesehatan di luar ruang berupa penyuluhan dan pengembangan masyarakat yang sehat.
Dengan demikian, sebenarnya puskesmas lah yang seharusnya bisa menjadi ujung tombak dalam upaya-upaya pencapaian target MDGs maupun Visi Indonesia Sehat 2010. Dengan kata lain, puskesmas memegang peranan kunci dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, revitalisasi peran puskesmas mutlak harus dilakukan dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daerah.
Mengingat tugas para tenaga kesehatan di puskesmas tidak berfokus pada aspek penanganan medis semata, bahkan sebagian besarnya adalah upaya pengorganisasian masyarakat untuk terlibat langsung dalam pengelolaan kesehatan secara mandiri, maka tenaga kesehatan yang diterjunkan harus pula dibekali dengan kemampuan untuk mengelola modal sosial yang ada di masyarakat. Oleh karenanya, kemampuan komunikasi, manajerial, dan pemahaman adat istiadat serta kebiasaan masyarakat menjadi hal yang perlu dikuasai oleh para tenaga kesehatan di tingkat puskesmas.
Tentu saja peran tersebut tak sepenuhnya bisa diemban oleh dokter, bidan dan perawat yang selama ini menjadi tenaga inti pengelola puskesmas. Untuk menjadikan puskesmas sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat, maka puskesmas juga harus memiliki tenaga ahli gizi, kesehatan masyarakat, dan sanitarian (kesehatan lingkungan).
Keterbatasan tenaga kesehatan yang tersedia tidak boleh jadi penghalang untuk melengkapi puskesmas dengan tenaga-tenaga profesional tersebut. Jika pada periode lalu, Menteri Kesehatan terdahulu, Siti Fadillah Supari menyatakan bahwa sekitar 30 persen dari 7.500 puskesmas yang ada tak memiliki dokter, maka untuk saat ini dan periode mendatang hal ini tak boleh lagi terjadi. Peran puskesmas sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan memang menuntut adanya kelengkapan tenaga profesional. Jika tidak, maka kejadiannya akan sama seperti sebelumnya, puskesmas hanya akan menjalankan peran kuratif dan rehabilitatif seadanya.
Oleh karena itu, harus diterapkan konsep “penciptaan” dan penempatan tenaga kesehatan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan puskesmas, mulai dari aspek ideologi hingga aspek teknis. Para tenaga kesehatan harus diarahkan agar memiliki keinginan menjadi bagian dari ujung tombak pembangunan kesehatan di puskesmas. Dari sisi keterampilan teknis juga harus dibekali dengan keterampilan penunjang yang dibutuhkan dalam bersosialisasi dengan masyarakat.
Penyediaan tenaga kesehatan ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya revitalisasi puskesmas di samping kelengkapan sarana dan prasarana pendukung yang sesuai. Untuk puskesmas yang masyarakatnya berada di daerah yang sulit dijangkau, tentu fasilitas yang harus dipenuhi adalah alat transportasi yang mampu menjangkau daerah tersebut. Tak elok kiranya memberikan fasilitas kendaraan berupa motor bebek untuk tenaga kesehatan yang bertugas di daerah perbukitan terjal. Fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan adalah salah satu kunci keberhasilan program puskesmas.
Pada gilirannya, program pemberdayaan puskesmas ini akan bermuara pada satu hal yaitu pendanaan. Jika ditinjau dari segi besarannya, tentu tidak sedikit. Namun jika ini dilihat bukan sebagai ongkos yang harus dikeluarkan, tapi sebagai investasi masa depan, maka jumlahnya tak kan sebanding dengan perbaikan di masa datang yang tek ternilai dengan uang. Jika masyarakat sehat, tentu beban negara untuk menyubsidi biaya pengobatan pun akan semakin berkurang, selain itu munculnya generasi yang sehat dan cerdas menjadi harapan baru masa depan yang lebih baik dan lebih produktif.
Untuk itu alokasi anggaran yang pada Undang-undang kesehatan ditetapkan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD, akan lebih bijaksana jika diprioritaskan untuk melakukan revitalisasi puskesmas. Sekali lagi ini bukanlah ongkos yang memberatkan, tapi investasi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. (*)


Opini Harian Pelita, 14 Desember 2009 Selengkapnya...

Gizi Buruk dan Lost Generation

Wacana pembentukan Badan Gizi Nasional oleh Menko Kesra Agung Laksono, beberapa waktu lalu, makin menegaskan urgensi penyelesaian masalah gizi buruk di negeri ini. Menilik namanya, tampaknya pemerintah berupaya lebih serius menangani persoalan gizi buruk, sebagaimana keseriusan pemerintah menangani masalah penyalahgunaan narkotik dengan membentuk Badan Narkotika Nasional. Dari sisi dampak, masalah penyalahgunaan narkotik dan gizi buruk memang memiliki kemiripan. Keduanya sama-sama berpotensi menyebabkan hilangnya sebuah generasi (lost generation).

Secara medis, kekurangan gizi yang terjadi berkepanjangan akan mengakibatkan kerusakan permanen pada beberapa organ, meski telah dilakukan upaya penyelamatan. Penderita gizi buruk juga rentan terhadap infeksi dan mengalami gangguan fungsi seperti pembengkakan hati, pengecilan otot, dan peradangan kulit. Tentu saja jika tidak ditangani dengan baik, risiko kematian menjadi sangat besar.

Dampak gizi buruk yang bersifat permanen sangat dimungkinkan terjadi pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Kekurangan gizi pada masa ini, terlebih masa golden period (0-3 tahun), tidak hanya menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan fisik, tetapi juga perkembangan mental dan intelektual sang anak akan mengalami gangguan serius. Efeknya terlihat dari rendahnya tingkat kecerdasan, rentan terhadap penyakit, gangguan dalam pemusatan perhatian, lambatnya perkembangan kemampuan kognitif, dan berbagai gangguan lain yang berdampak pada rendahnya kualitas manusia secara umum.

Dampak menakutkan dari gizi buruk ini sebenarnya sudah dipahami sejak lama. Tak mengherankan jika berpuluh tahun lalu upaya pengentasan gizi buruk ini sudah dilakukan. Pembentukan Lembaga Makanan Rakyat (LMR) yang digagas Bapak Gizi Indonesia Dr Poorwo Soedarmo pada tahun 1950 adalah salah satu tonggak upaya perbaikan gizi masyarakat secara nasional. Sejak saat itu pula semboyan "empat sehat lima sempurna" begitu akrab di telinga masyarakat.

Meski telah banyak kemajuan yang telah dicapai dalam upaya penyelesaian gizi buruk, namun hingga kini masih banyak masyarakat yang menderita gizi buruk. Riset kesehatan dasar (riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional gizi buruk pada anak balita mencapai 5,4 persen dan gizi kurang sebesar 13 persen. Dari data yang sama juga diketahui bahwa sebesar 13,3 persen anak laki-laki dan 10,9 persen anak perempuan usia sekolah (6-14 tahun) terkategori kurus berdasarkan perbandingan berat/tinggi badan.

Lebih jauh, hasil riskesdas tersebut mencatat sebanyak 21 provinsi dan 216 kabupaten/kota memiliki prevalensi gizi buruk di atas rata-rata nasional (5,4 persen). Sedangkan berdasarkan gabungan hasil pengukuran gizi buruk dan gizi kurang, ditemukan sebanyak 19 provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas rata-rata nasional atau di atas 18,4 persen.

Kondisi ini menunjukkan bahwa masa depan bangsa ini masih dalam kondisi terancam kehilangan generasi yang berkualitas. Generasi yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi kurang gizi atau gizi buruk akan sulit bersaing dengan yang lainnya. Pada gilirannya mereka akan tersisih dan berpotensi menjadi mata rantai penyebab gizi buruk generasi berikutnya.

Tentu saja hal tersebut tak boleh terjadi. Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Salah satu bentuk perlindungan kepada bangsa ini adalah upaya perlindungan dari bahaya laten kehilangan generasi yang diakibatkan gizi buruk.

Secara khusus pelaksanaannya bisa mengacu pada UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau (pasal 141 ayat 3). Bahkan, pemerintah harus bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam kondisi darurat (pasal 142 ayat 30). Lebih jauh lagi, pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi (pasal 143).

Program Prioritas

Atas dasar hal tersebut, maka penanganan gizi buruk haruslah menjadi prioritas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penanganannya tidak hanya sebatas menyediakan sumber makanan yang memenuhi unsur kecukupan gizi, tapi lebih dari itu, upaya peningkatan pengetahuan masyarakat menjadi poin penting yang juga harus dipenuhi. Mengapa? Soalnya, penyebab gizi buruk di masyarakat tidak semata-mata disebabkan oleh keterbatasan akses masyarakat terhadap produk pangan yang berkualitas sebagai akibat dari kemiskinan. Faktor rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap masalah gizi dan kesehatan, pola konsumsi yang tidak tepat, adanya adat dan kebiasaan yang kurang baik, serta gangguan organ tertentu yang membuat serapan terhadap zat-zat gizi tidak bisa optimal juga dapat menjadi penyebab.

Kondisi ini mendorong upaya penyelesaian kasus gizi buruk harus digarap secara multisektoral. Kegiatan promosi dan edukasi terhadap masyarakat tentang gizi harus mendapat perhatian serius. Promosi masalah pengelolaan gizi harus dilakukan secara masif, sehingga informasi tentang bahan makanan bergizi, pengolahan yang tepat, pola konsumsi yang baik serta hal-hal yang berkaitan dengan penanggulangan gizi buruk bisa diperoleh dengan mudah oleh masyarakat, tersebar secara luas dan dilakukan secara terus-menerus.

Kegiatan promosi akan sangat berpengaruh jika memanfaatkan seluruh saluran komunikasi secara optimal, seperti pemanfaatan sarana periklanan yang sekarang ini biasa dipakai baik yang termasuk above the line advertising media seperti, iklan layanan masyarakat di media massa maupun yang dikategorikan below the line advertising media dengan mengemas pesan pada barang-barang (merchandise) yang biasa dipergunakan seperti payung, muk dan lain-lain. Model promosi gizi seperti ini bisa melibatkan banyak pihak seperti kalangan dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Selain itu, upaya promosi secara tradisional pemanfaatan sarana-sarana komunikasi di masyarakat juga harus ditingkatkan intensitasnya. Pada sisi ini, para tokoh agama, adat dan masyarakat memiliki peran penting dalam menyukseskan perubahan pengetahuan dan perilaku masyarakat terkait peningkatan status gizi masyarakat.

Secara umum, penanganan masalah gizi buruk tidak bisa dilakukan secara sporadis. Penanggulangan gizi buruk harus dilakukan secara terencana dan terarah dengan baik. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu membuat model penyelesaian masalah ini mulai A hingga Z secara tuntas, terutama untuk daerah-daerah yang memiliki prevalensi gizi buruk tinggi.

Jika upaya-upaya tersebut sudah dilakukan dengan tulus dan ikhlas disertai rasa tanggung jawab, bukan asal terlaksana, maka itulah yang dinamakan sebuah upaya yang serius. Tak salah kiranya jika keseriusan ini bisa dilihat dari apakah realisasi wacana pembentukan Badan Gizi Nasional ini mampu mengatasi kendala sektoral yang sekarang dihadapi atau malah sebaliknya. Mungkin kita harus bergegas secara optimal merealisasikannya, karena waktu tak pernah menunggu, sebagaimana bergantungnya masa depan pada generasi yang akan datang. ***


Opini Suara Karya, Senin 8 Februari 2010 Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda