Jumat, 06 Juli 2007

Pernyataan soal SKTM Harus Diralat

SEMARANG- Anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi meminta Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari supaya meralat pernyataannya soal 10 persen orang kaya yang berobat menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dengan membayar Rp 50 ribu kepada ketua RT dan RW. Pernyataan itu dinilai menyesatkan karena bisa menimbulkan keresahan masyarakat.
Dalam pernyataannya Zuber menyayangkan pernyataan yang dilontarkan Menkes saat rapat kerja dengan Panitia Ad Hoc III dan IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 3 Juli lalu. Menurut dia, dengan pernyataan itu nantinya warga yang benar-benar miskin namun belum memperoleh kartu Askeskin, saat harus menggunakan SKTM tidak bisa terlayani dengan baik oleh pihak rumah sakit.

''Kalau seperti itu, dengan mudahnya orang yang kaya hanya dengan membayar Rp 50 ribu dapat SKTM. Lama kelamaan pihak rumah sakit menjadi keberatan dengan layanan SKTM, karena jumlahnya terus membengkak. Kalau seperti itu, yang dirugikan masyarakat yang benar-benar belum mendapatkan layanan Askeskin,'' kata dia saat di Semarang, Kamis (5/7).
Padahal sesuai data pembagian kartu Askeskin baru bisa terjangkau 65%. Belum terjangkaunya pembagian kartu karena terjadi kesalahan pendataan kemiskinan. Data dari Departemen Kesehatan dan Badan Pusat Statistik berbeda soal jumlah kemiskinan. ''Karena data berbeda terpaksa pembagian kartu dihentikan."

Sumber: Suara Merdeka, Kolom Nasional, 6 Juli 2007

Selengkapnya...

Menkes Berlakukan MPA

Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari menegaskan, pihaknya akan memberlakukan program makanan pendamping ASI (MPA) untuk mengantisipasi kelangkaan susu akibat naiknya harga, Menurut Menkes, akibat hal ini, diperkirakan penderita gizi buruk akan meningkat tajam pada pertengahan 2008.

"MPA ini akan diberikan ke seluruh wilayah Indonesia, yakni 1,86 juta kg bubur dan 5,68 juta kg biskuit ke 33 provinsi," tegas Siti saat menghadiri rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Kesra di Jakarta, kemarin. Langkah ini dilakukan karena Menkes tidak memiliki kewenangan melakukan operasi pasar (OP) terkait kelangkaan dan mahalnya har­ga susu di pasaran. OP, kata dia, hanya bisa dilakukan oleh Men­teri Perdagangan (Mendag).

Rencananya sebanyak 12 ton bubur dan 128 ton biskuit akan diprioritaskan bagi 64.000 balita usia 6-24 bulan dari masyarakat miskin di DKI Jakarta. MPA ini, ujar dia, akan diberikan dalam jangka waktu 30 hari dan didistribusikan pada 3.673 posyandu di DKI Jakarta. "MPA mengandung vitamin seperti di susu formula;" jelasnya. Menkes mengatakan, seharusnya pemerintah memi­liki badan khusus yang mengatur tata niaga susu. Sebab, saat ini, Sari Husada sebagai produsen susu terbesar di Indonesia sudah menjadi milik asing. Sementara itu, Menkokesra Aburizal Bakrie mengatakan, pemerintah tidak perlu memiliki badan khusus untuk susu. "Ini semua harus punya motivasi profit” terangnya. Sementara badan khusus ini harusnya bersifat layanan umum. Menanggapi hal ini, anggota Komisi IX DPR Zuber Syafawi mengatakan, program MPA ha­rus dilakukan secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan, susu bagi masyarakat miskin.

Sumber: Koran Seputar Indonesia, 5 Juli 2007

Selengkapnya...

Tunggakan Askeskin Rp. 900 M

Jakarta (SINDO)- Menteri kesehatan (menkes) Siti Fadilah Supari mengaku, tunggakan dana asusransi kesehatan rakyat miskin (Askeskin) yang belum dibayarkan mencapai Rp00 miliar. Meski demikian , Menkes menyatakan tidak akan memutus kontrak dengan PT Askes. Pihaknya hanya akan melakukan perubahan manajemen. "Misalkan askes nanti bisa diverifikasi oleh ahli. Jadi, hanya perubahan sedikit manajemen," tegas Menkes seusai mengikuti Rakor Kesra di Kemeneg Kesra, Jakarta, kemarin.Menurut dia, tunggakan tersebut terkait erat dengan kesalahan penerapan askeskin yang dilakukan sejumlah rumah sakit. Siti. mengungkapkan, selama ini penggunaan obat oleh dokter tidak ter­kontrol. Sebab, banyak obat harga mahal justru diberikan kepada peserta askeskin. Seharusnya,mereka yang tercatat sebagai peserta askeskin hanya diberi obat-obat berlabel generik saja. "Kadang-kadang dokter menulis obat mereknya sangat banyak sekali. Ini kita tertibkan," tandasnya. Meski demikian, Menkes mengaku,untuk penyakit tertentu, misalnya thalasemia dan kanker, tetap diperbolehkan menggunakan obat tanpa label generik.Selama ini, kata Siti, pemberian resep obat merek terkenal dan mahal tidak terkontrol sehingga tagihan yang diajukan ke PT Askes melonjak. Karena itu, dalam waktu dekat Departemen Kesehatan (Depkes) akari memulai penertiban penggunaan obat bermerek mahal ini.

Dalam rakor itu, Menkes juga melaporkan perkembangan askeskin di masyarakat; Termasuk rencana askeskin di masa depan. Disinggung kendala yang dihadapi terkait penerapan askeskin, dia mengatakan hal itu sudah dilakukan melalui perbaikan manajemen.

Menanggapi hal ini, anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi mengatakan, Menkes harus memberikan data tentang para dokter yang kerap memberikan resep obat bermerek dan mahal tersebut. Data ini harus termasuk jumlah dokter dan alasan penggunaan obat tersebut.

"Menkes jangan hanya klaim saja, supaya nanti kalau ada data pemerintah dan DPR bisa mengevaluasi hal itu," tegasnya. Politikus PKS ini mengatakan, kasus pemberian obat ini akan berdampak pada program askeskin ke depan. Mengenai tunggakan di PT Askes, Zuber menyatakan, pihaknya akan melakukan pengecekan.

Diketahui sebelumnya, Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada) keberatan dengan beban askeskin yang diberlakukan selama ini.

Sumber: Koran Seputar Indonesia, 5 Juli 2007 Selengkapnya...

Selasa, 03 Juli 2007

Pengawasan BPOM Lemah - Hanya Periksa 6,5% Sampel

SEMARANG- Kinerja Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terus disorot terkait masih banyak beredarnya makanan, minuman dan obat-obatan yang tak layak dikonsumsi. Anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi saat di Semarang mengungkapkan dalam laporan BPOM di rapat tingkat menteri beberapa waktu lalu, disebutkan instansi itu hanya mampu memeriksa 6,5% sampel dari total produk makanan, minuman dan obat-obatan termasuk bahan kosmetika berizin yang beredar di pasaran. ''Idealnya minimal 10% harus dibeli secara acak di tiap daerah guna dijadikan sampel bagi pengawasan regular,'' kata dia saat di Semarang, Senin (2/7).

Dengan demikian anggota FPKS asal Jateng itu menyatakan masih banyak makanan, minuman dan obat-obatan yang beredar sampai ke masyarakat tanpa pengawasan BPOM. Lemahnya pengawasan itu karena kurang fokusnya badan itu dalam menjalankan tugasnya. Belum lagi koordinasi di tingkat wilayah masih belum selaras dengan instruksi dari pusat. Sesuai dengan Keppres Nomor 166/2000 dan Nomor 103/2001 tentang tugas BPOM yakni memberikan izin dan mengawasi peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. ''Justru yang lebih diminati oleh BPOM adalah memberikan izin daripada pengawasan. Mereka mengaku untuk pengawasan terbentur dengan dana yang terbilang minim, sehingga tidak bisa untuk membeli barang contoh dan operasional penelitian,'' lanjut dia.

Tak Terungkap

Zuber juga menjelaskan, selain pengawasan yang lemah, maraknya berbagai pelanggaran peredaran obat dan makanan disebabkan oleh minimnya tindak lanjut atas kasus yang terungkap. Terbukti dari hasil temuan itu, sedikit sekali yang diajukan ke meja hijau. Sesuai laporan BPOM, selama tahun 2006 dari 699 kasus yang terungkap, ternyata 11 kasus yang diputuskan pengadilan. ''Dengan begitu masih 6% yang bisa ditangani,'' jelasnya. Ke depan, BPOM harus tegas dan terbuka mengenai nama sebuah produk minuman, makanan, suplemen dan kosmetika yang membahayakan masyarakat. ''Jangan hanya sanksi ringan seperti selama ini baru sebatas sanksi administratif, wajib lapor, atau denda yang rendah, Sedangkan sanksi berbentuk kurungan masih sangat sedikit, tegas Zuber.

Sumber: Suara Merdeka, Nasional, 3 Juli 2007
Selengkapnya...

Data Depkes Dinilai tidak Akurat

"Dari kunjungan saya ke beberapa provinsi seperti Jawa Tengah, ternyata banyak masyarakat desa tidak mengetahui bahwa desa mereka telah ditunjuk sebagai Desa Siaga," ungkap anggota Komisi IX DPR RI dari Faksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Zuber Safawi pada acara rapat kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari di Jakarta, kemarin. Namun, Zuber menolak membeberkan hasil temuannya itu. Tetapi, anggota DPR itu menyatakan memiliki data soal Desa Siaga. Tdak hanya itu, ia juga menduga pemerintah provinsi telah menyampaikan data Desa Siaga tidak sesuai de­ngan fakta di lapangan. "Data Desa Siaga di tiap provinsi selalu genap. Ada provinsi menya­takan memiliki 5.000 Desa Siaga, dan provinsi lain memiliki 6.000 Desa Siaga. Masa semua datanya (genap) seperti itu," ujar Zuber. Selain itu, Zuber mengkritik pro­ses pelaksanaan Desa Siaga yang dilakukan Depkes. Menurutnya, koordinasi antara pusat dan daerah tidak berjalan. Buktinya, banyak warga desa yang tidak mengetahui apa yang dimaksud Desa Siaga. Depkes juga dinilai tidak cermat dalam mengeluarkan program. Pasalnya, katanya, jumlah sumber daya manusia (SDM) terutama bidan harus ada dalam setiap pos kesehatan desa (poskesdes) yang notabene merupakan syarat Desa Siaga. Faktanya, jumlah bidan masih belum mencukupi untuk memenuhi target pembentukan sekitar 28 ribu Desa Siaga. "Seharusnya, Depkes mempersiapkan jumlah bidan tersebut. Apalagi, sesuai ketentuan pihak pemerintah daerah tidak boleh mengangkat tenaga bidan honorer," ujarnya. Zuber mengusulkan kepada Depkes agar membuat surat keputusan bersama (SKB) dengan Depdagri. Pasalnya, dengan diterapkannya otonomi daerah, Depkes ti­dak dapat memantau atau menginstruksikan pada jajaran Dinas Ke­sehatan di daerah-daerah. Hal senada disampaikan anggota Komisi IX DPR Mariani A Baramuli. la menilai banyak program Depkes yang tidak akan berjalan baik. Salah satunya Desa Siaga.

Depkes bantah

Sementara itu, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes Sri Astuti Suparrnanto membantah pernyataan anggota DPR tersebut. "Jumlah Desa Siaga 2006 itu valid. Ada datanya dan silakan dicek," ujarnya. Perihal SKB dengan Depdagri, ia mengaku Depkes telah membuat itu. Buktinya, lanjut Sri, saat ini berkat SKB tersebut telah terbentuk beberapa Desa Mandiri yang me­rupakan bibit terbentuknya Desa Siaga. Terkait dengan jumlah bidan, menurut Sri, pada 2006 telah terdapat 12.600 bidan untuk 12 ribu Desa Siaga. Sedangkan pada 2007 telah disiapkan 30 ribu bidan yang akan dipersiapkan dari berbagai daerah. Sebelumnya, Sri mengaku sebanyak 60% dari 68.816 desa di Indo­nesia telah memiliki bidan. Sebagian besar desa yang kini belum me­miliki bidan adalah desa-desa yang berada di daerah pedalaman di luar Pulau Jawa. Saat ini, menurul Sri, total jumlah bidan yang ada di desa-desa diper-kirakan hanya tinggal 30 ribu orang. Padahal, sebelumnya pada era 1990-an terdapat sekitar 54 ribu bidan desa. Diperkirakan jumlah bidan, baik di desa maupun di kota, saat ini mencapai 70 ribu bidan.

(Sumber: MEDIA INDONESIA, Selasa 5 Juni 2007)

Selengkapnya...

Data Kematian Ibu Melahirkan Dinilai Tak Akurat

JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) belum pernah mengeluarkan data tahun 2005 tentang angka kematian ibu melahirkan. Ba­dan ini hanya mengeluarkan data survei demografi dan kesehatan Indonesia 2002/2003. "Hasil survei demografi terbaru ada kemungkinan baru dilaporkan pertengahan tahun depan," kata Deputi Bidang Analisis Sosial BPS Arizal kemarin. Departemen Kesehatan sebelumnya mengklaim angka kematian ibu melahirkan turun pada 2003, yaitu 307 per 100 ribu kelahiran. Direktur Kesehatan Ibu Departemen Kese­hatan Sri Hermianti menyatakan BPS mengeluarkan data angka ke­matian ibu 2005 sebesar 262 per 100 ribu kelahiran. Arizal mengatakan BPS juga tak pernah-mengeluarkan angka proyeksi kematian ibu melahirkan antara tahun survei dan tahun survei berikutnya, Sampelnya masih kecil untuk menghitung ukuran per 100 ribu kelahiran, apalagi faktor-faktor kematian ini kompleks' katanya. Anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Zuber Safawi, menyayangkan ketidakjelasan angka kematian ibu laporan Departemen Kesehatan. "Kalau benar da­ta itu bukan dari BPS, saya merasa tertipu," katanya di gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin. Zuber mengaku ragu terhadap angka kematian ibu versi Departemen Kesehatan. Angka itu dinilai terlalu menurun tajam. Padahal, katanya, masih banyak program Departemen Kesehatan yang belum maksimal. la menduga angka Departemen Kesehatan hasil manipulasi staf di Departemen Kesehatan. la menilai data akurat angka kematian ibu sangat penting bagi masyarakat Dari angka tersebut, Dewan bisa mengalokasikan anggaran guna menekan angka kematian ibu. (Sumber KORANTEMPO KAMIS, 14 JUNI 2007)

Selengkapnya...

Senin, 02 Juli 2007

24% Iklan Obat Tak Penuhi Standar


SEMARANG- Masyarakat diminta waspada dan selektif dalam memilih obat-obatan. Menurut anggota Komisi IX DPR-RI Zuber Safawi, banyak iklan obat yang tidak memenuhi standar (TMS) sehingga menyesatkan.Berdasarkan pro-review yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Jakarta, dari 234 iklan obat yang dipantau, 24% tidak memenuhi standar. Di samping itu, dari 242 iklan obat tradisional, 28 atau 20% juga menyesatkan dan dari 114 iklan produk suplemen makanan yang beredar, ditemukan pelanggaran 17 buah (15%), serta dari 710 iklan produk pangan yang dipantau ditemukan 184 (25,91%) masih belum memenuhi ketentuan. ''Masyarakat perlu mewaspadai iklan yang menyesatkan. Baik itu untuk produk obat, obat tradisional, suplemen makanan, kosmetik, dan produk pangan yang beredar. Di tengah iklim kompetisi media iklan memang penting, namun banyak pula yang menyesatkan konsumen,î kata Zuber saat di Semarang, Minggu (10/6).


Mengelabuhi
Menurut anggota F-PKS asal Jateng tersebut, kecenderungan periklanan saat ini melebihkan bahkan cenderung mengelabuhi konsumen. Contoh, iklan yang berlebihan adalah klaim produk pangan yang mengandung zat tertentu seperti suplementasi asam lemak omega-6 yakni arachidonic acid (AA) atau (ARA) dan asam lemak omega-3 yakni docosahexaenoic acid (DHA) dalam susu formula. Padahal Badan POM telah menetapkan ketentuan tentang ketentuan pokok pengawasan pangan fungsional nomor HK.00.05.52.0685 yang mengatur bahwa susu formula tidak boleh mencantumkan klaim kecuali klaim gizi misalnya rendah laktosa. ''Informasi tentang AA/DHA hanya boleh dicantumkan dalam informasi nilai gizi. Kalau tidak cermat, langkah ibu yang terpresepsi iklan ini akan memengaruhi pertumbuhan anak. Sementara untuk produk kosmetik ada upaya seolah-olah mengobati, berlebihan, dan menggunakan pengakuan yang tidak benar. Semua bisa menyesatkan bahkan seharusnya ada sanksi hukum yang diberikan, lanjut Zuber.Anggota DPR RI yang membidangi masalah kesehatan itu berharap semua pihak ikut memberikan penjelasan yang benar terhadap masyarakat, dokter, dan pihak Dinas Kesehatan. Sementara, bagi produsen yang melakukan kesalahan perlu segera menarik iklan yang beredar. Kalau terbukti melakukan pelanggaran hukum, semestinya ditindak tegas.

Sumber: NASIONAL SUARA MERDEKA (Senin, 11 Juni 2007)

Selengkapnya...

Toko dan Swalayan Perlu Diawasi

SEMARANG- Komisi E DPRD Jateng mendesak Balai POM Semarang merazia toko obat, jamu, swalayan, dan tempat penjualan obat atau kosmetika yang dicurigai menjual barang di luar ketentuan pemerintah. Anggota Komisi E DPRD Jateng Sarwono menduga, dari 26.644 dus, 1.850 renteng, dan ribuan bungkus obat dan jamu palsu yang disita di Kota Tegal bisa jadi sebagian sudah telanjur beredar di wilayah lain Jateng, termasuk Semarang.

"Kami minta BPOM mengoperasi toko obat, swalayan, dan toko kecil lain. Sebab, kemungkinan peredaran kosmetika atau obat dan jamu palsu sudah sampai ke masyarakat dan jumlahnya sangat besar. Tujuan kami bukan mempersulit penjual, produsen maupun pelaku usaha, tapi semata-mata untuk melindungi masyarakat,'' katanya, kemarin. Politikus dari PDI-P itu menga takan, adanya temuan obat/jamu palsu atau yang mengandung bahan kimia berbahaya di Kota Tegal, pekan lalu, bukan kejadian kali pertama di Jateng. Sebelumnya, hal serupa pernah terjadi di Cilacap.Berdasarkan pengamatannya, saat ini banyak beredar kosmetika yang diragukan keasliannya dan bahkan mengandung zat yang membahayakan konsumen. Sarwono meminta ada ketegasan dari pihak BPOM untuk menindak penjual, pengedar, dan produsen obat, jamu, dan kosmetika berbahaya itu.

Suara Merdeka juga mencatat, pada awal Juni 2007 lalu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Jakarta telah meminta 30 produsen obat tradisional di Jateng agar menarik produknya karena mengandung bahan kimia yang merugikan. Anggota Komisi IX DPR-RI Zuber Safawi merinci bahwa dari 30 produsen obat tradisional itu, sebanyak 21 produsen berada di daerah Cilacap. Adapun sisanya tersebar di sejumlah kabupaten/kota. Zuber memperkirakan, peredaran obat-obatan tradisional yang mengandung bahan kimia itu tidak tersebar jauh dari wilayah Jawa Tengah. Sebab rata-rata produsen merupakan industri kecil dan menengah.

Diumumkan
Sarwono mengatakan, selama ini BPOM enggan mengumumkan kepada masyarakat nama atau merek obat, jamu, dan kosmetika berbahaya. Alasannya, harus lapor dulu ke Jakarta, sehingga pihak pusatlah yang membeberkan, termasuk menindaklanjuti. Menurut dia, mekanisme semacam itu terlalu berbelit. Padahal konsumenlah yang terkena imbas langsung. ''Semestinya, kalau sudah melalui uji laborat dan ditemukan ada pelanggaran, ya dibeberkan saja. Keberadaan obat semacam itu jelas merusak organ tubuh. Kalaupun harus melaporkan ke pusat, kami minta waktunya jangan terlalu lama,'' katanya.

Selengkapnya...

 

BAHAN MAKALAH SEMINAR

Bagamaina Tampilan Blog ini Menurut Anda